Hati itu bukan miliknya

1197 Words
Raksa merasakan air hujan yang menetes di tangannya. Dia tidak menyangka hujan akan datang, padahal tadi langit tidak terlihat mendung. Rasa dinginnya sampai di tulang, tapi dia menyukainya.  "Jangan! Mundur sedikit! Kamu akan sakit!" Fikar memarahi Raksa dengan menariknya agar tidak terkena tetesan hujan. "Maaf, kita sepertinya akan terjebak di sini sampai hujannya reda!" Luna merasa bersalah, apalagi di sini dia bersama pasien yang menjadi tanggung jawabnya.  Raksa sama sekali tidak merasa harus ada yang bertanggung jawab atas hujan yang tiba-tiba ini. Dia melihat bagaimana sedari tadi dokter Luna dan dokter Fikar khawatir padanya. Padahal mereka semua juga sedang kedinginan, karena baju yang basah.  "Dokter terus saja meminta maaf! Karena sudah terjadi, bagaimana jika berlari sampai ke mobil. Toh sudah basah begini!" Raksa pikir mereka sudah terlanjur basah, menunggu hujan reda juga mereka akan semakin kedinginan.  "Tidak!" Fikar langsung menolak ide tersebut. Tadi dia memarkirkan mobil dokter Luna cukup jauh dari sana. Jika memaksakan diri, jelas mereka semua akan sakit. "Kalian tunggu di sini. Aku akan ambil mobil dan kembali untuk menjemput kalian. Tetaplah berteduh di sini. Mengerti?"  "Iya!" Raksa diperingatkan seperti anak kecil, dia agak kesal. Meskipun dia sakit, tapi dia bukan anak kecil. "Hujannya terlalu deras!" Luna menahan baju Fikar. Dia tidak setuju jika Fikar menerobos hujan sederas ini. Bahkan untuk tetap membuka mata saja akan sulit.  "Raksa tidak bisa menunggu lebih lama. Percayalah, Dok. Aku akan kembali secepat mungkin. Tolong jaga dia!" Fikar sudah berlari tanpa mau mendengar jawaban dokter Luna. Dia menggunakan tangannya untuk menutupi hujan yang menetes di matanya, tapi karena terlalu deras, dia benar-benar kesulitan. Jarak pandangnya terbatas.  Luna memperhatikan dokter Fikar yang sudah berjalan cukup jauh. Dia tidak tahu ternyata dokter Fikar bisa bertindak senekat itu. Meskipun lelaki itu lebih muda darinya, tapi dia bisa merasakan laki-laki itu bisa bersikap lebih dewasa darinya.  Di bawah pohon, dokter Luna dan Raksa menunggu dokter Fikar. Keduanya sama-sama kedinginan, karena meskipun berteduh di bawah pohon, masih ada tetesan hujan yang berhasil menerobos dedaunan. Anginnya juga cukup kencang.  "Dokter, apakah menurutmu dokter Alam akan menghukum kita?" Raksa agak khawatir, setelah kembali nanti, dia tidak akan diizinkan keluar dari rumah sakit, bahkan mungkin dari ruangan rawatnya.  "Aku akan menjelaskan padanya. Bagaimanapun hujannya tidak bisa diprediksi akan jatuh sederas ini, padahal tadi tidak ada tanda-tanda. Maaf, aku berpikir kita bisa jalan-jalan dan makan jajanan, karena kamu pasti sudah lama kan tidak menikmati suasana malam seperti ini. Tetapi sepertinya kita salah memilih hari!" Luna melihat bibir Raksa sudah pucat, tapi masih menunjukkan senyum padanya. Seolah-olah tidak ingin membuatnya khawatir tentang keadaannya. Mau disembunyikan seperti apapun, dia adalah dokter, dia akan tahu kalau Raksa tidak baik-baik saja.  Raksa melihat lagi pada derasnya hujan, dia tidak berpikir dokter Luna akan mengajaknya jalan-jalan ke Monas. Sungguh jauh dari perkiraannya. Tapi dia senang, dokter Luna dan dokter Fikar mau menjadi seperti teman untuknya.  "Sebenarnya aku lebih khawatir dengan dokter Fikar. Dia pasti akan jatuh sakit, juga dia akan dimarahi oleh dokter Alam!"  "Iya, semoga dia baik-baik saja!" Luna jadi ingat bagaimana dokter Fikar menarik mereka berteduh di bawah pohon, dan kini meninggalkan mereka untuk mengambil mobil.  "Dokter, bolehkah aku bertanya padamu. Tapi ini tentang Lander!" Raksa sudah menyerah dengan laki-laki itu, tapi dia tidak memiliki petunjuk lainnya.  Dokter Luna langsung terlihat tidak nyaman. Bukan karena apa, tapi karena dia tidak sedang ingin mengingat tentang laki-laki itu. Dia tidak tahu bagaimana Raksa bisa memiliki mimpi, dan melihat sosok mirip Lander. Seharusnya mereka tidak memiliki keterkaitan lebih. Akan tetapi, Raksa terlihat masih penasaran tentangnya.  "Aku akan mengatakan kebenarannya padamu. Kami tidak memiliki hubungan dekat seperti yang kamu bayangkan. Pertunangan kami diatur oleh orangtua. Meskipun aku berusaha untuk memahaminya, tapi terlalu tinggi benteng yang dibangun laki-laki itu di sekitarnya. Aku tidak tahu apapun tentangnya, jadi percuma kamu bertanya padaku tentang dia." Luna memilih untuk menjelaskan situasi sebenarnya pada Raksa. Agar remaja itu tidak lagi membicarakan tentang Lander padanya.  Raksa merasakan emosi dokter Luna. Dia tidak berpikir kalau ternyata masih ada perjodohan di jaman ini. Tidak aneh jika sikap Lander seperti itu pada dokter Luna. Bahkan sikap Lander pada Zoya di mimpinya jauh lebih baik. Meskipun mungkin mimpinya salah.  "Maaf, aku, sebenarnya aku hanya … maaf!" Raksa tidak jadi mengatakan kegelisahannya terkait dengan Lander. Dia tidak bisa mengatakan niatnya pada dokter Luna.  Tersenyum, dokter Luna tidak bermaksud menyalahkan Raksa. Dia hanya tidak ingin lagi remaja itu bertanya tentang Lander padanya. Dia tidak tahu apapun.  "Tidak apa-apa. Hubungan kami sudah berakhir!"  Luna mengatakannya dengan tegas, padahal di hatinya masih ada keraguan. Apakah sudah benar-benar berakhir? Karena saat ini laki-laki itu masih menganggapnya menyembunyikan Zoya. Padahal dia sendiri tidak tahu keberadaan Zoya. Hari itu keadaan sangat kacau. Dia dikuncikan di kamarnya oleh mamanya. Dan yang masih menjadi pertanyaan, apakah Lander juga mengenal Zoya? Karena Lander terlihat begitu ingin tahu tentang keberadaan Zoya sampai saat ini.  Sebenarnya dia cukup terkejut, ternyata Lander juga tidak tahu keberadaan Zoya. Padahal dia pikir Lander ikut mengantarkan Zoya ke rumah sakit. Lalu, siapa yang membawanya? Karena beberapa hari lalu dia menanyakan pada Tisa tentang keadaan Zoya, tapi wanita itu memintanya bertanya pada orangtuanya. Ketika dia tanya pada orangtuanya, mereka malah marah dan memintanya untuk tidak membicarakan tentang Zoya lagi. Zoya, temannya yang tidak sengaja tertusuk olehnya, sebenarnya dimana dia sekarang dan apa kabarnya. Perasaan bersalah juga masih bersarang di benaknya. Jika pun Zoya menggugatnya atas kejadian tidak disengaja itu, dia akan menerimanya. Jika saja Lander mempercayainya, jika dia juga tidak tahu keberadaan Zoya. Keduanya kembali diam, merasakan dinginnya angin kencang dan hujan yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Juga, dokter Fikar yang tidak kunjung kembali.  "Hei, apakah kamu baik-baik saja! Raksa!" Luna terkejut, dia tidak menyadari keadaan Raksa, karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Remaja itu jatuh pingsan, Luna panik, karena tidak ada siapapun di sekitar. Saat itu bersamaan dia melihat mobilnya berhenti tidak jauh dari posisinya.  "Dokter Fikar, cepat!" Luna berteriak, dia takut terjadi hal buruk pada Raksa.  Fikar juga melihat semuanya tadi, saat membawa mobil masuk ke area itu. Buru-buru turun dari mobil dan berlari. Jantungnya berpacu cepat, melihat keadaan Raksa yang sangat pucat.  "Tolong bukakan pintu mobilnya, aku akan menggendongnya!" Fikar menyuruh dokter Luna.  Dia menarik Raksa yang sudah tidak sadarkan diri untuk duduk, kemudian dia menggendongnya di belakang tubuhnya. Sungguh, dia panik sampai hampir tersandung, karena tidak bisa melihat jelas langkahnya. Hujan juga masih sangat deras.  Fikar berhasil membawa Raksa masuk mobil. Dia langsung mengendarai mobilnya kembali ke rumah sakit. Sekarang dia tahu kenapa dokter Alam sangat tidak suka Raksa pergi keluar. Karena kondisinya sangat rentan.  "Dia mungkin hanya kedinginan. Dia akan baik-baik saja!" Fikar menenangkan dirinya sendiri, dan juga dokter Luna yang tampak sangat khawatir.  "Kankernya, apakah sudah separah itu?"  Fikar mengangguk. "Sebenarnya kondisinya selalu dipantau, kankernya tidak mengalami penyebaran, karena pengobatan yang dijalaninya. Tapi seiring berjalannya waktu, tubuhnya juga melemah. Jika saja ada donor untuknya. Karena kondisi tubuhnya tidak akan bertahan lama dengan hati yang terkontaminasi sel kanker!"  Tersenyum miris, Fikar melihat keadaan Raksa dari kaca. "Sebenarnya hati itu juga bukan miliknya. Itu adalah donor!"  "Apa? Jadi dia juga pernah melakukan operasi sebelumnya? Bagaimana bisa?" Luna menatap dokter Fikar tidak percaya.  "Dokter pun tidak menyangka. Sel kanker kembali menyerang hati barunya!"  Luna tidak bisa membayangkan. Seseorang mengalami sakit dengan keadaan yang sama. Pastilah sangat berat untuknya. 

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD