Nyatanya waktu begitu cepat berlalu, hari demi hari yang dilewati Kasih dengan usahanya untuk membangun hubungan yang baik dengan Byan tidak memiliki banyak hasil.
Byan masih terus melontarkan kebencian untuknya, tidak sedikit pun hatinya melunak walau Kasih telah memperlakukannya sebaik mungkin.
Di sisi lain, Arvin juga semakin gencar untuk menemui Kasih dan meminta kesempatan kedua agar mereka kembali menjalin cinta, namun tentu saja Kasih menolaknya mentah-mentah. Dia kini bahkan mulai risih dan terganggu dengan keberadaan Arvin yang sering muncul tiba-tiba dan mengejar-ngejarnya.
Ayahnya juga masih belum menepati janjinya untuk memberikan wasiat Ibunya yang dijanjikan setelah pernikahannya. Ayahnya sedang melakukan perjalanan bisnis ke beberapa negara Asia dan sulit sekali ditemui. Kasih menelponnya pun sangat sulit.
Rasanya semua jalan di tempat dan buntu. Dirinya yang juga disibukkan dengan persiapan pesta pernikahannya dengan Byan tidak memiliki banyak waktu untuk mengejar Ayahnya yang jam terbangnya sedang begitu tinggi, karena sejak merger dengan perusahaan Wijaya, keduanya sedang melakukan ekspansi ke beberapa negara di Asia.
“Kasih …” Panggilan yang begitu lembut itu menyentak Kasih dari lamunannya, itu suara Wening yang kini menatapnya penuh sayang. Keduanya memang sedang berada di butik untuk memilih beberapa gaun wedding, sayangnya Byan tidak bisa hadir, lebih tepatnya tidak mau hadir.
“Kamu pasti lelah ya beberapa hari ini kita sangat sibuk mengurus pesta pernikahanmu.” Ucap Wening memijat lembut bahu Kasih.
“Tidak, Oma. Aku senang, aku justru yang khawatir pada Oma, aku takut Oma kelelahan.” Kasih menggenggam lembut tangan Wening dan mengecupnya.
“Kamu pasti kesulitan menghadapi Byantara yang keras hati … Maafkan kami ya menempatkanmu dalam situasi yang sulit.” Wening menatap Kasih dengan prihatin, namun Kasih memberikan senyum terbaiknya.
“Tidak, Oma. Jangan mengatakan seperti itu, kami hanya belum saling mengenal dengan baik saja. Memang sedikit sulit di awal, namun aku yakin akan membaik ke depannya, Oma.” Kasih kembali mengecup punggung tangan Wening.
“Kamu memang berjodoh dengan Byan, sayang. Betapa beruntungnya Byan memilikimu sebagai istrinya.” Wening mengatakannya dengan penuh rasa syukur, mendengar itu hati Kasih justru merepih perih, nyatanya apa yang diucapkan Wening sangat jauh dari kenyataannya. Dirinya bagaikan sebuah kesialan bagi Byan, yang selalu menyulut emosi pria itu dan kebencian yang mendarah daging entah karena apa.
“Oma … Apa Oma baik-baik saja? Oma sepertinya kurang sehat.” Kasih memperhatikan wajah Wening yang pucat, namun senyuman Wening selalu menghiasi wajah tuanya yang ayu.
“Tidak sayang, Oma sangat sehat dan bersemangat menyambut pesta pernikahan kalian. Oma juga memiliki hadiah untukmu dan Byan.” Ucap Wening dengan senyum misteriusnya, yang membuat Kasih mengernyitkan keningnya.
“Hadiah apa, Oma?”
“Hadiah pernikahan.” Wening menggenggam tangan Kasih lalu mengajak Kasih untuk pergi dari butik itu.
“Hadiahnya apa, Oma?” Tanya Kasih penasaran.
“Bulan madu.”
“Bulan madu? Mas Byan tidak akan mau, Oma.” Kasih tertawa miris, membuat Wening menepuk-nepuk punggung tangannya dengan rasa bersalah.
“Kamu serahkan saja semuanya pada Oma. Kalian akan memiliki bulan madu di salah satu pulau terbaik yang dimiliki oleh Wijaya Group.” Wening menatap hangat pada Kasih yang hanya bisa termangu dan memikirkan ketidakmungkinan itu.
***
Byan mengerang dan terjaga dari tidurnya, dia mengerjap-ngerjapkan matanya dengan pening yang sedikit dia rasakan, menatap ke sekelilingnya dan seketika matanya membelalak melihat Kasih yang tertidur di sebelahnya, begitu lelap dan damai.
Dia memperhatikan lagi sekelilingnya dan mengingat-ngingat yang terjadi kepadanya, bagaimana bisa berakhir satu ranjang dengan Kasih.
“b******k!” Byan menyadari sesuatu, dia memesan kopi kepada Eva, Sekertarisnya di kantor, lalu dia merasakan pening dan setelah itu tidak tau lagi apa yang terjadi hingga dia berakhir di sini.
Dia lalu beranjak dari ranjang untuk melihat keluar, untuk mengetahui di mana dirinya saat ini. Sekali lagi dirinya mengumpat saat mengetahui di mana keberadaannya dengan Kasih. Sudah pasti ini ulah Omanya.
Byan lalu memilih kembali ke ranjang, tanpa sadar memperhatikan Kasih yang masih begitu lelap dalam tidurnya atau mungkin wanita itu juga pingsan karena dibius seperti yang dialaminya.
Tiga minggu berlalu sejak pernikahan mereka. Tidak ada yang berubah dari sikap Byan, bahkan dia bisa bilang jika semakin hari dia semakin kejam memperlakukan Kasih, namun sekali pun wanita itu tidak pernah membalasnya, yang Byan lihat hanya senyum penuh keikhlasan dan ketabahan setiap Byan menyakitinya.
‘Kita akan lihat sejauh apa lagi kamu bertahan, Kasih. Bukankah kamu masih berhubungan dengan mantan kekasihmu itu, akankah kamu kabur dariku dan berlari pada mantan kekasihmu? Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Lavina Kasih.’ Byan berbisik dalam hati. lalu dia melihat pergerakan Kasih, yang membuatnya langsung memejamkan mata dan pura-pura kembali tidur.
“Ya Tuhan.” Kasih memekik terkejut saat mendapati siapa yang tidur di sampingnya, dia lalu melihat ke sekeliling yang semuanya terasa asing. Dia lalu mengingat-ngingat apa yang terjadi, ingatan terakhirnya adalah dia naik sebuah pesawat pribadi, lalu seorang flight attendant memberinya orange juice dan dia terlelap begitu saja.
Apakah ini pulau pribadi milik Wijaya Group yang dimaksud oleh Wening? Apakah mereka benar-benar hanya berdua di pulau terpencil yang memiliki keindahan surga dunia ini?
Dengan takut-takut Kasih berusaha membangunkan Byan. Mungkin apa yang terjadi padanya juga terjadi pada Byan, yang tau-tau begitu terbangun sudah ada di sini.
“Mas … Bangun …” Bisik Kasih namun Byan tidak bergerak sedikit pun.
“Mas … Bangun …” Kasih kini menggoyang-goyangkan lengan Byan, membuat Byan menggeliat dan pelan-pelan terjaga walau sebenarnya dia hanya pura-pura.
Kasih langsung duduk dan menghadap Byan.
“Mas … Kita tidak di apartemen.” Ucap Kasih dengan kepala menunduk dan menggigit bibirnya gugup. Byan hanya memperhatikannya dengan senyum sinisnya.
“Tadi aku sedang pergi ke butik untuk fitting baju pernikahan, lalu Oma mengatakan jika ingin memberikan hadiah pernikahan berupa bulan madu di salah satu pulau pribadi milik Wijaya Group, lalu terakhir yang kuingat adalah aku naik pesawat dan tiba-tiba terbangun di sini.” Kasih menjelaskannya dengan nada gugup, Byan bisa merasakannya, wanita itu juga terus menundukkan kepalanya, entah mengapa itu membuat Byan menyunggingkan senyumnya diam-diam.
“Kamu yakin bukan kamu yang bersekongkol dengan Oma? Bukankah selama ini kamu hidup dalam impianmu menjadi istri yang berbakti? Sangat mungkin kamu juga bermimpi memiliki bulan madu denganku.” Byan mengatakannya dengan nada remeh, membuat Kasih langsung mendongakkan kepalanya.
“Tidak, Mas. Tentu saja tidak, sungguh.” Kasih menatapnya dengan tatapan nanarnya. “Kita bisa pulang sekarang. Aku juga tidak menginginkan bulan madu.” Dengan seseorang yang membenciku. Kasih melanjutkan dalam hati.
Mendengar itu Byan langsung mendecih.
“Kamu pikir Oma akan membiarkan kita pulang begitu saja setelah semua usahanya untuk membuat kita terpenjara di sini?” Byan mendecak di akhir kalimatnya, membuat Kasih menghela napasnya dan mengangguk setuju.
Kasih lalu beranjak dari ranjangnya, ingin melihat keadaan sekitar. Kamar itu memiliki balcony yang ternyata langsung mengarah ke pantai yang begitu cantik dengan pasir pink yang menyejukkan mata.
“Wah pulau ini benar-benar indah.” Bisik Kasih dengan tatapan yang takjub. Byan memperhatikan punggung wanita itu yang terlihat lebih ringkih dari sejak pertama mereka bertemu.
Waktu yang bertepatan dengan matahari hampir terbenam membuat Kasih semakin bahagia karena tidak memerlukan usaha yang keras untuk bisa menikmati keindahan Tuhan yang begitu sempurna.
Rasanya dia lupa kapan terakhir kali merasakan kebahagiaan karena sesuatu. Namun di tempat ini, kebahagiaannya dia temukan dengan sederhana, membuat air matanya tiba-tiba mengalir begitu saja.
Sudah sejak lama dia tidak merasakan perasaan tenang yang membawa keadamaian tanpa risau akan hal-hal dalam hidupnya.
“Mas … Sunset di sini begitu indah, pasirnya pink begitu cantik, semburat jingga memenuhi langit membuat air laut terpantul menjadi kilau yang menakjubkan. Matahari berada sempurna untuk menuju ke tempat peraduannya. Memang benar kata Oma, ini surga dunia yang tersembunyi.” Kasih menjelaskan apa yang dilihatnya, seolah ingin Byan bisa membayangkan keindahan yang dilihat olehnya.
Kasih memang selalu perhatian dan peduli terhadap hal-hal di sekitarnya, itu yang bisa Byan simpulkan selama mereka bersama. Sayangnya itu tidak memiliki arti apapun bagi Byan.
Byan memilih beranjak dari ranjangnya dan Kasih mengerti itu, dia langsung meninggalkan balkon dan berjalan menuju Byan, menuntun Byan yang langsung ditepis oleh pria itu.
“Aku hapal seluruh rumah ini.” Desis Byan membuat Kasih akhirnya mengangguk dan memundurkan langkahnya.
Byan menuju dapur yang diikuti oleh Kasih, harum makanan membuat perut mereka yang sudah lapar terasa semakin lapar.
Ternyata di meja makan sudah ada seloyang pizza yang harumnya menggugah selera.
“Sepertinya Oma menyiapkan pizza untuk kita, Mas. Aku juga sudah sangat lapar, Mas juga kan?” Kasih menatapnya dengan berbinar, sedang Byan hanya menyunggingkan senyum jengah dengan sifat sok akrab Kasih, wanita itu masih belum menyerah ternyata.
Kasih dengan telaten menyiapkan pizza itu untuk Byan lalu menyiapkan untuk dirinya sendiri. Keduanya yang memang kelaparan akhirnya makan dalam diam. Kasih juga menuangkan air yang sudah ada di sana, saat dia minum ternyata itu sparkling water yang begitu menyegarkan. Rasanya rasa lapar dan dahaganya benar-benar terpenuhi dengan sempurna.
“Apakah ada sesuatu yang kamu butuhkan, Mas? Jika tidak aku ingin melihat-lihat ke sekitar pantai.” Ucap Kasih sesaat setelah mereka menyelesaikan makannya.
“Aku tidak peduli dengan apa yang kamu lakukan.” Byan membalasnya dingin, membuat Kasih mengangguk dengan senyum tipisnya. Dia beranjak dari kursinya namun justru tubuhnya sedikit limbung, yang diikuti dengan rasa panas yang semakin naik membakar tubuhnya.
Kasih masih bertumpu pada meja. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya dengan rasa tubuhnya yang tiba-tiba meremang dan semakin panas.
“Mas …” Bisik Kasih dengan nada serak, dia menatap Byan dengan tatapan yang bingung, apa yang terjadi dengan tubuhnya, kenapa melihat Byan dengan begitu berhasrat. Telapak tangannya semakin berkeringat.
Pun dengan Byan yang merasakan hal yang sama, dia melihat Kasih yang terus menggelengkan kepalanya dan memejamkan matanya dengan tangan yang mengepal di sisi bajunya. Suara wanita itu telah berubah serak yang entah kenapa terdengar sangat seksi.
Byan mengumpat dalam hati atas rencana busuk yang dilancarkan oleh Omanya, yang begitu mulus menyerang keduanya tepat sasaran.
“Mas … Ini … kenapa … panas … sekali…” Kasih mengusap dadanya lalu ke lehernya dengan tatapan yang semakin tidak fokus, pun dengan Byan yang merasakan hal yang sama.
Saat tangan Kasih menyentuhnya, itu seolah menjadi penyulut yang sempurna bagi Byan karena tidak bisa lagi menahan hasratnya pada Kasih yang tampak begitu sempurna dalam genggamannya, lehernya yang putih dan jenjang yang selalu diusap oleh wanita itu membuat Byan gelap mata.
“Mas … Tolong …” Kasih sudah menggenggam erat tangan Byan saat gejolak itu semakin kuat dia rasakan dan membuatnya hampir gila.
“Dengan senang hati, Lavina Kasih.” Byan berbisik lalu menarik tangan Kasih dan mencumbu wanita itu yang disambut dengan sempurna oleh Kasih yang sejak tadi membutuhkannya.