Melihat langit

1287 Words
Luna akan pulang malam itu, dia menyelesaikan pekerjaannya dan berencana untuk bertemu dengan teman-temannya di suatu tempat hiburan malam. Minum sedikit, mungkin bisa meredakan stresnya. Meskipun tahu alkohol tidak bagus untuk tubuh, tapi akhir-akhir ini dia sangat membutuhkannya dari pada obat penenang.  Tapi saat baru keluar dari rumah sakit, hendak menuju area parkir, dia melihat dokter Fikar dan juga Raksa sedang mengobrol berdua. Tidak berniat mengganggu, tapi dia ingin menanyakan kabar Raksa.  Fikar agak terkejut melihat dokter berjalan mendekat ke arah mereka. Apa gerangan yang membuat dokter itu menghampiri mereka. "Dokter akan pulang?"  Luna melihat pada tas kerjanya, dan kemudian tersenyum pada dua laki-laki beda usia di depannya. "Sudah waktunya pulang. Aku hanya ingin menanyakan kabar pasien di sebelah anda!"  "Oh!" Fikar agak sedih, ternyata yang membuat dokter sampai mau menyapa mereka adalah remaja nakal di sebelahnya. Padahal dia sudah berharap. Raksa menggeser duduknya, agar dokter Luna ikut duduk bersama mereka. Meskipun pada awalnya dokter Luna terlihat akan menolak, tapi dia menunjukkan tatapan memohon, hingga akhirnya dokter Luna mau duduk.  "Aku baik, aku tinggal di rumah sakit, ada banyak dokter dan perawat yang merawat, bagaimana mungkin aku tidak baik-baik saja!" Raksa merasa tidak ada bedanya dia baik-baik saja atau tidak, dia tetap saja sedang sakit.  Luna mengulurkan tangannya mengusap puncak kepala remaja laki-laki di sebelahnya. Saat sadar dengan apa yang dilakukannya, dia bisa melihat ekspresi terkejut di wajah Raksa. "Maaf!"  Raksa memang terkejut dengan yang dilakukan dokter Luna barusan. Dia merasa familiar dengan usapan itu. Zoya juga suka mengusap kepalanya, dan karena saat itu mereka terlihat di usia yang sama, dia juga kadang menepuk kepala Zoya. Wanita itu akan kesal jika dia melakukannya.  "Dokter mengingatkan aku pada kakakku!" Raksa menunjukkan senyum, agar dokter Luna tidak lagi merasa tidak enak padanya. Karena tadi dia memang tidak bisa mengendalikan keterkejutan di wajahnya.  Dokter Fikar mengerutkan keningnya. Remaja itu sedang membual, sejak kapan anak itu tiba-tiba punya kakak? Sangat lucu! Dia hanya diam, sambil memicingkan matanya kearah Raksa. Anak itu ternyata pandai berbohong.  "Kakak? Kupikir keluargamu hanya punya kamu!" Luna tahu melalui berita, terkait dengan berita tentang kasus korupsi yang melibatkan ayahnya Raksa sebagai tersangka yang masih dalam proses penyelidikan, sebenarnya wartawan juga mencantumkan tentang kehidupan pribadi tersangka.  Tersenyum, Raksa tahu kalau dokter Luna juga pasti melihat dari berita. "Sayangnya mereka hanya punya aku!"  Fikar hampir ingin memukul kepala remaja nakal di sebelahnya. Kenapa anak itu jadi mengakui kebohongan dengan cepat? Memalukan.  "Dokter Luna akan bingung jika kamu tidak bicara dengan jelas!" Fikar tertawa canggung, padahal dia diam saja, tapi dia jadi ikut merasa malu.  "Aku memang punya kakak. Kenapa? Itu hal yang berbeda dengan aku yang hanya anak tunggal! Dokter akan terkejut, jika tahu siapa kakakku!" Raksa menjelaskan pada dokter Fikar. Karena dia tahu dokter Fikar mengira dia bermain-main.  Luna melihat bagaimana dua orang laki-laki saling menatap kesal. Dia juga bingung sebenarnya dengan ucapan Raksa. Tapi begitu mendengar penjelasannya, dia mengerti mungkin ada kakak, tapi bukan saudara kandung.  "Jangan bertengkar. Kalian tadi akur sebelum aku datang!" Dokter Luna merasa terhibur karena hal kecil tersebut.  "Maaf, tapi ini bukan salah dokter Luna. Salah anak ini!"  Raksa hanya menghela napas mendengar dokter Fikar menyebutnya "Anak ini!" Seolah-olah dia masih anak-anak. Ayolah, dia bahkan sudah bisa membuat anak di usianya ini, artinya dia pria dewasa.  "Raksa, bagaimana pertemuanmu dengan Lander kemarin? Aku cukup terkejut, dia mau datang karena gambar itu!" Luna belum bertemu dengan Raksa sejak kemarin, dia juga tidak bicara dengan Lander lagi, jadi dia penasaran dengan apa yang terjadi.  Raksa hanya tersenyum tipis. Bagaimana dokter Luna masih bisa dengan santai menyebutkan tentang laki-laki yang pernah mempermalukannya?  "Dia pria menyebalkan!"  "Bicara dengan baik!" Fikar menegur, dia tahu Raksa sedih dan kesal setelah bertemu dengan kenalan dokter Luna. Bahkan dia harus membujuknya untuk makan kemarin. Tapi bicara seperti itu pada dokter Luna sangat kekanakan.  "Dia jauh dari apa yang aku bayangkan!" Raksa mengungkapkan perasaan kecewanya.  Dokter Luna jadi merasa bersalah. Dia seharusnya menjelaskan bagaimana karakter Lander. Sangat sulit mengerti pikiran Lander, apa yang dilakukannya juga sulit dipahami. Tidak mudah untuk dekat dengan laki-laki itu. Bahkan bisa dibilang dia gagal.  "Hanya sedikit orang yang bisa memahaminya. Tapi sebenarnya dia pria yang menakjubkan!"  Fikar dan Raksa melihat, ketika dokter Luna tersenyum. Mereka bisa melihat jelas, kekaguman melalui ucapan dan senyumnya.  "Seseorang juga pernah mengatakan hal yang sama!" gumam Raksa, mengingat Zoya juga pernah mengatakan tentang bagaimana pria itu tampak menarik.  "Apa?" Fikar mendengarnya, tapi tidak jelas.  "Tidak!" Raksa tidak mau menjelaskan.  "Dokter Luna menyukainya?" Raksa tahu dia lancang, tapi dia tiba-tiba ingin tahu perasaan dokter Luna. Sama seperti saat dia penasaran dengan perasaan Zoya dalam mimpi.  Luna tidak mau menjawab, dia hanya menghela napasnya dan menatap ke arah langit. Dia belum memiliki perasaan cinta pada Lander, setelah pertunangan juga dia tidak memiliki kesempatan dekat dengannya, dan saat pernikahan juga laki-laki itu membatalkan begitu saja. Hingga sekarang dia dan keluarganya masih merasa malu. Ditambah lagi tragedi di hari itu, dia juga belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Perasaan seperti apa yang bisa dimilikinya? "Malam ini langitnya cukup cerah, tapi tidak ada bintang!" Fikar mencoba mengalihkan pembicaraan, karena suasana jadi tidak terasa baik.  "Kita berada di bawahnya. Ketenangan yang diberikan malam saja sudah cukup, kenapa masih mengharapkan bintang bersinar?" Raksa menyahuti, dia ikut melihat ke atas.  "Tapi bukankah lebih indah jika ada bintang?" tanya Luna pada Raksa, karena dia bisa melihat remaja itu jadi tersenyum saat melihat ke arah langit.  "Iya, dokter benar. Aku ingin melihat bintang bersinar sekali saja, bersama seseorang!" Raksa tertawa, dia jadi ingat dengan Zoya. Apa yang sedang wanita itu lakukan sekarang?  "Seseorang? Kamu punya kekasih?" Luna bertanya dengan geli, diusia Raksa, cinta akan terasa sangat manis.  Menggeleng, Raksa menunjukkan ekspresi datar di wajahnya. Dia saja tidak memiliki teman, bagaimana bisa memiliki kekasih? Fikar mencoba menahan tawa, tapi dia gagal. Jika Raksa sudah memiliki kekasih, dia pasti tahu. Anak itu masih terlalu polos untuk memiliki kekasih.  "Dokter, besok ayo bertemu lagi. Aku akan menunjukkan gambar bagus!" Raksa tiba-tiba memiliki niat menggambar dokter Luna.  "Boleh!" Luna tidak keberatan. Tawa Fikar langsung lenyap, digantikan dengan ekspresi aneh. Dia merasa kalah dengan anak remaja itu, bagaimana Raksa bisa dengan mudah mengajak dokter Luna untuk bertemu lagi. Seperti anak itu ada bakat jadi playboy, jadi selama ini bakat itu tersembunyi di balik wajah polosnya.  "Aku akan pergi, terimakasih telah mengajakku bergabung untuk melihat langit. Sampai jumpa!" Luna bangkit dan melambaikan tangannya, dia cukup merasa rileks setelah mengobrol dengan mereka.  Setelah dokter Luna sudah jauh, Fikar mengapit kepala Raksa. Dia gemas, anak remaja itu baru saja menggoda wanita yang usianya terpaut jauh diatasnya. Benar-benar berani.  "Aih!" Raksa akhirnya bisa terlepas.  "Anak nakal!" seru Fikar dengan ekspresi tidak percaya.  "Apa sih. Dokter sangat tidak peka, tidakkah dokter merasakannya?" Raksa bertanya pada Fikar dengan tatapan meremehkan. "Apa?"  "Ck, pantas saja dokter tidak juga mendapatkan kekasih. Karena dokter kurang peka!"  "Jangan mengejek!"  Raksa menghirup napas dalam-dalam, dia menatap ke langit lagi. "Dokter Luna memiliki luka di hatinya, tatapannya juga menunjukkan kegelisahan. Dia butuh teman!"  "Sok tahu! Jika pun dia butuh teman, itu bukan anak remaja sepertimu!" Fikar balas meledek.  "Kenapa tidak? Aku bisa berteman denganmu!" Raksa tidak bermaksud menjadi teman dokter Luna. Dia hanya tidak suka melihat wanita bersedih.  "Ayo, kita masuk. Kamu akan demam lagi nanti!" Fikar tidak ingin berdebat dengan Raksa.  Raksa menurut. Dia juga sudah merasa kedinginan. Ada tugas juga yang harus dikerjakan dari gurunya.  "Dokter, kenapa kamu tidak dekati dokter Luna saja. Dia lumayan cantik, dan terlihat baik!"  "Kau pikir aku pantas!" Fikar malah merasa Raksa sedang mengejek.  "Pantas saja. Kamu juga baik!"  "Wah, apa aku tidak salah dengar. Akhirnya kamu menyadarinya. Jika bukan karena aku baik, mana mungkin aku mau menemanimu kedinginan di luar tadi!" Fikar jadi merasa senang.  "Dokter baik, tapi tukang gosip!" Raksa langsung berlari setelah mengatakannya. Dia bisa mendengar protes dari dokter Fikar. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD