Perundungan di kelas modeling

677 Words
Gerald mengantarkan Zoya ke tempat kelas modeling. Dia sudah beberapa kali mengantarkannya ke tempat itu. Bahkan dirinya sudah mendapatkan beberapa kenalan wanita cantik. "Balik aja, gue lama. Nanti biar sopir yang jemput!" Zoya melihat Gerald malah sedang senyum-senyum dengan wanita yang duduk di belakangnya. "Serah Lo deh. Gue mau ganti baju dulu!" Zoya mengedipkan sebelah matanya. Gerald menangkap kode itu. Menuju ruangan ganti, Zoya melihat para seniornya. Dia langsung bad feeling, jadi dari pada ada masalah, dia akan memakai ruangan itu bergantian saja. Atau bisa juga berganti di toilet. "Siapa yang ngizinin Lo pergi!" Seorang wanita menarik rambut Zoya. Seharusnya itu sangat menyakitkan, tapi Zoya tidak mengeluarkan suara sedikitpun. "Lo anak baru, tapi Lo udah berani ambil slot yang seharusnya untuk model senior. Lo kira Lo hebat?" cecarnya tanpa melepaskan tangannya dari rambut Zoya. Teman-temannya menertawakan Zoya. Mereka jelas tidak akan membantu Zoya, karena berada di pihak wanita yang saat ini menjambak rambut Zoya. "Lo itu pengacau, sok lagi. Bahkan jalan aja jelek!" tambah temannya yang berada paling dekat dengannya. Zoya menghapal setiap wajah yang sekarang ini sedang menindasnya. Ini bukan pertama kalinya, tapi tindakan mereka lebih kasar dari sebelumnya. Benar-benar menjijikkan, saat merasa tersaingi, bukannya meningkatkan kualitas, malah mencoba mencelakai lawannya. "Kenapa kaki Lo gak sekalian patah aja. Biar gak usah datang lagi untuk bermimpi jadi model. Atau perlu gue yang patahin?" Tekan salah satu orang sambil mencengkram leher Zoya. "Diem aja, jangan-jangan mau ngompol lagi!" Ledek mereka menertawakan. Zoya merasakan sakit pada kepalanya, dia berusaha untuk tidak menangis dan menunjukkan kelemahannya. Menatap tajam pada para seniornya itu. Tawa mereka saat ini, akan berubah jadi air mata dan ejekan mereka hari ini, akan menjadi rengekan. Dia berjanji. "Gue udah bilang mundur aja. Kenapa Lo masih datang ke tempat ini! Hah!" bentak wanita yang memegang rambut Zoya. "Kalian seharusnya tidak mengancam, atau menyakiti anak tunggal keluarga Pyralis!" Zoya berbicara lirih, dan saat itu juga dia mendapatkan tamparan di pipinya. Tercetak jejak merah yang langsung membekas. Kacamatanya terlempar entah kemana. Zoya merasa pening, karena saat itu bahkan rambutnya belum juga di lepaskan. Dia pikir mereka tidak akan seberani ini. Karena mereka adalah orang-orang terpelajar. Sebagian dari mereka sudah mendapatkan gelar sarjana. Bahkan ada yang sedang menjalani pendidikan untuk program S2. Mereka sudah terlalu tua untuk berurusan dengan anak SMA. "Kalian sudah kuingatkan!" Zoya mengangkat wajahnya tinggi, menatap mata semua orang bergantian. Mereka masih memiliki senyum mengejek meremehkan. Zoya tersenyum, apakah kali ini mereka masih bisa tersenyum. "Ada kamera di sana, dan di sana!" Tunjuk Zoya pada dua kamera yang memiliki nyala merah dan berkedip. Rambutnya telah di lepaskan. Mereka sangat terkejut, kamera itu langsung diambil oleh mereka. Seolah-olah ingin segera melenyapkan barang bukti. "Sayang sekali, kalian sangat bodoh. Saat pertama kalian berkata kasar, aku tentu sangat marah. Ini ketiga kalinya, dan ini yang terparah. Bagaimana menurutmu?" Zoya mengatakannya dengan nada kesal, tapi masih sangat tenang. Saat itu Gerald masuk dengan menunjukkan video di ponselnya yang dia goyang-goyang di tangannya. Senyumannya biasanya terlihat manis, tapi kali ini senyuman itu membuat para wanita jadi takut. "Haruskah ku serahkan pada pelatih. Atau pada polisi saja?" Zoya sangat ingin melihat mereka memohon ketakutan. Dan seperti yang dia inginkan, mereka semua memintanya untuk tidak melakukannya. Seolah-olah mereka baru saja merebut permen dari anak kecil, kemudian permintaan maaf saja cukup. Ayolah, ini sangat serius. "Rasa sakit di pipiku, kau pikir akan sembuh dengan permintaan maaf?" Zoya berlalu keluar dari sana. Gerald mengikuti langkahnya, saat mereka akhirnya tiba di sebuah lorong sepi, Gerald memeluk temannya itu. Dia melihat di layar ponselnya, saat seseorang menamparnya, dan itu hampir membuatnya mengamuk. "Gue gak papa. Makasih udah temenin gue!" Zoya memeluk erat temannya. Sebenarnya tanpa Gerald, Zoya tetap akan menjalankan rencananya. Tapi dengan adanya Gerald, itu jadi mengurangi rasa takutnya. "Gue gak nyangka mereka akan kasar kayak gitu. Kemarin hanya kata-kata ejekan, aku agak terkejut!" Tadi Zoya hampir berbalik keluar, karena merasa tatapan mereka lebih menyeramkan dari biasanya. Tapi dia urung, karena ada Gerald di luar. Gerald sendiri tidak mengatakan apapun, dia hanya terus mengusap rambutnya lembut. Tidak ada kata yang bisa terucap, karena dia juga sangat marah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD