Ingatan penyebab rasa sakit

1085 Words
Taksi berhenti di halaman depan sebuah apartemen, seorang gadis bertubuh tinggi keluar dengan buru-buru, bahkan lupa untuk mengambil uang kembaliannya. Sang supir sudah memanggil-manggil, tapi penumpangnya tidak mendengar.  Zoya sudah menghubungi maneger-nya. Dia memintanya untuk mengecek penerbangan ke Singapura dari ibukota provinsi lainnya pada hari ini, dan memberikan kabar jika sudah mendapatkannya.  "Dia ingin meminta tolong, tapi tidak mengatakannya dengan benar, bukan salah gue jika tadi gue gak ngerespon dengan benar. Lagian, dia juga bersikap sangat menyebalkan!" Zoya mengomel saat baru keluar dari lift. Sungguh, dia sadar seharusnya tidak mempedulikannya juga. Tapi hati dan pikirannya tidak sejalan.  Mengetuk pintu di depannya, Zoya juga memencet bel, tapi pintu tak kunjung dibuka. "Dia tidak ada di sini? Awas aja, gue udah jauh-jauh, bolos pelajaran, karena dia!"  Selesai mengomel, pintu di depannya baru saja dibuka. Lander berwajah murung dan juga terlihat tatapannya lebih galak dari biasanya.  "Kenapa nomor Lo gak aktif?" Zoya masuk dan menutup pintunya kembali, mengekor di belakang Lander.  "Bukan urusan Lo. Kenapa ke sini?" Lander berjalan menuju kamarnya.  Zoya tidak lagi mengikuti Lander. Dia berdiri di dekat meja makan. Bingung apa yang harus dikatakan, sikap Lander benar-benar sulit dihadapi. Bagaimana mungkin laki-laki itu masuk ke kamarnya begitu saja, padahal ada orang lain yang berkunjung ke tempat tinggalnya.  "Setidaknya kita bicara dulu. Lo normal sedikit Napa sih!" Zoya tidak mengerti betapa kuatnya dirinya dulu mengejar-ngejar laki-laki yang memiliki karakter dan sikap yang aneh seperti itu. Tapi yang lebih aneh sekarang, dia sudah datang dari masa depan, tapi masih juga melakukan hal yang sama. "Gue yang begok, apa dia yang aneh?"  "Ambil ponsel!" Lander baru keluar dengan membawa charger dan ponselnya. Kemudian menghubungkan colokan yang berada di dekat televisi.  "Oh!" Zoya melongo, Lander menjawab pertanyaannya tanpa menjelaskan. Jadi kenapa nomornya tidak aktif, karena baterai ponselnya lowbat, dan kenapa laki-laki itu langsung pergi ke kamarnya, untuk mengecek ponselnya dan menjawab pertanyaannya.  Sungguh, Zoya ingin memukul kepalanya sendiri dengan mesin kopi yang ada di atas meja pantry sekarang. Dia seharusnya tidak bicara dan datang ke tempat Lander. Laki-laki itu tahu cara membuatnya dipermalukan. "Tadi kenapa Lo langsung pergi, kalau memang mau ngomong sama gue?" Zoya masih menunggu kabar dari manager, jadi dia masih memiliki waktu untuk bicara.  Lander duduk di sofa, menyandarkan kepalanya yang ditutupi tudung Hoodie, mengabaikan keberadaan Zoya. Tapi setelah beberapa saat dalam keheningan, dia menepuk tempat di sisinya, agar Zoya duduk di sana.  Zoya menurut, dia duduk di sebelah Lander. Tidak mau melihat wajahnya, jadi terus menghadap depan, pada layar televisi yang tidak dinyalakan. "Gue udah tanya, dan Lo gak mau!" Lander menoleh ke sisinya, menatap gadis cantik yang sekarang terlihat agak kesal.  "Ck, Lo baru gue tolak sekali aja langsung mundur. Coba pikirin gue yang dulu sering Lo tolak keberadaannya!" Zoya bicara dengan nada datar, karena hal itu hanya terjadi dulu, dan dia sudah hampir melupakannya. Seperti yang sering dia pikirkan, mungkin karena hatinya sudah mati, jadi perasaannya untuk Lander memang tidak ada lagi.  Lander tersenyum miring, dia mengulurkan tangannya untuk menarik rambut gadis di sisinya. Kemudian kembali menghadap depan. "Lo aja yang begok!"  Zoya memegangi kepalanya, Lander menarik rambutnya agak keras. Laki-laki itu bersikap kasar pada orang dewasa. Rasanya sangat ingin balas memukul kepala Lander.  "Harusnya tadi Lo bilang, pesan tiket pesawat dadakan begini emang kadang gak bisa. Gue tadi udah minta tolong maneger gue buat cari tiket di Bandara lainnya, Lo bisa transit dulu!"  Zoya tidak ingin melanjutkan pembahasan tentang penolakan Lander. Karena perasaannya saat itu mungkin tidak bisa dikendalikan. Toh sekarang dia tidak lagi mengejarnya.  "Gak perlu. Gue gak akan pergi!" Lander mengeraskan rahangnya. Mencoba untuk tidak menunjukkan emosinya.  "Hah, kenapa?" Zoya jadi bingung.  "Karena gue gak mau. Bokap gue gak akan tiba-tiba sembuh, dengan gue datang ke sana!" Lander beranjak untuk mengambil buku di rak dan kembali duduk dengan membawa buku rumus kimia.  Zoya mengerutkan keningnya, dia tidak mengerti laki-laki itu. Giliran dia membantu, laki-laki itu malah menolak bantuannya. Benar-benar terlahir untuk menolaknya.  "Tapi Lo tadi pengen pergi, kenapa tiba-tiba berubah?" Zoya tidak tahu tentang kehidupan pribadi Lander sebelumnya, jadi tidak ada ingatan tentang hal tersebut. Lander terdiam sebentar, terlihat tidak ingin menjawab pertanyaan Zoya. Tapi setelah menoleh dan melihat Zoya mendekatkan wajahnya menunggu dia menjawab, maka tidak ada pilihan untuk tidak menjawabnya. "Dia tiba-tiba menghentikan mimpi yang udah gue bangun sejak lama. Mungkin karena gue terlalu kecewa, bisa jadi kepadanya, atau juga pada jalan hidup gue yang tiba-tiba berhenti disini!"  Zoya melihat bagaimana kekecewaan terlihat jelas dari nada bicara Lander. Tapi tidak sulit dipahami rasa kecewa Lander. Laki-laki itu belajar keras, dan hidup jauh dari keluarganya, karena ingin mencapai mimpinya. Tinggal sedikit lagi mimpi itu diraihnya, berkuliah di luar negeri dengan prestasi yang dimiliknya, sudah di ujung jalan, tiba-tiba mimpi itu tidak bisa tercapai.  "Lo kehilangan mimpi Lo, tapi gue akan kehilangan keluarga gue. Mimpi yang gue capai, gak ada artinya setelah gue ditinggalkan!" Zoya bergumam, dia larut dalam ingatannya, saat dia menjadi super model yang dikenal dunia, tapi tidak memiliki siapapun di sisinya. "Lo lagi ngelantur?" Lander pikir Zoya sedang membual tidak jelas, tapi saat menoleh, dia melihat Zoya dengan ekspresi wajah berbeda. Dan auranya juga berbeda, seperti melihat sosok lain.  "Argh!" Zoya memegangi perutnya, dia merasakan sakit yang teramat sangat. Padahal dia pikir sakit itu tidak akan kembali. Lander juga melihat Zoya menyentuh perutnya, terlihat sangat kesakitan. "Kenapa? Lo sakit perut lagi?"  Zoya hanya mampu membuka mulut, tapi tidak mengatakan apapun. Menatap pada sosok Lander yang berubah panik memperhatikannya. Rasa sakit yang membawanya kembali pada ingatan saat Luna akan menusuk Lander, tapi malah dirinya yang terkena tusukan tersebut.  "Zoya!" Lander merangkul Zoya, menahan badannya dan beberapa kali menepuk pipinya. Karena gadis itu masih sadar tapi tidak mengatakan apapun, pandangannya kosong.  Panggilan Lander persis sama seperti saat Lander memanggilnya yang saat itu sudah berdarah-darah. Saat memfokuskan pandangannya, Zoya melihat Lander memanggilnya dan wajahnya sangat dekat dari wajahnya.  Mengulurkan tangannya, Zoya menyentuh pipi Lander. Tersenyum sambil menahan rasa sakit, mengamati ekspresi Lander. "Jangan khawatir, ingatan yang menyebabkan rasa sakit ini!"  Zoya sempat mengalihkan pandangannya pada gelang di tangannya. Dan gelang itu kembali bersinar. Hingga kegelapan menariknya dari kesadaran.  Lander terus memanggil Zoya. Dia tidak mengerti, kenapa Zoya terus merasakan sakit saat berada bersamanya. Dan dia juga tahu, dokter tidak menemukan penyebab rasa sakitnya. Karenanya, dia tidak membawa Zoya ke rumah sakit. Sebagai gantinya dia membawanya menuju kamarnya. Menunggunya sadar.  Lander tidak bisa melupakan senyuman Zoya tadi, dan tatapannya yang dalam. Dahinya yang berkerut, menunjukkan sedang menahan sakit. Sentuhan tangan Zoya di pipinya. Mengingatnya membuatnya kesulitan mengambil napas. Melihat pada gadis yang masih belum juga membuka matanya, membuatnya cukup gelisah sekarang. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD