Dokter Alam memperhatikan pasiennya yang sedang fokus mengerjakan soal dari gurunya. Tiga jam adalah waktu yang dia berikan untuk guru datang mengajar setelah jadwal sarapan, selain di waktu itu, Raksa bisa mengikuti kelas online sore atau malam hari. Alasan dia membagi waktunya, agar Raksa tidak kelelahan. Seperti sekerang, Raksa sedang ikut kelas online.
Setelah melihat semuanya tampak baik, dia keluar dari ruangan tersebut. Berjalan kembali menuju ruangannya. Dia memiliki hal lain untuk diurus.
"Dokter!"
Alam menoleh, melihat siapa yang memanggilnya. Ternyata dokter Luna yang memanggilnya. Dia agak kaget, karena meskipun sering bertemu di tempat pertemuan, tapi tidak pernah bicara secara pribadi.
"Ya?" Alam berjalan menghampiri dokter Luna, dan dokter Luna juga melangkah maju mendekat.
"Aku ingin mengajak salah satu pasien dokter Alam pergi. Tidak akan lama, mungkin hanya sebentar!" Luna melihat dokter Alam memang seperti yang sering dia dengar dari para perawat, terlihat agak cuek. Padahal dia sudah mengajak bicara dengan gesture santai, tapi dokter Alam masih menunjukkan sikap dingin.
Alam tahu yang dimaksud dokter Luna. Karena Fikar juga sudah cerita tentang bagaimana dokter Luna dan Raksa menjadi cukup dekat. Dia tidak masalah dengan itu, tapi dia memiliki kekhawatiran.
"Pasienku? Siapa maksud dokter?" Alam masih menanyakannya.
Luna bisa merasakan dokter Alam seperti tidak suka, tapi mungkin tidak enak langsung menolak permintaannya, jadi menunjukkan sikap seperti itu. "Jonial Raksa. Sebenarnya kami memiliki janji bertemu untuk suatu alasan, tapi kupikir mengajaknya jalan-jalan keluar akan membuatnya senang!"
"Dia tidak bisa kelelahan. Suasana hatinya juga mudah memburuk. Terakhir kali bertemu dengan orang asing, dia menolak makan!"
"Oh!" Luna bingung merespon. Jadi alasan sikap dokter Alam seperti itu, karena kedatangan Lander beberapa waktu lalu, bagaimanapun dia bisa disalahkan atas hal itu. Tapi kenapa dokter Alam tidak mengatakan secara langsung, malah dengan menggunakan sindiran.
"Tapi jika dokter Luna bisa bertanggung jawab atas kondisinya, tidak masalah. Dokter Luna pasti tahu maksud saya!" Alam tidak bermaksud kasar, dia hanya tidak bisa membiarkan pasiennya kembali drop.
Luna mengangguk, dia setuju untuk menjaga Raksa. "Terimakasih!" Setelah mendapatkan izin dari dokter Alam, dia hendak langsung pergi, s.aat dia mendengar dokter Alam buka suara lagi.
"Dia sedang ikut kelas online. Sebentar lagi selesai, dokter bisa menunggu di ruangannya!" Alam melihat dokter Luna mengangguk, dia langsung berbalik pergi.
"Jadi dia memang seperti itu!" Luna mengangkat kedua alisnya, melihat dokter Alam sudah melangkah cukup jauh darinya.
Ketika sampai ruangan rawat Raksa, seperti yang dikatakan dokter Alam, Raksa memang masih mengerjakan sesuatu. Dia pun menunggu di luar, agar tidak mengganggunya. Tadi Raksa sudah melihatnya, saat dia mengintip ke dalam ruangan. Remaja itu menunjukkan senyuman lebar.
"Dokter Luna sedang apa di sini?" Fikar terkejut, saat dia baru keluar dari ruangan pasien, melihat ada dokter Luna sedang berdiri bersandar di depan pintu ruangan rawat Raksa.
Luna melambaikan tangannya. Dia menjawab tanpa suara dengan gerakan bibir cukup jelas. "Menunggu Raksa selesai belajar!"
"Tunggu saja di dalam, Dok!" Fikar jadi merasa tidak enak, melihat dokter Luna menunggu Raksa. Padahal seharusnya Raksa yang merasa seperti itu.
"Aku tidak mau menganggu konsentrasinya!" Luna menjawab lirih, setelah menjauh dari pintu.
Fikar tidak tahu harus bagaimana. Dia hanya berdiri dan tersenyum. Suasana jadi tidak nyaman, padahal baru diam sebentar saja. Karenanya, dia membuka pembicaraan. "Dokter Alam pasti sudah pulang. Aku bertugas memeriksa pasien, satu jam setelah minum obat. Dokter Luna sendiri belum mau pulang?" Fikar melihat pada jam tangannya, waktu menunjukkan pukul tujuh malam.
Luna melihat dokter Fikar, dia jadi ingat dirinya dulu saat masih awal-awal bekerja di rumah sakit. Lebih berat, karena pengalaman kerja yang masih sedikit, tapi tugas yang sangat banyak. "Aku ingin mengajak Raksa jalan-jalan!"
"Hah, oh yang kemarin itu. Tapi dokter, Raksa tidak bisa keluar tanpa izin dokter Alam!" Fikar ingat bagaimana marahnya dokter Alam, saat Raksa jalan-jalan terlalu lama di taman kompleks sebelah rumah sakit. Saat itu juga kondisi Raksa juga jadi menurun.
Luna bisa melihat bagaimana dokter Alam memang orang yang cukup disegani. Bahkan dokter di bawah bimbingannya juga takut. Tapi wajar, karena dokter Alam pasti tidak ingin pasiennya semakin sakit. "Aku sudah meminta izinnya!"
"Oh, baguslah!" Fikar benar-benar merasa lega, karena dia akan berada di posisi sulit jika saja terjadi sesuatu nantinya.
Saat itu keduanya sama-sama menoleh mendengar suara pintu terbuka, melihat Raksa keluar dengan membawa buku. Mereka tahu buku apa yang dibawa Raksa.
"Hei, susah selesai?" tanya Fikar pada Raksa.
"Emh, sudah!" Kemudian Raksa melihat pada dokter Luna. "Maaf membuat dokter menunggu!"
Luna mengangguk, dia berdiri di dekat Raksa. Ternyata jarak tinggi badannya cukup jauh, padahal Raksa masih remaja, bisa dibayangkan jika dia tumbuh lebih dewasa nantinya.
"Pakai jaket atau mantel. Aku ingin jalan-jalan, temani aku!" Luna agak malu mengatakannya. Dia jadi seperti sedang mengajak anak remaja untuk kencan. Apalagi melihat Raksa dan dokter Fikar menatapnya.
"Oh, tapi apakah dokter Alam mengizinkan?"
Lagi-lagi tentang izin dokter Alam, Luna tersenyum tipis. Dia memiliki ide. "Bagaimana jika kita tunggu Dokter Fikar selesai memeriksa pasien, agar kita bisa pergi bersama-sama. Maka aku tidak perlu khawatir dengan kondisimu!"
Dokter Fikar bingung, bagaimana situasinya berubah sangat cepat. Apakah dia harus ikut? Apakah akan seperti kemarin, mereka bertiga menatap langit malam seperti tiga orang yang kesepian?
"Yah, kita tunggu saja!" Raksa setuju, karena dia tidak mau jika nanti ada masalah, dan dokter Luna jadi repot. Lebih dari siapapun, dia paham bagaimana kondisinya yang cukup rentan.
Keduanya menunggu di tempat duduk yang kemarin malam mereka duduki. Raksa menunjukkan gambar yang dia janjikan. Itu adalah sketsa gambar wajah dokter Luna. Diwarnai sesuai warna kulit dokter Luna dan warna lainnnya. Begitu mirip seperti foto hasil kamera mahal.
Dokter Luna terkesima dengan bakat menggambar Raksa. Karena terlalu senang, dia sampai terharu, hampir saja menangis. "Aku belum pernah digambar, dan kamu menggambar dengan sangat baik!"
"Dokter bisa berterimakasih, dengan menyimpan gambar ini. Aku tidak menggambar sembarangan orang. Jadi dokter harus merasa bangga!" Raksa menyombongkan hasil karyanya.
Tertawa, Luna setuju. Dia tidak tahu Raksa juga bisa sombong. Tapi tidak terlihat buruk, menyombongkan kemampuan sendiri, artinya menyadari potensi. Banyak orang menyianyiakan bakat asli demi mengikuti trend, atau kecewa pada keadaan. Seperti dirinya beberapa waktu lalu, yang hampir berhenti menjadi dokter karena kecewa.
"Bolehkah aku tahu, siapa orang pertama yang mendapatkan penghormatan digambar oleh tanganmu?"
Raksa mengingat lagi, dia sudah menggambar sejak kecil, tidak ingat lagi siapa yang dia gambar pertama kali. "Aku lupa!"
"Oh iya, dokter Luna tidak apa-apa mengajakku keluar, maksudku aku cukup merepotkan!" Raksa tidak masalah jika tidak jadi, karena dia sedang tidak ingin kemanapun.
"Tidak bisa tidak. Cukup sulit mendapatkan izin untukmu jalan-jalan keluar. Anggap ini hadiah, karena kamu memberiku ini!" Luna mengangkat kertas yang sudah di gulung.
"Terimakasih!" Raksa setuju, karena sangat jarang juga memiliki momen seperti ini.
Fikar baru saja keluar dari pintu depan rumah sakit. Dia juga tidak lagi mengenakan jas putihnya. Kemeja warna maroon dan celana hitam yang memang dikenakan di balik jasnya tadi. Tampak cukup rapi, seperti akan kencan. Saat dia menyadari warna bajunya sama dengan warna baju dokter Luna, dia merasa sangat malu.
Raksa juga melihat baju keduanya bergantian. Menyeringai, dia pikir mereka memang sangat cocok. Reaksi mereka juga tampak manis. "Apakah aku tidak ikut saja!"
"Diam lah!" Fikar menepuk punggung Raksa, karena membuat suasana semakin canggung.
Ketiganya pergi, entah bagaimana mereka bisa langsung akrab. Padahal sebelumnya mereka hanya seperti orang asing yang berada di tempat yang sama, yaitu rumah sakit.
Berawal dari mimpi Raksa, semuanya saling terhubung. Meskipun Raksa belum menemukan jalan baru untuk bertemu dengan Zoya. Padahal, Raksa hanya perlu sedikit terbuka saja.