Zoya tengah memakan es krim, sedangkan Lander sedang mencuci piring bekas mereka makan tadi. Laki-laki itu sangat mandiri, sedangkan gadis manja yang sedang makan es krim pura-pura tidak melihat apapun. Membiarkan Lander mencuci piring itu sendiri.
"Jangan sampai es krimnya menetes di meja!" Lander menoleh untuk melihat apa yang sedang Zoya lakukan, dan dia melihat Zoya makan dengan berantakan.
"Iya!" jawab Zoya asal. Tangannya meraih tissue untuk membersihkan tetesan es krim di atas meja. Mengelap bekasnya, kemudian membiarkan tissue tetap di sana untuk dibuang nanti.
Menyipitkan matanya, Lander bisa melihat Zoya melakukan semuanya. Tapi gadis itu bersikap tanpa rasa bersalah. Memilih melanjutkan merapikan dapurnya, dia juga mengambil spatula yang tertinggal untuk di cuci.
"Lo gak bisa meletakkan sendok di atas meja, terus mau Lo pake makan es krim lagi!" Lander memarahi Zoya.
Zoya agak kaget, dia langsung memegang lagi sendok yang tadi dia gunakan untuk menyendok es krim dari atas meja, tadinya dia sedang akan membuka es krim lainnya dalam kemasan mini. Dia tidak menyangka Lander memperhatikannya, karena setahunya Lander sedang sibuk bersih-bersih.
"Mejanya bersih!" Zoya tidak merasa apa yang dilakukannya itu salah.
"Lo bisa mati penyakitan, jika suatu saat Lo tinggal sendirian, kalau Lo sejorok itu!" Lander mengomel, sambil berjalan mendekat. Menarik tissue membersihkan jejak kotor bekas Zoya meletakkan sendoknya tadi. Kemudian merebut sendok dari tangan Zoya. "Ambil yang bersih!"
Lander sekalian membawa bungkusan bekas es krim yang sudah habis, juga gumpalan tissue kotor di atas meja. Membersihkannya dengan raut wajah kesal. Mejanya jadi lengket, Zoya benar-benar pengacau.
Zoya agak tersinggung, tapi dia hanya diam saja. Menikmati es krim dengan memakai sendok baru. Menatap tak percaya, Lander terlihat kesal, hanya karena hal tersebut. Laki-laki perfeksionis itu sangat merepotkan.
"Oh, sebenarnya gue juga terkejut kalau bisa tinggal sendirian. Memesan makanan sendiri, mengurus kebutuhan rumah sendiri, memastikan telah mematikan lampu di ruangan tengah dan menahan dingin saat hujan besar tanpa mengeluh!" Zoya mengatakan yang sebenarnya dengan senyum tipis. Dia tidak pernah menyangka akan tinggal sendirian, sebatang kara dan dipaksa harus mandiri. Semuanya tidak pernah ada dalam bayangannya, kalau suatu hari dia tidak memiliki Mama dan Papa untuk bermanja-manja lagi.
"Lo gak akan bisa! Gue yakin seratus persen, Lo bakal nangis jika harus mandiri!" Lander mengatakannya dengan keyakinan di wajahnya, karena gadis cantik yang sedang makan es krim itu terbiasa dengan kenyamanan rumah besarnya dan kehangatan keluarga.
"Gimana kalo gue gak nangis?" Zoya sebenarnya hampir setuju dengan pendapat Lander. Karena dia masih tidak bisa percaya, dengan keadaannya yang menjadi anak tunggal, anak kesayangan, bisa hidup mandiri. Tapi kenyataannya, dia bisa. Lima tahun, dia hanya tinggal sendirian setelah kepergian mamanya. Itu bukan sekedar berandai-andai lagi, tapi kenyataan yang pernah dijalaninya.
"Gak mungkin! Udah cepet habisin. Jijik gue liat Lo makan belepotan!" Lander berkata dengan nada sinis.
"Jijik? Emangnya gue makan t*i!" Zoya melahap es krim terakhir dengan suapan besar. Kemudian berjalan menuju wastafel menaruh sendok, melewati Lander yang berdiri di dekat kulkas untuk membuang sampahnya.
"Kalo Lo udah gak mau ke Singapore ya terserah. Gue udah baik hati mau bantu cariin cara biar Lo bisa sampai sana hari ini juga. Sekarang, gue mau pergi!" Zoya melihat jam di ponselnya. "Hah, gue seharusnya langsung ke tempat kelas modeling setelah sepulang sekolah!"
"Tas Lo ditinggal di sekolahan?" Lander baru sadar, Zoya ke tempatnya memang tanpa membawa tas.
Zoya mengangguk. "Palingan dibawa Tisa, atau mungkin juga dibawain Raksa!"
"Raksa tahu Lo ke sini?"
"Hm!" Zoya menunggu Lander yang sedang membukakan pintu.
"Maksih!" ucap Lander dengan melihat ke arah lain.
Zoya tersenyum dengan kerutan di keningnya. Dia tidak menyangka Lander akan mengatakan kata itu. "Makasih juga es krim dan makanannya tadi!"
Lander tidak merespon, dia langsung saja menutup pintunya kembali. Senyum di wajah Zoya juga langsung lenyap. "Anak tidak sopan. Dia sangat cerdas, tapi gak bisa berkomunikasi dengan benar, bersikap seenaknya. Pantes temenannya sedikit!"
Meskipun mengomel, Zoya tidak kesal. Dia bukan remaja lagi yang akan mudah baper. Dia mengetahui karakter Lander seperti cermin. Lander remaja sangat sulit dihadapi, tapi jika mengingat bagaimana sikap Lander dewasa begitu saja membatalkan pernikahan saat akan akad nikah, Zoya agak sedih.
Laki-laki itu adalah cinta pertamanya, dia tidak mengerti kenapa bisa sangat menyukai laki-laki itu. Padahal karakternya menyebalkan, tapi saat mereka tidak lagi bertemu selama bertahun-tahun setelah hari kelulusan, Zoya sedikit berharap Lander jadi orang yang berbeda. Dia datang ke pernikahannya untuk mengiklaskan perasaan yang dulu pernah ada, yang akhirnya sudah hilang, tapi melihat Lander masih orang yang sama, dia agak sedih.
"Orang-orang berubah karena keadaan, tapi Lo kayaknya sama sekali gak berubah!" Zoya bergumam sambil membayangkan betapa dia yang saat itu telah menjadi wanita dewasa, sangat berbeda dengan Zoya remaja. Bahkan Tisa yang cerewet juga berubah, dia jadi wanita manja yang perasa.
Berjongkok, Zoya sedang berada di dalam lift sendirian. Dia memejamkan matanya, mengingat lagi Lander yang tiba-tiba membatalkan pernikahan, semua orang terkejut, dia paling ingat ekspresi Luna. Dia dulu sering ditolak oleh Lander, tapi ya paling menyedihkan adalah Luna. Luna ditolak di hari yang seharusnya paling membahagiakan dalam hidupnya.
"Lo mau sampai kapan jongkok di situ?" Suara seseorang menyadarkan Zoya dari lamunannya.
"Lo bisa teleportasi?" Zoya kaget Lander yang baru saja menegurnya.
"Gue anterin Lo ke tempat itu!" Lander bersikap keren, padahal dia baru berlari cepat menuruni tangga. Jantungnya masih berdegup kencang, napasnya juga masih berantakan. Tapi dia tidak mau menunjukkannya pada Zoya.
Zoya tersenyum sambil menyipitkan matanya. "Gue udah pesen taksi. Gak usah repot-repot!"
"Gue sekalian mau pergi ke tempat lain, jangan pede dulu!" Lander menunjukkan ekspresi datarnya.
Zoya hampir tertawa. "Tapi gue mau naik taksi aja. Udah pesen juga!"
"Ya udah bareng aja. Gue tabrak taksinya, kalo Lo masih ngotot!"
Zoya benar-benar tertawa, yang ngotot padahal Lander. Lander yang berjalan di depannya ini seperti karakter lain. Manis dan lucu, bisa melihat sisi ini dalam diri Lander seperti sedang mimpi. Atau memang benar mimpi?
—
Setelah perdebatan, Lander dan Zoya naik taksi bersama. Lander mengantarkan Zoya ke tempat kelas modelingnya, bahkan ikut masuk untuk melihat kegiatan yang dilakukannya. Meskipun Lander diminta untuk segera keluar setelahnya.
Di luar gedung tersebut, Lander bertemu dengan Gerald. Mereka berdiri berhadapan. Lander bisa melihat Gerald baru pulang sekolah dan langsung ke tempat itu, karena masih mengenakan seragam sekolah.
"Lo suka dia?" tanya Gerald pada Lander.
"Bukan urusan Lo!"
Tertawa sarkasme, Gerald sudah menebak jawaban Lander. "Gue datang buat mastiin dia datang ke kelas modelingnya. Gue agak kaget, dia masih peduli sama Lo! Kalau Lo gak ada perasaan sama dia, jangan coba-coba mainin perasaannya. Lo pasti sadar, Zoya bukan gadis yang perasaannya layak Lo permainkan!"
Gerald tadinya memang mampir ke sekolah Zoya, untuk mengajak Raksa main game di rumahnya. Tapi dia malah mendapat informasi tentang Zoya. Tidak menyangka, Zoya masih begitu peduli, hingga meninggalkan kelasnya demi Lander.
Lander tidak mempedulikan, dia berlalu begitu saja menuju taksi yang memang dia minta untuk menunggunya. Menyeringai merasa puas.
Di balik dinding, Zoya melihat juga mendengar percakapan Gerald dan Lander barusan. Tadinya dia kembali lagi untuk memberitahukan pada Lander, jika laki-laki itu tiba-tiba berubah pikiran, managernya bisa memesankan tiket untuknya. Tapi yang dia lihat, malah Gerald dan Lander sedang bicara.