Lander mencari artikel tentang rasa sakit yang dialami Zoya. Apalagi Zoya selalu jatuh pingsan, setiap kali bersamanya. Tentu dia sedikit merasa sebagai penyebabnya.
Dokter saat itu meminta Zoya untuk konsultasi pada psikiater, jadi Lander pikir Zoya mengalami masalah dengan mentalnya sendiri. Apa penyebabnya? Lander juga tidak mengerti, karena apa yang terjadi pada Zoya baru terjadi akhir-akhir ini saja. Dulu tidak pernah ada terjadi hal seperti, meskipun Zoya terus mencobanya mendekatinya.
Menaruh laptopnya, Lander menyerah terhadap pencariannya. Dia tidak menemukan petunjuk tentang kondisi Zoya. Memang sebaiknya Zoya pergi ke psikiater.
"Lo ngapain?" Suara lemah mengejutkan Lander
Lander langsung menoleh, dan melihat pada gadis di atas tempat tidurnya. Terlihat sangat baik, bahkan tidak menunjukkan ada tanda-tanda kesakitan. "Apa Lo udah periksakan diri lagi? Kenapa Lo selalu kesakitan dan pingsan?"
Zoya bangkit, dia duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. Sibuk memperhatikan ruangan kamar Lander. Cukup luas, tidak banyak barang, juga terlihat sangat nyaman. Ini kedua kalinya dia melihat kamar Lander, tapi ini pertama kalinya dia mengamati dengan benar.
"Makasih udah bawa gue ke sini. Dan maaf udah ngerepotin, gue mau balik!" Zoya tidak bisa menjelaskan tentang kondisinya, jadi keputusan terbaik adalah segera pergi dari sana.
Lander bangkit dari duduknya, dia berjalan mendekat dan duduk di pinggiran tempat tidur. Tepat disebelah Zoya, sehingga gadis itu tidak jadi berdiri.
"Karena Lo udah datang ke sini, gue bakal masakin makan siang. Basuh muka Lo, terus langsung ke meja makan!" Lander bicara sambil memeriksa keadaan Zoya dengan mengamatinya dari dekat. Memastikan tidak ada masalah dengan gadis itu. Dan benar saja, seperti biasanya, Zoya terlihat baik-baik saja setelah bangun dari pingsan. Seolah-olah yang terjadi tadi hanya akting.
Zoya agak terkejut mendengar ucapan Lander. Ternyata laki-laki itu bisa bersikap baik juga padanya. Tapi kenapa laki-laki itu harus memperhatikan dari dekat, dia jadi agak gelisah.
"Makasih tawarannya!" Jujur saja, Zoya tidak menutupi perasaan senang, karena Lander akan memberinya makan.
Lander hanya mengangguk dengan ekspresi datarnya, kemudian berlalu pergi. Gadis itu tersenyum begitu lebar, seolah-olah dia telah menawarkan sesuatu yang besar.
Setelah Lander pergi, Zoya langsung memastikan perasaannya. Dia memeriksa dadanya, apakah jantungnya berdetak kencang? Tidak! Zoya tidak merasakan degupan jantung yang berdebar-debar. Artinya memang dia tidak memiliki perasaan lebih lagi pada Lander. Menghembuskan napas lega, Zoya bisa merasa tenang.
Melihat lagi pada sekelilingnya, Zoya bisa melihat buku terletak rapi di beberapa tempat. Menunjukkan kalau buku hampir seperti hiasan ruangan ini. "Orang jenius emang beda!"
Zoya tiba-tiba sedikit sombong, dia yang sekarang bahkan memiliki kesempatan tidur di tempat tidur Lander. Berkebalikan dengan Zoya yang dulu, bahkan bisa berada di dekat Lander, di sekitarnya ketika di sekolah saja sudah merasa bersyukur. Benar-benar bucin!
Dia sempat bingung, kenapa Zoya remaja begitu menyukai laki-laki dengan karakter menyebalkan seperti Lander. Nyatanya, sampai dia kembali menjadi remaja lagi, masih belum menemukan alasan. Merasa bodoh, tapi juga lucu.
Masuk ke kamar mandi, Zoya meminta sabun cuci wajah milik Lander. Dia tidak terlalu mempedulikan, meskipun kondisi wajahnya dan Lander berbeda, jelas sabun cuci muka itu diperuntukkan untuk jenis kulit laki-laki.
Setelah merasa segar lagi, Zoya menatap pantulan cermin. Dia ingat tentang kejadian tadi, dia kembali merasakan sakit, dan saat dia menyentuh Lander tadi, gelangnya kembali bersinar. Zoya yakin, pasti ada kondisi yang berbeda, karena gelangnya tidak selalu bersinar tiap kali mereka bersentuhan.
"Kayaknya gue emang terhubung dengan kejadian di masa depan, karena dia. Tapi kondisi seperti apa yang menyebabkan itu terjadi? Apa gue juga bisa kembali ke masa depan melalui dia? Bagaimana jika di masa depan ternyata gue udah mati? Atau ini mimpi?" Pertanyaan berulang yang tidak pernah mendapatkan jawabannya.
Buru-buru keluar dari sana, Zoya langsung menuju ke meja makan. Lander tengah sibuk dengan peralatan masaknya. Laki-laki itu terlihat sangat serius, sebenarnya sangat jarang menemukan Lander tanpa ekspresi serius. Laki-laki itu selalu ingin melakukan semua hal dengan sangat baik.
"Lo masih suka es krim?" tanya Lander tanpa menoleh.
Zoya tidak langsung menjawab, karena kaget ditanya tentang itu. "Emh, masih!"
"Ada es krim di kulkas. Ambil aja!" Lander menunjuk pada kulkas, menoleh sekilas pada Zoya, kemudian kembali fokus pada masakannya lagi.
"Oh!" Zoya sebenarnya sedang tidak terlalu ingin makan es krim. Tapi dia tidak memiliki alasan menolak. Karenanya dia tetap beranjak dari duduknya untuk mengambil es krimnya.
"Oh, ya. Lo serius gak jadi ke Singapore? Mungkin maneger gue udah dapat kabar baik!" Zoya mengambil es krim, kemudian merogoh ponselnya di saku dengan tangan lainnnya. Tapi tidak ada.
"Ponsel Lo ada di atas meja samping kamar gue!"
"Oh!" Lagi-lagi Zoya menjawab dengan bodoh. Karena Lander bisa menebak apa yang dilakukannya, padahal sedang berdiri dengan posisi membelakanginya. Mungkin ada mata di belakang kepalanya.
Lander tersenyum miring, dia melihat melalui pintu laci yang terbuat dari bahan kaca hitam. Memantulkan bayangan Zoya yang tadi berdiri di depan kulkas.
—
Zoya melihat banyak pesan di ponselnya. Dari Tisa, Raksa juga dari maneger. Ada penerbangan ke Singapura malam ini, tapi Lander harus transit ke Bandung lebih dulu. Maneger menunggu konfirmasi lebih lanjut darinya untuk memesan tiket.
Buru-buru keluar dari kamar, Zoya mendekati Lander. Berdiri di belakangnya. "Lander, kalo mau ke Singapore …,"
"Gak, gue udah bilang gak pergi, kan?" Lander menoleh dan menjawab dengan tegas.
"Oh!" Zoya kaget, bukan karena jawaban Lander, tapi karena wajahnya dan Lander berada terlalu dekat. Reflek, Zoya melangkah mundur untuk memberikan jarak.
"Gue emang panik tadi. Tapi setelah memikirkannya, gue gak harus datang. Toh, ada banyak dokter yang akan merawatnya!" Lander tahu Zoya hanya ingin membantu, jadi dia menjelaskan.
Zoya tahu Lander mungkin masih merasa kecewa, dan masih marah pada orangtuanya. Dia pun tidak mau mencampuri urusannya. Agaknya, usahanya untuk menolong jadi sia-sia. Salahkan dirinya sendiri.
"Kalo gitu gue kasih tau maneger gue!" Zoya langsung mengabari maneger-nya. Dia agak merasa bersalah telah menyusahkannya.
Lander melirik pada Zoya sekilas. Membawa piring berisi tumis sayuran ke meja makan, kemudian kembali untuk menyiapkan telur dadar. Tidak ada daging ayam ataupun sapi untuk Zoya, karena dia belum belanja lagi. Hanya memasak dari bahan yang tersisa di kulkas saja.
"Maneger Lo, dia juga yang ngurus penerbangan Lo ke luar negeri?"
Zoya mengangkat pandangannya. "Iya, dia mengurus segalanya yang bersangkutan dengan pekerjaan, asistenku juga diatur olehnya!"
"Oh. Lo seperti artis!"
Zoya tidak bisa menahan tawanya. Komentar Lander adalah yang paling lucu. "Gue model, bukan artis!"
"Itu mimpi Lo?"
"Hmm!" Zoya menjawab dengan gumaman.
"Nilai Lo turun. Menurut Lo itu worth it?"
Zoya mengerutkan keningnya, menatap pada Lander yang sedang sibuk memasak. Laki-laki itu pasti ingin berkomentar buruk. Karena Zoya tahu nilai akademik bagi Lander adalah prioritasnya. Bukan, lebih tepatnya menuntut ilmu. Karena Lander memag sejenius itu. Beberapa anak lain tidak menyukainya, karena Lander pilih-pilih teman dan tidak suka direpotkan, seperti dicontek saat mengerjakan soal, atau bahkan PR.
"Worth it! Karena itu mimpi gue!"
Lander menunjukkan seringaian sarkasme. "Lo seneng jalaninnya?"
"Iya!" jawab Zoya tegas.
"Kalo Woo-Jae, Lo juga suka?"
"Hah?" Zoya terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba.
"Apapun jawaban gue, pasti Lo gak akan percaya!"
Zoya bukan remaja lagi, dia paham kelanjutannya. Lander tetap tidak akan percaya jika dia menjawab tidak. Karena memang Woo-Jae adalah rekannya, dan dia dipasangkan dengan Woo-Jae oleh Ellen, untuk mengambil perhatian orang-orang terhadap karya pakaian berpasangan yang mereka pakai.
"Gue percaya. Tipe Lo, cowok jenius kayak gue. Bukan cowok pamer otot kayak laki-laki itu!"
"Hah, gimana?" Zoya bingung tak percaya.
"Ayo makan, Lo keseringan pingsan kalau deket gue. Jadi gue kasih makan sebagai gantinya!" Lander memberikan potongan telur dadar di piring Zoya.
Cemberut, Zoya tidak menyangka Lander masih sangat percaya diri, kalau dia masih menyukainya. "Lo gak akan bisa gantiin apa yang pernah gue lakuin ke Lo. Bahkan gak akan terbayangkan!"
"Cih, lakuin apa?" Lander mencondongkan badannya, menantang Zoya untuk menyebutkan apa yang dimaksud.
"Emh, enak!" Zoya mengabaikan Lander, dia menikmati telur dadar buatan Lander yang jujur saja lebih enak dari pada buatan mamanya.
Tersenyum miring, Lander juga mulai menyantap makanannya sendiri. Dia juga sangat lapar. Sesekali, dia akan melirik pada Zoya. Gadis itu makan dengan lahap.
Zoya takut perutnya akan sakit lagi, dia berusaha untuk tidak mengatakan apapun tentang yang terjadi di masa depan, atau mengingatnya. Karena bisa jadi itu pemicu rasa sakitnya.