Bab 3 | Calon Suami yang Buta

1724 Words
Sakit hati yang dirasakannya masih membuatnya begitu sesak dan lemas, Kasih juga merasa sedikit demam akibat kehujanan semalam, namun dia tidak bisa membohongi perutnya yang terasa begitu lapar karena semalam dia melewatkan makan malamnya. Dia bangun dari tidurnya dengan hati yang berat, tau-tau air mata kembali membasahi wajahnya dengan d**a yang berdenyut ngilu mengingat pengkhianatan Arvin di saat dia menggantungkan harapan setinggi-tingginya kepada pria itu. “Bunda … Kenapa Ayah begitu tega menjualku dan kenapa aku harus mengalami pengkhianatan seperti yang Bunda alami, andai Bunda masih ada di sini, aku … aku tidak akan merasa sesakit ini.” Kasih menggumam dengan perih. “Kenapa … Kenapa Bunda menitipkan wasiat Bunda kepada Ayah? Kenapa Bunda tidak memberikannya langsung kepadaku?” Kasih terisak semakin hebat dan menutup wajahnya yang sudah berlinang basah oleh air mata. Andai tidak ada wasiat dari Bundanya, sudah pasti dirinya akan kabur sejauh mungkin dan memutuskan untuk memulai hidupnya yang baru sendirian, namun satu hal itu menahannya, dan membuatnya tidak bisa melakukan apapun. Ketukan di pintunya membuat Kasih akhirnya beranjak dari ranjang, saat membuka pintu dia melihat Luna berdiri di depannya, dengan tatapan mencemooh namun wanita itu membawa tray berisi nasi dengan sup ayam juga segelas air, hal itu membuatnya mengernyit namun detik berikutnya tertawa bodoh. “Oh, menyedihkannya saudaraku, setelah dijual oleh Ayahnya, mengetahui kekasihnya selingkuh dengan saudara tirinya, kini harus menikah dengan pria cacat. Ah untuk yang terakhir itu kamu belum tau kan? Aku dengan baik hati memberi tahumu, jika suamimu cacat.” Ucap Luna dengan penuh penekanan namun sorot matanya menunjukkan kepuasan. Kasih yang mendengar itu tidak bisa lagi mengontrol emosinya, dia langsung menyambar air yang di bawa oleh Luna lalu menyiramnya tepat ke muka Luna dengan sekuat tenaga, juga menampik tray itu hingga sup dan nasi yang masih panas itu tumpah mengenai badan Luna, membuat Luna dengan reflek menjerit. Namun detik berikutnya juga Kasih memberikan tamparannya dengan kuat. “Itu belum seberapa, jalang!” Ucap Kasih dengan tatapan nyalangnya, lalu menutup pintu kamarnya dengan kuat. “Wanita sialan!” Teriak Luna dengan begitu keras namun Kasih sudah tidak mempedulikannya, rasa laparnya hilang digantikan dengan kebencian yang membakar hatinya namun juga ada rasa sakit yang kembali menggerogoti hatinya. Biasanya, setelah dirinya dan Luna bertengkar, Ayahnya akan memanggilnya dan memarahinya, tentu lebih condong membela Luna, namun ini sudah lima menit berlalu tidak ada tanda-tanda peperangan selanjutnya, di mana biasanya Ibu Tirinya akan ikut mengompori Ayahnya. Pintu kamarnya kembali diketuk, namun yang terdengar itu justru suara Bi Efi. “Non Kasih … Ini Bibi membawakan sarapan untuk Non.” Mendengar itu membuat Kasih kembali beranjak dan membuka pintunya, Bi Efi meminta ijin masuk melalui anggukan kepala juga senyumannya, membuat Kasih membuka pintunya lebih lebar. “Sama ini, Non. Tuan Damar berpesan jika Non Kasih diminta untuk bersiap dalam dua jam, untuk bertemu dengan calon suami dan keluarganya.” Ucapan Bi Efi seketika membuat Kasih meringis dan perutnya serasa melilit. “Sialan.” Kasih mendesis sambil menyuapkan sarapannya dengan hati yang dongkol. *** Bahkan sebelum memasuki restoran, seorang pramuniaga telah menunggunya dan langsung menyapanya, seolah-olah kehadirannya memang sangat dinantikan. Kasih diantar menuju ke salah satu ruangan, yang dia tau jika ruangan itu telah dipesan untuk pertemuan kedua keluarga, keluarganya dan keluarga calon suaminya. Pramuniaga itu membuka pintu dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari bibirnya, begitu pintu dibuka seluruh mata menatap ke arahnya, memang mereka hanya menunggunya karena Kasih sengaja datang terlambat empat puluh menit dari yang diperintahkan oleh Ayahnya. Hanya ada satu orang yang tidak menatap ke arahnya, tatapannya terlihat kosong dan tidak memiliki ekspresi, namun parasnya jangan ditanya. Pria paling tampan dan mempesona yang pernah Kasih lihat dari hidupnya. “Mohon maaf saya terlambat.” Kasih menyunggingkan senyum kikuk, dia bisa melihat Ayahnya memberikan tatapan tajamnya seolah bersiap mencekiknya atas kelancangannya. Ratna langsung berdiri dan menghampiri Kasih lalu menggandeng tangan Kasih untuk segera duduk. Kasih masih mengabsen setiap wajah yang ada di sana. Itu adalah keluarga besar Wijaya, salah satu konglomerat pemegang perekonomian di Indonesia. Sial! Ayahnya benar-benar mumpuni dalam mencari partner bisnis untuk menyelamatkan bisnisnya. “Mohon maaf Tuan Wijaya, Nyonya Wijaya, putri saya ini sepertinya sangat nervous untuk bertemu calon pengantinnya.” Ratna berusaha mencairkan suasana, seketika Kasih tersadar dan langsung melotot kesal dan menghentak tangan Ratna. “Oh Tuhan, cantiknya calon cucu mantuku. Kamu sangat serasi untuk Byantara.” Ucap seorang nenek yang terlihat masih energik dan segar bugar. Kasih tau siapa itu, Wening Wijaya, salah satu pemegang saham terbesar Wijaya Group. “Sayang, kamu boleh memanggilku Oma, ya? Kenalkan dia cucuku satu-satunya yang terbaik.” Wening dengan antusias mengenalkan sosok pria yang sejak tadi masih tidak memberikan ekspresinya, namun tanpa ekspresi pun wajahnya begitu tampan. “Byantara Abimana Wijaya, kamu mungkin pernah mendengar namanya atau telah mengenalnya, dia adalah Direktur untuk Hotel Wijaya.” Wening masih dengan antusias mengenalkan sang cucu, Kasih hanya mengangguk dan tersenyum kaku. Byantara lalu mengulurkan tangannya namun justru dia mengulurkannya di arah yang sebaliknya dengan Kasih, membuat Kasih sedikit terkejut sebelum akhirnya menyadari jika pria di depannya ini buta. “Byantara mengalami kecelakaan dua bulan yang lalu dan dia dinyatakan buta. Saat ini kami masih berusaha untuk mencarikan donor mata untuknya.” Itu penjelasan dari Tristan -Ayah Byan-. Mendengar itu membuat Kasih mengangguk kaku dan tersenyum lalu menyambut uluran tangan Byan. “Baik langsung saja ke intinya, Kasih … cucuku sayang … kamu sudah bersedia menikah dengan Byan, kan?” Tanya Wening dengan tatapan yang berbinar-binar, membuat Kasih menyunggingkan senyum tipisnya walau hatinya masih dipenuhi dengan keraguan. “Ten…tu, Oma.” Ucap Kasih pada akhirnya membuat semua orang di sana tersenyum lega, namun tidak dengan Byan yang masih tidak menunjukkan ekspresi apapun, yang membuat Kasih bertanya-tanya, kenapa pria itu mau diatur dan dijodohkan oleh wanita asing, padahal dia memiliki segalanya dan bisa membayar siapapun sebanyak apapun untuk mengurusnya. Kasih benar-benar tidak mengerti. “Saya ingin mengadakan pesta pernikahan paling meriah untuk cucu saya, namun tentu itu membutuhkan waktu secepat-cepatnya dua bulan, namun saya juga ingin segera menikahkan cucu saya dengan Kasih. Jadi saya dan Tristan telah berdiskusi untuk melangsungkan akadnya terlebih dahulu besok. Bagaimana, Tuan dan Nyonya Agnibrata? Apa anda setuju?” Tanya Wening membuat Damar dan Ratna saling melempar tatap lalu tersenyum yang kemudian mengangguk. “Tentu kami setuju, Nyonya Wening, itu sangat baik untuk Kasih dan Tuan Byan agar mereka bisa saling mengenal sebelum pesta pernikahan digelar. Bukan begitu, sayang?” Damar kini menatapnya dengan tatapan yang penuh binar, membuat Kasih menggigit bibir dalamnya dan menahan napasnya, berusaha keras untuk memberikan senyumnya dan menganggukkan kepalanya. “Ah jika begitu kami senang mendengarnya. Maka tidak ada masalah apapun lagi, besok akad akan kita laksanakan dan dalam dua bulan ke depan, kita akan menggelar pesta pernikahan paling mewah yang pernah ada di negeri ini.” Ucap Tristan yang juga sama antusiasnya. “Sayang, apa kalian membutuhkan waktu berdua untuk mengobrol agar bisa saling mengenal?” Tanya Wening masih dengan raut yang berbinar-binar, sedang Kasih tidak mampu menjawabnya karena sebenarnya dia tidak memerlukan itu. Namun suara dari pria yang sejak tadi diam tanpa ekspresi justru mengagetkan Kasih. “Tentu saja, Oma. Aku memerlukan ruang untuk mengenal calon istriku.” Suaranya terdengar dalam dan begitu dingin, membuat Kasih sedikit merinding, walau tatapannya kosong, namun entah mengapa Kasih merasa terintimidasi dengan matanya. “Oma senang mendengarnya, maukah Kasih membantu Byan untuk menuju ke taman di sebelah ruangan ini melalui pintu itu?” Tanya Wening lagi membuat Kasih mengangguk, lalu beranjak dari duduknya dan menuntun Byan untuk menuju taman kecil yang berada persis di sisi ruangan itu. Seorang pramuniaga juga dengan sigap membantu membukakan pintu untuk mereka berdua. Tidak ada percakapan selama beberapa saat sejak mereka duduk di taman private itu. Kasih memperhatikan Byan dengan teliti, menatapnya dari atas ke bawah, berusaha mencari-cari jawaban, kenapa orang paling berpengaruh seperti Byan, yang memiliki kuasa atas segalanya, yang dunia mungkin bisa berada dalam genggamannya, begitu patuh dijodohkan dengan wanita asing yang tentu akan menghancurkan masa depan pria itu. “Kenapa mau menikah denganku?” Tanya Kasih pada akhirnya memecah keheningan di antara mereka. Mendengar itu Byan menyunggingkan senyum sinisnya. “Karena hanya kamu yang dijual oleh keluargamu dan keluargaku membelinya dengan harga sempurna.” Jawab Byan menyakitkan dan membuat Kasih mendecih tidak percaya walau hatinya berdenyut sakit. “Sialan.” Bisik Kasih, walau dalam hati dia tau jawaban Byan sepenuhnya benar. “Tapi kau memiliki pilihan untuk menolaknya, atau karena kini kau buta dan tidak berdaya?” Tanya Kasih membuat Byan kembali menyunggingkan senyum sinisnya, ternyata wanita itu mampu bermain saling menyerang dengan kata menyakitkan. “Aku buta namun aku memiliki kehendak atas segala sesuatu yang kuinginkan. Aku hanya penasaran, setidak berharga apa wanita yang dijual oleh Ayahnya. Kamu hanya barang yang dijual Kasih, maka aku akan memperlakukanmu senilai harga jualmu. Aku bisa mengakhiri pernikahan ini kapanpun dan kamu tidak bernilai di mataku sebagai seorang wanita apalagi istri.” Byan mengatakannya dengan nada pongah. Tidak tau jika Kasih merasakan harga dirinya tercabik-cabik dengan ucapan Byan. Tangannya mengepal kuat dan dia memejamkan matanya untuk mengontrol emosinya. Setelah Ayahnya yang menjualnya, kekasihnya yang mengkhianatinya dengan berselingkuh dengan adik tirinya, kini calon suaminya yang menganggapnya tidak lebih dari mainan! What a perfect life! Rasanya Kasih ingin kabur dari semua ini, namun sebagian hatinya menolak, dia tidak ingin kalah dengan semua beban yang seolah mengolok-oloknya, dia harus bertahan untuk membalikkan keadaan. “Maka kita lihat, sejauh mana kamu bertahan dengan ucapanmu itu, Tuan Byantara Abimana. Aku juga tidak sabar mengulik kehidupan tuan muda kaya raya dan mengacaukannya. Seseorang yang kau anggap tidak lebih dari nilai tukar ini berjanji akan memporak-porandakan hidupmu!” Kasih berkata dengan nada penuh emosi yang membara, dengan tangan yang mengepal penuh tekad. Tidak! Dia tidak akan menyerah dan kalah dengan keadaan ini, dia akan membalikkan kedaan ini dengan kedua tangannya! Byan yang mendengar jawaban dari Kasih merasa tertantang dengan perasaan excited ingin melihat sejauh apa Kasih berbuat! Dia tidak menyangka dengan jawaban Kasih, dia kira wanita itu akan menangis dan meraung meminta dilepaskan, namun justru sebaliknya. Pernikahannya akan menarik sepertinya! “Oh … Aku tidak sabar menunggu seseorang yang akan menghancurkan hidupku Lavina Kasih.” Bisik Byan dengan nada sarkasnya, melirik dengan ekor matanya pada Kasih yang emosinya masih menggebu-gebu namun dia bisa melihat ada kesedihan di sana. ‘Sebelum kamu menghancurkanku, aku akan menghancurkanmu dahulu, Kasih. Wanita yang dicintai Arvin akan hancur di tanganku.’ Bisik Byan dalam hati dengan tangan yang mengepal kuat dan penuh tekad.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD