Garald melihat gadis cantik yang berjalan di sebelahnya, terlihat begitu lelah, tapi tidak mengeluh. Apalagi setelah kejadian tadi, Zoya tidak terlihat mempermasalahkannya.
"Lo seharusnya balik, kenapa malah nungguin. Pasti lama kan?" Zoya tersenyum, menoleh ke sisinya. Gerald memang tidak mengatakan banyak hal padanya, tapi dari tindakannya, Zoya tahu Gerald masih mengkhwatirkannya.
"Gak papa, lagian di sini banyak cewek cantik. Betah kali gue meskipun sampek malam juga!" Gerald mengedipkan sebelah matanya.
Tertawa bersama, Zoya tadi juga melihat Gerald banyak bicara dengan teman-temannya. Padahal dia sendiri tidak pernah bicara terlalu banyak dengan mereka. Meskipun Gerald tidak mengatakannya, tapi Zoya tahu Gerald berusaha dekat dengan mereka, agar mereka baik padanya. Padahal itu tidak perlu dilakukan.
"Lo mah, cari kesempatan mulu. Makasih, usah anterin gue, temenin gue, pasti buang banyak waktu berharga Lo!" Zoya tidak bermaksud menahan Gerald bersamanya, karena tahu mungkin saja laki-laki itu memiliki hal yang harus dilakukan sendiri.
"Sama-sama. Balas jasa gue ini dengan jadi model yang sukses. Gue mau temen gue yang paling cantik, mendapatkan apa yang dia inginkan. Kecuali Lander, ya! Itu sudah menjadi kegagalan mutlak dari seorang Zoe Pyralis!"
"GERALD!" teriak Zoya kesal, dia tahu Gerald sengaja meledeknya.
"Dia menang di olimpiade, gue denger nilainya sangat tinggi. Kompetitor lain bahkan tidak ada bandingannya dengan dia!" Sekolah Gerald juga mengirim perwakilan, tapi hanya berhasil membawa satu kemenangan. Dan dari temannya yang ikut olimpiade, Gerald mendengar kecerdasan Lander yang membuat lawannya kalah telak.
"Ya begitulah, tiap tahunnya tidak ada yang bisa mengalahkan dia!" Zoya tertawa, meskipun tidak tahu arti dari tawanya itu.
Gerald tidak tertawa, dia hanya memperhatikan teman cantiknya itu. Melihat bagaimana perjuangan temannya itu untuk bisa mendapatkan nilai bagus, agar Lander mau melihat ke arahnya. Tapi laki-laki ambis itu bahkan tidak mau melihat. Agak menyedihkan, tapi dirinya sekarang merasa Zoya tidak lagi terbebani dengan nilai. Seperti tidak terlalu memaksakan. Dan bahkan berani mengambil tujuan lain di dunia permodalan. Sungguh keputusan yang berani. Setidaknya, sekarang Zoya tahu apa yang ingin dia capai, bukan mengikuti pencapaian orang yang dia sukai.
"Zo, gimana dengan orang-orang tadi. Lo bakal lapor ke polisi?" Gerald menyentuh topik itu, karena belum tahu apa yang akan direncanakan Zoya, atas tindakan kekerasan yang dialaminya.
Zoya menoleh, dia baru membicarakan hal ini dengan pelatihnya. Dan pelatihnya sangat marah. Akhirnya orang-orang yang tadi terlibat langsung diblacklist. Mereka diminta mencari pelatih lain.
"Lo mungkin ngerasa ini keterlaluan, tapi Ge, sebenarnya hal seperti ini sering terjadi. Bukan hanya dunia modeling, Lo tahu kan perjalanan idol untuk masuk agensi dan menjalani training. Mereka juga sering kena bullying. Jadi apa yang terjadi sama gue, itu bukan hal aneh lagi." Zoya melihat ada ketidaksetujuan di wajah Gerald. Dan bisa dibayangkan jika orangtuanya tahu dia mendapatkan kekerasan, pasti akan lebih rumit lagi masalahnya.
"Gue bakal simpan bukti ini sebagai senjata, toh gue gak bakal ketemu sama mereka lagi dalam waktu dekat. Saat nanti wajah gue muncul di berbagai acara fashion show, gue pengen mereka ingat perbuatan seperti apa yang pernah mereka lakukan ke gue. Dan mereka bakal inget kebaikan gue yang gak laporin mereka ke polisi!" Zoya menenangkan Gerald dengan memeluk lengannya. Berjalan bersama menuju mobil Gerald.
Gerald merasa itu terlalu mudah untuk mengakhirinya. Mereka harus mendapatkan hukuman setimpal. Tapi karena Zoya menginginkan ini berakhir, maka dia akan mendukung keputusannya. "Gue tahu Lo cuma beralasan. Karena Zoya gue udah jadi gadis kuat hari ini, gimana kalo gue traktir es krim?"
"Setuju!" Zoya mengangkat tangannya bersemangat.
Zoya tidak menjelaskan lebih detail tentang keputusannya tersebut. Karena Gerald tidak akan mengerti, skandal hanya akan menunda debutnya sebagai model. Dia tidak memiliki banyak waktu. Mengurus masalah ini terlalu merepotkan. Dan yang pasti, jika sampai ke kepolisian, maka jelas orangtuanya pasti akan tahu. Itu akan menjadi buruk, karena orangtuanya bisa saja menjadi ragu dengan keputusannya terjun di dunia modeling.
Mereka memang mampir untuk membeli es krim, tapi Zoya ingin memakannya di tempat lain. Dia mengajak Gerald pergi ke suatu tempat. Mengunjungi seorang kenalan.
—
Gerald menatap pada laki-laki yang terbaring lemah dengan infus masih terhubung di lengannya. Tapi yang lebih menarik perhatiannya adalah, laki-laki itu bahkan tidak mau melihat ke arah mereka.
"Gue mau ngerokok di luar. Kita balik sepuluh menit lagi!" ucap Gerald pada Zoya sambil menepuk puncak kepalanya, kemudian pergi dari ruangan tersebut.
Zoya tahu Gerald tidak nyaman, karena sikap Alam yang terlihat tidak bersahabat. Tapi dia sendiri tidak masalah. Karena niatnya adalah mengunjunginya, sebagai orang yang membawanya ke sini dan membiayai biaya perawatannya.
"Ini, makan bareng gue!" Zoya mengulurkan es krim, tapi Alam tidak segera mengambilnya. Jadi Zoya bangkit berdiri untuk meletakkan pada tangannya.
Zoya masih ingat dengan ucapan Sari tadi, saat di sekolah. Alam memiliki hutang, dan dia juga sudah bekerja di usianya saat ini. Tidak mau ikut campur masalahnya, Zoya hanya akan bersikap layaknya teman. Berpura-pura tidak pernah tahu tentang hutang ataupun masalah yang dialaminya. Sungguh, Zoya tidak mau membuang-buang waktu.
"Gue bakal balikin uang yang lo keluarin buat biaya rumah sakit gue!" Tiba-tiba Alam buka suara, dan tatapan penuh emosi.
"Okay!" jawab Zoya yang agak bingung dan takut.
Zoya tidak pernah menyangka Alam bisa jadi menakutkan. Tapi anehnya, Zoya merasakan perasaan yang menyedihkan saat melihatnya. Ada emosi kuat yang ikut mempengaruhinya.
"Ada apa dengan pipimu?" Alam tadinya merasa malu untuk menatap mata Zoya. Karena dia telah merepotkan dan membiarkan gadis cantik itu melihat keadaannya yang begitu menyedihkan. Tapi saat melihatnya, dia malah jadi terfokus dengan pipi Zoya yang memerah.
Zoya harus membuka maskernya agar bisa makan es krim. Karenanya, Alam bisa melihat masih ada jejak kemerahan di pipinya.
"Ah, ini gue baru saja berkelahi!" Zoya menjawab dengan santai, sambil terus memasukkan es krim ke mulutnya.
"Dengan Sari?"
"Hah?" Zoya mengerutkan keningnya, kenapa jadi Sari? "Bukan, ini perkelahian lain!"
Alam memperhatikan wajah Zoya. Jejak merah di pipinya membuat dirinya merasa marah. Padahal dia tidak memiliki hak untuk merasakan hal tersebut.
Mendapatkan tatapan intens dari Alam, Zoya menyipitkan matanya. Merasa sedikit tidak nyaman. "Jangan melihatku seperti itu. Saat kamu terluka, aku tidak menatap dengan tatapan seperti itu, bukan?"
Alam memejamkan matanya, dan memalingkan wajahnya. "Tapi kamu menatapku dengan ekspresi ketakutan!"
Zoya tertawa pelan. "Ya, gue terkejut melihat lo sangat kacau saat itu. Ayo, makan es krimnya. Punya gue hampir habis. Makan yang manis-manis akan sedikit memperbaiki mood yang turun!"
Alam melihat es krim di tangannya. Dia tidak ingat kapan terakhir memakan manisan dingin itu. Menyembunyikan senyumnya, dia mencoba satu suapan. Rasanya tidak berbeda dari yang ada di ingatannya.
"Gue mau pulang. Semoga lekas sembuh!" Zoya tidak menghabiskan sisa es krimnya. Dia melihat jam tangannya, dan merasa sudah terlalu lama.
Alam tidak menjawab, dia hanya terus memperhatikan kepergian Zoya. Sangat ingin mengatakan agar hati-hati di jalan, tapi dia merasa tidak layak untuk mengatakannya. Yah, bahkan untuk berterimakasih atas es krim yang saat ini dia makan pun dia tidak berani.