Bab 10 | Kemungkinan Hamil

1420 Words
Kasih terjaga saat matahari baru saja terbit, tubuhnya terasa remuk, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan saat bangun tidur, dan saat mengingat apa yang terjadi semalam, matanya langsung membelalak kaget, dia melihat kepada dirinya sendiri, yang hanya tertutup oleh selimut, sedangkan pakaiannya dan pakaian Byan masih berserakan di lantai. “Ya Tuhan.” Kasih membekap mulutnya tidak percaya, dirinya dan Byan benar-benar bercinta semalam? Apa yang akan terjadi setelah ini. “Sudah bangun kamu rupanya.” Itu suara serak Byan yang semakin mengejutkan Kasih. “Mas … Kita …” Ucap Kasih tidak mampu melanjutkan ucapannya. “Apa? Kita hanya having s*x, Kasih. Lagi pula ternyata kamu bukan wanita yang menjaga kesucianmu, aku seperti having s*x dengan p*****r, bukan dengan seseorang yang memiliki status sebagai seorang istri. Seorang istri yang terlihat berbakti dan suci, ternyata tidak ada bedanya dengan p*****r. Pernah dipakai oleh orang lain sebelum suaminya.” Byan menekankan setiap kalimatnya, dan itu sangat menghunus hati Kasih, membuat Kasih membekap mulutnya untuk menahan isak tangisnya. Bagaimana bisa Byan mengatakan kata-kata yang begitu kejam? Byan memang bukan yang pertama untuknya, namun kenapa pria itu dengan begitu keji menuduhnya seperti p*****r tanpa tau kebenarannya. “Tajam sekali mulutmu, Mas. Aku bukan p*****r, dan aku memiliki alasannya kenapa kamu bukan yang pertama.” Kasih mengatakannya dengan pilu, namun itu tidak menyentuh hati Byan sama sekali, pria itu hanya tertawa sinis, semakin membenci Kasih. Dia pikir wanita itu wanita baik-baik yang akan menjaga dirinya, nyatanya dia berhubungan begitu jauh dengan Arvin. Mungkin mereka melakukannya rutin seperti sepasang suami istri. “Kenyataannya memang seperti itu, Kasih. Kamu sendiri yang membuktikannya, jika kamu tidak lebih baik dari pada p*****r di luar sana.” Byan lalu beranjak dari tidurnya, masih dengan tubuh yang bertelanjang lalu masuk ke kamar mandi, meninggalkan Kasih yang semakin terisak memilukan. Langkah Kasih tertatih, memungut satu persatu pakaiannya lalu memakainya. Langkahnya begitu lunglai dengan air mata dan isak tangis memilukan yang mengiringi langkahnya. Dia keluar dari paviliun itu, berjalan tak tau arah, hanya mengikuti kemana kakinya melangkah. Setiap langkahnya selalu menimbulkan kesesakan di d**a, hingga tubuhnya jatuh karena dia tidak sanggup lagi menopangnya. Kasih bersimpuh dan memandang ke depan di mana pantai yang begitu indah nyatanya tidak mampu menghapus perihnya hati yang teriris. Kenapa Byan bisa begitu kejam? Menginjak-injaknya tanpa perasaaan seolah dia sangat-sangat hina dan tidak berharga. “p*****r? Kenapa mulutmu begitu berbisa, Mas? Bagaimana mungkin hubungan kita bisa menjadi sebuah pertemanan jika kamu membuat benteng kebencian yang begitu tinggi denganku?” Kasih memukul-mukul dadanya yang terasa begitu sesak. Rasanya setelah kejadian ini dia menemukan jalan buntu, Byan tidak bisa didekati dari sisi mana pun, entah apa yang direncanakan pria itu? Kenapa tidak mengakhiri pernikahan yang seumur jagung ini dari pada terus hidup bersama wanita yang dia benci? Hati dan jiwanya remuk setiap hari menghadapi Byan, namun pria itu bahkan tidak melunak sedikit pun, justru semakin kejam seperti manusia yang tidak memiliki nurani. Pernikahan seperti apa yang dia jalani jika mereka sangat bertolak belakang? Di saat Kasih mencoba menerima takdirnya dan berusaha memberikan yang terbaik sebagai bentuk baktinya, pria itu justru melakukan segalanya. “Bunda … Ternyata pernikahanku penuh kerikil yang tajam, membuatku berdarah-darah, sama seperti yang Bunda rasakan, namun aku tidak sekuat Bunda. Aku tidak memiliki arah, Bunda. Bagaimana mungkin aku hidup dengan seorang pria yang hanya menganggapku nilai tukar dan menyamakanku seperti p*****r?” Kasih terisak-isak di bibir pantai sendirian. Duduk di sana dengan linangan air mata yang terus membasahi wajahnya dalam waktu yang cukup lama. *** Satu bulan berlalu sejak bulan madu yang bagi Kasih lebih kepada tragedi itu. Banyak yang berubah dari dirinya, dia masih berusaha menjalankan tugasnya sebagai seorang istri, namun tidak terlalu banyak bicara dan mencoba beramah-tamah pada Byan. Namun tentu saja berbeda dengan Byan yang semakin melancarkan aksinya untuk terus menyakiti Kasih dengan mulut maupun perlakuannya. Sudah beberapa hari ini dia merasa tidak fit, mungkin karena kesibukannya yang menyiapkan pesta pernikahannya dengan Byan yang tinggal menghitung hari. Tepatnya tujuh hari lagi. Undangan sudah dibagikan sejak dua minggu yang lalu, tentu saja hal itu juga mengejutkan bagi Arvin yang bukannya menghindari Kasih karena tau Kasih sudah milik orang lain, pria itu justru semakin gencar mencecar Kasih dan masih meminta kesempatan pada Kasih, bahkan meminta kawin lari dan meninggalkan Byan. Baginya Arvin sudah semakin gila. Pria itu beberapa kali memaksa Kasih untuk masuk ke mobilnya dan meminta kesempatan untuk berbicara, pada akhirnya Kasih memberi kesempatan terakhir untuk meminta Arvin jangan menemuinya lagi setelah itu, Arvin setuju dengan permintaan makan malam untuk terakhir kalinya, dia meminta agar perpisahan mereka benar-benar berakhir baik, walau Arvin masih tidak ikhlas melepaskan Kasih. Nyatanya rasa cinta itu telah hilang di hati Kasih, dia tidak lagi mencintai Arvin. Tidak tertinggal sedikit pun, perasaannya pada Arvin telah hilang dengan sempurna. “Huhh …” Kasih menghela napasnya panjang saat merasakan kepalanya kembali pening, saat ini dia tengah membuat sarapan untuknya dan untuk Byan, walau pria itu tidak pernah menyentuh makanan yang dibuatnya. Byan melihat dari pintu kamarnya, bagaimana Kasih yang mengusap keningnya lalu memijatnya, wajah wanita itu sejak beberapa hari yang lalu memang terlihat pucat. Sejak kejadian bulan madu mereka, di mana dirinya memperlakukan Kasih seperti sampah dan menghinanya dengan kata-kata yang menyakitkan, Byan bisa merasakan bagaimana perubahan wanita itu, yang dulunya selalu menyambut paginya dengan senyuman, menuntun tangannya untuk menuju ke meja makan, memberikan secangkir teh juga toast yang wanginya sama persis seperti yang selalu dibuat oleh mamanya dulu, Kasih sendiri yang mengatakan jika Wening yang memberikan resep itu. Kasih selalu bercerita setiap pertemuannya dengan Wening, dengan tujuan untuk mengenal dirinya lebih jauh dan berharap mereka bisa menjadi teman walaupun Byan begitu jahat karena tetap memperlakukannya dengan buruk dan tidak pernah menyambut hangat kebaikan Kasih yang begitu tulus. Bukankah dia menjadi pria jahat yang tidak memiliki hati, di saat wanita itu dengan usaha maksimal berusaha untuk mengenalnya lebih dekat, namun dia justru terus melontrakan kalimat-kalimat juga perlakuan keji yang merendahkannya. Kini Kasih lebih banyak diam, Byan bisa merasakan perubahan itu, tidak ada lagi senyum yang begitu hangat dan wajah yang berseri-seri saat bercerita, tidak ada lagi senyum penuh kelegaan saat melihat Byan akhirnya pulang setelah bekerja, dengan penuh suka cita mempersilahkan Byan untuk makan malam yang disiapkan dengan tulus oleh Kasih, walaupun Byan selalu mengabaikannya bahkan tidak melirik makanan yang dibuat wanita itu sekali pun, Kasih tidak pernah berteriak atau mengumpat padanya. Kasih sudah menjadi sosok istri yang sempurna dan berbakti, namun Byan tidak melihat itu. Dia terus terfokus pada tujuannya untuk mempermainkan Arvin, bahkan dia merasa puas saat melihat bagaimana kalang kabutnya Arvin mengetahui pernikahan mereka. Lalu mengancam Arvin dengan mengatakan jika dia akan menghancurkan Kasih perlahan-lahan, pria itu kelabakan, bahkan melakukan segala cara untuk membujuk Kasih, dia terus memantau dan mengamatinya. Langkah kaki Byan dan tongkat yang digunakan pria itu untuk menuntun langkahnya membuat Kasih terusik, dia menoleh sekilas, lalu meletakkan teh untuk Byan juga toast-nya. Memang Kasih masih menyiapkan sarapan dan makan malamnya, namun wanita itu lebih banyak diam, tidak pernah memulai obrolan lagi atau menanyakan pertanyaan basa-basi untuk memperbaiki hubungan mereka. “Aku membuatkan sarapan seperti biasa, Mas.” Bisik Kasih, suaranya terdengar lemah, dia duduk di samping Byan dan menikmati sarapannya sendiri, namun perutnya rasanya bergejolak dan peningnya semakin menjadi, membuatnya mengerjapkan matanya dan menggelengkan kepalanya. Dia lalu beranjak dari meja makan dengan tubuh yang sempoyongan. “Aku duluan, Mas.” Ucap Kasih yang tubuhnya hampir limbung namun dia berhasil menguasai dirinya, dengan langkah yang berat dia kembali menuju kamarnya, mungkin kembali tidur bisa membuat keadaannya lebih baik. Byan diam-diam memperhatikan, bagaimana wajah wanita itu yang bertambah pucat bahkan hampir limbung tubuhnya, namun Kasih tidak mengatakan apapun. Byan juga tidak ingin mengambil pusing, wanita itu pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Dia memiliki banyak agenda penting hari ini, bekerja masih di balik layar sebagai pria yang buta. Kasih terbangun satu jam kemudian, namun keadaannya bukan membaik malah justru memburuk, dia bangun dengan perut yang bergejolak hebat, yang membuatnya langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semuanya. Memijit kening dan tengkuknya berharap keadaannya membaik. Lalu dia memikirkan sesuatu, menghitung-hitung tanggalnya. “Ya Tuhan…” Kasih menggigit jari-jarinya lalu mengusap wajahnya kasar dengan air mata yang membasahi wajahnya begitu saja. “Bagaimana jika … bagaimana jika …” Kasih reflek menyentuh perutnya lalu menggeleng. Dia ingat dirinya telah telat datang bulan sejak dua minggu yang lalu. Tidak. Tidak mungkin dirinya hamil kan? Dalam keadaan pernikahan yang carut marut, apa yang akan terjadi dan apa yang akan dilakukan Byan jika dirinya benar-benar hamil? “Ya Tuhan … Bagaimana ini …” Air mata Kasih menetes semakin banyak memikirkan kemungkinan yang terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD