Berbagi roti

720 Words
Zian mengajak Zoya sarapan bersama, tapi putrinya terus menolak. Alasannya ada tugas yang ingin di selesaikan di sekolah pagi ini. Shana juga tidak memaksa Zoya untuk ikut sarapan. Dia menyiapkan bekal untuknya dan langsung memasukkan ke dalam tasnya. "Papa masih akan sarapan, mama saja yang antar ke sekolah!" Shana melepaskan apron yang masih melekat padanya, tapi tangan putrinya mencegahnya. "Sopir saja yang antar. Mama temani papa sarapan!" Zoya mengambil tasnya, dia melambaikan tangannya. "Sayang, apakah kamu ingin mama mengajakmu ke klinik kecantikan langganan mama? Pasti tidak nyaman jika terus memakai masker?" Shana sudah menawarkan untuk melihat seberapa parah jerawat yang disembunyikan di balik maskernya, tapi anak gadisnya itu malu dan tidak mengizinkan. "Aku baik-baik saja!" Zoya menjawab dengan teriakan, karena dia sudah hampir mencapai pintu. Zoya tidak menyangka tamparan itu menyebabkan pipinya membengkak. Tidak parah, tapi orangtuanya pasti akan menyadarinya ketika memperhatikan wajahnya. Itulah kenapa dia terus memakai masker sejak pulang dari tempat kelas modeling kemarin, ternyata masih sedikit membengkak saat bangun tidur pagi ini. "Wah Nona, ini masih sangat pagi!" ujar sopirnya yang sudah memanaskan mobil, agak terkejut karena tidak biasanya, nonanya berangkat sangat awal. "Yah, aku memulai hari dengan kebohongan!" Zoya bergumam, dia masuk ke mobil dan langsung memejamkan matanya. Demi menghindari sarapan bersama, dia bangun pagi sekali, seolah-oleh hari akan berakhir. Sesampainya di sekolah, Zoya melihat keadaan sekolah masih sepi, seperti dugaannya. Hanya ada segelintir orang saja yang sudah berada di sekolah. Benar-benar terlalu pagi. Berjalan-jalan, Zoya tentu tidak langsung ke kelas. Karena tahu keadaan kelasnya pasti masih sangat sepi. Tidak tahu kenapa, dia tertarik untuk menuju ke lapangan basket. Karena mendengar suara pantulan bola, saat akan menuju ke perpustakaan. Masuk ke dalam, Zoya hampir berbalik pergi, karena hanya mendengar suara bola dipantulkan, tapi tidak mendengar suara orang. Apalagi keadaan saat memasuki lorong menuju ke area lapangan juga agak gelap. Memikirkannya lagi, Zoya tidak harus takut dengan hantu. Setelah akhirnya melihat pada sumber suara, Zoya diam mematung, karena rupanya itu adalah Lander. Laki-laki ambisius yang tidak mau dikalahkan oleh siapapun. Zoya bisa mengerti kenapa pagi-pagi sekali Lander sudah ada di lapangan dan melatih lemparannya. Karena sebentar lagi turnamen di mulai. Bahkan tinggal menghitung hari. Memutuskan untuk duduk di kursi penonton, Zoya tidak tahu lagi mau kemana. Jadi lebih baik jika dia duduk di sana untuk memakan bekalnya. Perutnya sangat lapar. Melepaskan maskernya, Zoya mengambil kotak bekal dari tasnya, juga dengan ponselnya. Dia mengirimkan pesan pada Tisa agar segera datang ke sekolah. Setelah mengirimkan pesan tersebut, dia membuka kotak bekalnya. Makanan yang dibawakan mamanya pagi ini hanya roti lapis isi sayur dan daging. Ada tiga potong, Zoya mengambil satu potong dan membuat gigitan besar hingga memenuhi mulutnya. Saat mendongakkan kepalanya, dia agak terkejut, karena orang yang tadinya sangat aktif di lapangan itu kini sedang berdiri menatapnya. Membuatnya jadi tersedak. Buru-buru dia mengambil botol minumnya, meminumnya dengan terburu-buru. Tapi batuknya tak kunjung mereda. Sampai matanya mengeluarkan cairan bening menunjukkan betapa menyakitkannya itu. Lander melihat Zoya tersedak, buru-buru lari menghampirinya. Kemudian menepuk punggungnya sambil mengomel. "Gadis bodoh!" "Gara-gara Lo! Begok!" Zoya mengumpat dalam pikirannya, karena dia masih terbatuk-batuk. "Bernapas perlahan, baru minum lagi!" Lander sedikit kesal, jadi suaranya terdengar ketus. Butuh waktu, hingga Zoya berhenti batuk. Dia tidak makan lagi, karena kesal. Gara-gara roti itu, dia mempermalukan dirinya di hadapan Lander. Memberikan kesempatan pada laki-laki itu untuk mengatainya. "Biar gue aja yang makan!" Lander merebut kotak bekal dari pangkuan Zoya. Seolah-olah Zoya tidak keberatan. Padahal Zoya sudah menahan kotak bekalnya, tapi Lander berhasil merebutnya. "Tante Shana pasti sedih, jika makanan buatannya membuat anaknya tersedak sampai mau mati!" Lander bicara lagi sambil mengunyah roti lapis milik Zoya. Zoya sangat malas bicara dengan Lander, dia berniat pergi, tapi Lander menahannya. "Gue mau ke kelas!" "Masih sepi, mending di sini!" Lander bahkan mencengkram erat tas Zoya, agar gadis itu tidak pergi. Zoya bingung, situasi macam apa ini? Dia tidak ingin duduk di dekatnya. Kupingnya bisa panas mendengar segala kata-kata menyebalkannya. Tapi melihat Lander memakan roti dengan lahap, dia pun memutuskan untuk menunggu sampai Lander selesai. "Pipi Lo, kenapa?" "Bukan urusanmu!" Zoya kembali mencari masker yang tadi dilepasnya untuk memakainya lagi. "Tapi tidak terlihat buruk. Kenapa pakai masker?" Zoya memutar bola matanya. Seharusnya tidak perlu ditanyakan lagi, jelas untuk menutupinya. "Untuk menghindari pertanyaan kayak yang Lo lakuin pas liat pipi gue tadi!" "Oh!" Lander memperhatikan wajah Zoya, meskipun Zoya terlihat enggan melihat ke arahnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD