Kasih pulang masih dengan perasaan yang kesal, di depan pintu apartemen Byan, dia menghela napasnya panjang, hari ini cukup melelahkan dan menguras emosinya, semoga Byan tidak memperburuk keadaannya. Setidaknya dia masih ingin mencoba menjadi istri yang berbakti juga mendekati pria itu agar bisa menjalin pertemanan.
Dia membuka pintu apartemennya, gelap gulita yang menyambutnya menandakan jika Byan belum pulang. Dia lalu menyalakan semua lampu, sesungguhnya dia takut gelap dan sendirian, maka biasanya dia akan menyetel televisi dengan volume yang kencang. Dia lalu menuju dapur dan berniat membuat makan malam.
Entah kenapa dia menginginkan semur ayam kecap dengan cah kangkung tempe. Dia lalu membuka kulkas yang beruntungnya semua bahan yang dia butuhkan memang ada. Dia dengan cekatan langsung mengeksekusinya, perutnya juga sudah begitu lapar, namun dia akan menunggu Byan pulang dulu dan makan malam bersama.
Tepat setelah Kasih menyelesaikan masakan untuk makan malam, pintu apartemen terbuka. Kasih memasang senyumnya, melihat Byan yang pulang bersama pria yang tadi pagi. Kasih belum mengenalnya, mungkin sekertaris atau asisten pribadi pria itu.
Dan sepertinya Byan tetap melakukan pekerjaannya sekali pun keadaan membatasinya, namun dia memiliki kekayaan dan kekuasaan yang tentu dengan mudah akan membuatnya melakukan hal-hal yang dia inginkan.
“Mas … Sudah pulang?’ Sapa Kasih dengan nada ramah.
Tadi begitu pulang dia langsung bergegas ke dapur bahkan belum mengganti pakaiannya, luka di keningnya yang terkena lemparan gelas oleh Luna juga menjadi luka yang mengering dengan sisa darah di sana.
Banyak yang Kasih pikirkan hingga dia mengabaikan keadaan dirinya. Byan melihat dengan rasa penasaran apa yang terjadi pada wanita itu. Kenapa bisa ada luka mengering, wajahnya yang memerah dan sudut bibirnya yang membiru. Apa wanita itu baru saja mengikuti gulat? Yang benar saja! Apa yang dilakukannya seharian ini hingga membuatnya terluka seperti itu!
Rasa kesal tiba-tiba saja muncul dalam diri Byan, wanita itu adalah miliknya, dia telah membeli wanita itu dengan harga mahal dan hanya dia yang boleh menyakitinya.
“Kamu bisa meninggalkannya sekarang. Aku yang akan mengurusnya.” Ucap Kasih dengan tatapan tidak bersahabat pada Ivan, membuat Ivan tersenyum kaku dan mengangguk.
“Jika begitu … Saya pamit dulu, Tuan … Nyonya …” Ucap Ivan dengan nada santun. Namun, suara dingin Byan lagi-lagi menginterupsinya.
“Siapa yang menyuruhmu pulang? Ke ruang kerjaku sekarang.” Sentak Byan membuat Ivan dan Kasih cukup tersentak. Namun Kasih berusaha untuk mengontrol dirinya.
“Mas … Jika kamu ingin melakukan pekerjaanmu, makan malam lah dulu.” Ucap Kasih dengan membujuk dan menahan lengan Byan yang sudah akan meninggalkannya, namun detik itu juga hanya sentakan kuat yang Kasih dapatkan.
“Bangun dari halusinasimu, Lavina Kasih! Kamu tidak sedang menjalankan drama picisan kehidupan pernikahan. Aku hanya akan menganggapmu tidak lebih dari sebuah nilai tukar!” Byan mengatakannya dengan nada tinggi yang membuat Kasih begitu terkejut dengan hati yang berdenyut-denyut kesakitan.
Tubuhnya sedikit terhuyung tepat saat Byan membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Kasih bersandar pada sofa dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Menekan dadanya yang terasa begitu nyeri. Dia tidak menyangka jika mencoba menjalin hubungan baik dengan manusia begitu sulit.
Dia tidak memiliki salah apapun pada seorang Byantara, tapi kenapa pria itu memusuhinya begitu hebat. Mereka bersama karena takdir yang tidak bisa dihindari, jika ingin menghindarinya seharusnya pria itu lebih memiliki kuasa dibanding dirinya, namun pria itu juga menerima pernikahan ini, maka setidaknya bisakah pria itu melakukan sedikit kompromi dengannya.
Kasih kembali menghela napasnya panjang lalu memilih untuk kembali ke kamarnya, tubuhnya terasa lengket dan mandi dengan air hangat mungkin akan lebih menyegarkan pikirannya.
Dia langsung memasuki kamar mandi, baru menyadari seperti apa keadaan wajahnya, dia mengusapnya pelan dan membersihkannya dengan lembut, ringisan sakitnya terdengar pelan, berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri.
Sekali pun Byan selalu menyakitinya dengan ucapannya yang tajam, namun masih tidak ingin menyerah sedini ini, setelah membersihkan dirinya dia kembali ke ruang makan, dia membuat secangkir kopi untuk Byan dan membawanya ke ruang kerja pria itu.
Pintunya terbuka sedikit, dan terlihat jika Byan begitu serius dengan sekertarisnya itu, hal itu membuat Kasih urung mengutarakan niatnya, dia takut mengganggu pria itu dan membuat pria itu kehilangan fokusnya, dan kata-kata yang keluar dari Byan hanya akan menyakiti hatinya lagi dan lagi.
Kasih memilih kembali ke ruang makan, dirinya juga lapar, menimbang-nimbang apakah dia perlu menunggu Byan hingga keluar atau makan dahulu. Dia lalu justru larut dalam lamunannya, di mana teringat akan obrolannya dengan Wening tentang Byan.
“Byantara itu orangnya hangat dan diam-diam perhatian jika sudah mencintai seseorang, dia bukan orang yang tidak peduli dengan hal-hal di sekitarnya, sebaliknya dia sangat memperhatikan hal-hal kecil, termasuk kesejahteraan karyawan-karyawannya, makanya banyak karyawannya yang loyal kepadanya, dia sosok pemimpin yang bijaksana, pemerhati dan peduli, bukan pemimpin yang angkuh dan sombong dengan jabatannya, namun semuanya berubah sejak kecelakaan itu, dia menjadi orang yang berubah total, dan Oma berharap kamu bisa mengembalikan sifat Byantara yang dulu, sayang. Oma bisa melihat sifat asih dalam dirimu seperti namamu, kamu berhati lembut, penuh kasih, mudah menyentuh hati orang-orang di sekitarmu, kamu perhatian dan saking perhatiaanya kamu suka lupa dengan dirimu sendiri. Byan itu orang yang mudah dicintai, pun dengan dirimu yang begitu mudah membuat orang jatuh cinta. Oma harap cinta segera hadir dalam pernikahan kalian, maka hidup kalian akan sempurna, kamu akan merasakan betapa bahagia dan manisnya dicintai dengan sempurna oleh sosok seperti Byan, pun dengan Byan yang belum pernah bertemu dengan wanita tipe seperti dirimu. Kalian akan saling mengisi dan melengkapi. Oma selalu mendoakaan kebahagiaan dan cinta segera hadir dalam pernikahan kalian.”
“Oma … Nyatanya semua yang Oma ucapkan terasa mustahil untuk kami raih, cucumu menganggapku begitu rendah, jangankan seorang wanita, dia bahkan tidak menganggapku sesosok manusia apalagi berharga. Aku hanyalah nilai tukar untuknya.” Bisik Kasih dengan pilu di ruangan yang begitu sunyi itu, rasa laparnya menguap entah kemana berganti dengan rasa sesak yang menghujam dadanya bertubi-tubi, dia lalu merebahkan kepalanya di meja makan dengan air mata yang kembali menggenang di pelupuk matanya lalu pelan-pelan menetes membasahi wajahnya.
Byan terjaga dari tidurnya karena rasa haus yang dirasakannya, dia lalu menuju dapur dan menyadari jika lampu dapur yang menyatu dengan ruang makan masih menyala, membuatnya mengernyitkan keningnya bingung. Tadi setelah berdiskusi dengan Ivan untuk membahas beberapa hal dia langsung menuju kamarnya yang memang memiliki connecting door dengan ruang kerjanya.
Keningnya semakin mengernyit saat mendapati Kasih justru tertidur di sana, dengan tangan sebagai bantalnya di meja makan, dan hidangan yang masih terhidang di sana.
“Ck!” Byan mendecih kesal. “Apa dia sedang mencari perhatian dan simpatiku dengan tindakannya yang seperti ini? Sangat klise dan menggelikan.” Bukannya simpati Byan justru mencibirnya.
Dengan sengaja Byan membanting gelas di dekatnya hingga memecah kesunyian malam itu yang membuat Kasih langsung terbangun karena terkejut.
“Ya Tuhan, Mas … Kamu tidak apa-apa?” Tanya Kasih dengan nada paniknya melihat serpihan kaca di depan Byan. “Jangan bergerak! Jangan bergerak sedikit pun.” Ucap Kasih masih dengan nada paniknya.
Hal itu membuat Byan membeku untuk sesaat. Wanita itu terbangun tiba-tiba, seharusnya ada rasa pusing karena terkejut, namun yang wanita itu lakukan justru langsung terfokus padanya dan memastikan dirinya baik-baik saja.
Bahkan dia tidak menyadari jika Kasih telah membawanya untuk duduk, dan wanita itu bergegas membersihkan kekacauan yang sengaja Byan ciptakan.
Byan masih dengan kebisuannya, berbagai pikiran muncul di kepalanya. Sebagian hatinya berbisik jika Kasih memang wanita yang berhati lembut dan penuh perhatian, tanpa pamrih dan penuh kasih seperti namanya, namun sebagian hatinya yang lain mengatakan hal yang sebenarnya, karena dia lebih meyakini jika di dunia ini tidak ada hubungan timbal balik yang benar-benar tulus.
Kasih lalu datang membawakan segelas air untuk Byan, yang lagi-lagi membuat Byan terkesima namun dia menyimpan rasa takjub itu dalam hati. Bagaimana wanita itu sangat mengerti yang dibutuhkannya tanpa Byan mengatakannya. Mereka baru saja tinggal bersama dua malam, namun kenapa wanita itu seolah begitu cepat beradaptasi dan memainkan perannya dengan apik dalam rumah tangga dadakan itu.
“Diminum dulu, Mas …” Ucap Kasih dengan senyum tulusnya, kantuknya hilang begitu saja, dia melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari.
“Apakah kamu sedang membuat drama agar aku jatuh cinta padamu karena rasa pedulimu? Jangan mimpi, Kasih! Jika kau sedang membuat skenario untuk membuatku jatuh cinta, buanglah jauh-jauh angan-anganmu itu! Sampai kapan pun kamu tidak layak bersanding denganku! Kamu hanyalah nilai tukar bagiku, tidak lebih!” Nada suara Byan memecah keheningan malam itu, yang kembali melemparkan serpihan kaca ke hati Kasih, hingga hati wanita itu kembali berdarah-darah karena ucapannya.
“Mas, apa sebenarnya salahku? Kenapa kamu memandangku seburuk itu? Kita berdua tau pernikahan ini tidak diinginkan olehku atau pun olehmu, kita menikah karena keadaan yang memaksa. Seharusnya dirimu yang lebih memiliki kuasa untuk menolaknya. Mungkin aku mengacaukan rencana hidupmu dengan adanya pernikahan ini, mungkin aku membuat hidupmu berubah total dan menjadi beban untukmu. Tapi aku juga korban di sini, Mas. Andai kamu tau bagaimana menyakitkannya semua ini untukku …” Kasih kehilangan kata-katanya, suaranya tercekat di tenggorokan. Padahal dia hanya ingin memulai hubungan yang baik dari pertemuan mereka yang kurang baik. Apakah itu salah? Kenapa begitu sulit?
“Memang … Memang aku memiliki skenario, aku hanya ingin menjalin hubungan yang baik denganmu sebagai sesama manusia, yang aku harap kita bisa berteman dan berkompromi dalam pernikahan ini. Namun sepertinya harapanku terlalu jauh ya, Mas. Kamu tidak menganggapku manusia, kamu hanya menganggapku sebagai nilai tukar.” Kasih melanjutkan dengan nada yang terisak dan suara yang serak, dia lalu beranjak dari sana, meninggalkan Byan yang tiba-tiba kedinginan mendengar suara Kasih yang pilu juga serak.
Langkah kaki Kasih yang begitu pelan bisa terdengar dengan jelas oleh Byan, dia menoleh dan melihat punggung ringkih itu yang berjalan menjauhinya. Ucapan Kasih cukup menohoknya. Nyatanya wanita itu tidak memiliki salah apapun, wanita itu juga tidak dengan sukarela menerima pernikahan ini, yang wanita itu lakukan adalah terpaksa menerima pernikahan ini karena tidak memiliki daya dan upaya untuk menolaknya.
Namun Byan juga tidak bisa mengesampingkan tujuannya, Kasih adalah alat yang sempurna untuk menghancurkan Arvin setelah dia mengetahui jika Arvin benar-benar mencintai Kasih. Maka dia akan menggunakan Kasih, menyakitinya untuk membalas Arvin.
Bukan salahnya wanita itu masuk dalam hidupnya, dan persis seperti apa yang dia ucapkan pada Kasih tentang nilai wanita itu di matanya yang tidak lebih sebagai nilai tukar, maka Byan akan menggunakannya dengan maksimal agar wanita itu memiliki nilai tukar yang menguntungkan untuk rencana-rencananya selanjutnya dalam menyingkirkan semua hal yang menghalanginya! Tidak ada hati dan perasaan sampai kapan pun untuk wanita itu! Tidak akan sedikit pun Byan memberikan rasa iba di sana, karena rasa iba akan merusak semua rencananya!
Kasih hanyalah nilai tukar yang akan dia manfaatkan sebaik mungkin untuk rencana besar dalam hidupnya, dan dia akan membuangnya setelah wanita itu tidak lagi memiliki nilai dalam hidupnya!