Kondisi Raksa bisa dikatakan stabil, tapi juga tidak bisa dikatakan baik. Fikar mengajak Raksa jalan-jalan di taman.
"Jadi papamu tidak korupsi?" Fikar masih belum percaya dengan penjelasan Raksa.
Raksa menyunggingkan senyumnya, "Papaku mungkin melakukannya, dia hanya manusia. Tapi jika benar, dia pasti tidak akan membiarkan dirinya tertangkap. Artinya, kali ini itu hanya jebakan!"
Fikar menggaruk kepalanya, "Jadi yang benar papamu korupsi atau tidak?"
Memutar bola matanya, Raksa tidak yakin dokter Fikar lulus ujian kedokteran dengan nilai murni. Karena begitu saja dia tidak mengerti. Dia tahu, dokter Fikar ingin memastikan agar tidak salah kata saat bergosip.
"Hei, apakah dokter Alam sudah mengizinkan guruku datang ke rumah sakit? Aku akan tertinggal banyak pelajaran nanti!" Raksa mengeluh, dia ingat bagaimana dia belajar bersama Zoya. Dia akan malu, jika nanti bertemu dengannya dan Zoya melihatnya tidak lulus tahun ini.
Fikar tahu Raksa sedang mengalihkan pembicaraan. Tapi meskipun begitu dia menanggapinya. "Nanti akan kutanyakan. Lagian kondisimu mudah memburuk. Kita harus segera mendapatkan donor baru!"
"Tidak bisakah aku tetap dengan hati yang sekarang? Aku menyukainya!" Raksa sedih, hati ini diberikan oleh Zian, dan Zoya juga menyetujuinya. Bagaimana jika Zoya marah padanya, karena hati yang didonorkan padanya kena kanker.
"Halah, itu sudah rusak. Ganti saja dengan yang baru!" Fikar berniat bercanda, karena biasanya juga begitu. Tapi tiba-tiba kepalanya dilempar dengan botol minum. Dan dia melihat anak nakal itu pergi begitu saja.
Raksa marah, dia bahkan meneteskan air mata karena ucapan Fikar barusan. Dokter Alam bilang, dia bisa sembuh, dia ingin mempercayainya. Dia tidak mau mengganti hatinya.
Di lift, Raksa masuk dan bertemu dengan dokter Alam. Dia berpura-pura tidak melihatnya. Bahkan bergeser agak jauh darinya.
"Kau baru menangis?" Alam memperhatikan wajah pasiennya, bukan hanya ada jejak merah tamparan dari mamanya kemarin, tapi ada jejak basah.
"Tidak!" Raksa menjawab cepat.
Alam tadi melihat Raksa sedang berjemur ditemani oleh Fikar. Dan sekarang dia tidak melihat Fikar, tapi melihat Raksa yang menangis. Dia memiliki tebakan.
"Fikar suka asal bicara. Kau tidak perlu mendengarkan ocehannya!" Alam pikir Fikar mungkin menyinggung tentang orangtuanya, jadi Raksa tersinggung.
"Jangan pura-pura peduli padaku!" Raksa mengatakan dengan lirih, begitu lift sampai di lantai lima, pintunya terbuka. Raksa langsung berjalan keluar mengabaikan dokter Alam.
Alam mengerutkan keningnya. "Aku juga tidak ingin peduli!"
Tapi dalam pikirannya, Alam akan memarahi Fikar. Mulutnya itu tidak bisa dibungkam sebentar saja. Dia saja kadang dibuatnya kesal.
Alam berjalan mengikuti langkah Raksa keluar dari lift. Dia melihat punggung anak itu, yang berjalan menjauh. Meskipun sikapnya berubah-ubah, tapi Alam tidak lagi melihat keputusasaan di matanya. Dia cukup lega, pasien kanker tidak boleh merasa putus asa. Karena yang banyak berperan melawan penyakit itu adalah semangat pasien itu sendiri untuk sembuh.
Alam berbelok ke lorong menuju ruangannya. Dia akan menaruh tasnya, baru memeriksa keadaan pasiennya.
"Dokter Alam, apakah kamu tahu dokter Luna akan kembali mulai bekerja hari ini?" tanya perawat yang membawakan data pasien untuk dokter Alam.
"Yah, hanya dia dokter bedah yang suka sekali liburan!" Alam membalas dengan sindiran.
Perawat itu tersenyum mendengar tanggapan dokter Alam. Dia sebenarnya tahu, dokter Alam hanya tidak mau membicarakan hal yang beberapa bulan lalu, sempat heboh.
Dokter Luna melukai temannya di acara pernikahannya. Tapi karena pemilik rumah sakit adalah orang yang masih memiliki hubungan keluarga dengan dokter Luna, maka tercipta kesepakatan, rumah sakit tidak akan membocorkan identitas orang yang terluka, dan bertanggung jawab atas pengobatannya.
Selama itu dokter Luna diliburkan. Karena banyak kontroversi yang beredar di masyarakat. Anehnya, tindakan kriminal itu dianggap ketidaksengajaan.
"Dia wanita yang mengerikan!" Alam menggelengkan kepalanya. Dia mengenal dokter Luna adalah wanita yang lembut, tapi ternyata mengerikan.
"Wah, apakah kalian sedang bergosip?" Fikar baru saja masuk ruangan dokter Alam.
"Kau bicara apa pada Raksa?" Alam langsung menegur.
"Apa? Aku tidak bicara apa-apa. Anak itu saja yang kurang ajar. Aku sudah berbaik hati menemaninya berjemur, tapi kepalaku dilempar botol minum!" Fikar mengeluh.
Tapi karena ucapan Fikar barusan, dokter Alam dan perawat sangat yakin, Fikar mengatakan sesuatu yang membuat Raksa marah. Sekali-kali memang harus ada yang menumpuk kepalanya.
Di ruangan rawatnya, Raksa sedang menggambar. Dia menggambar wajah Zoya. Dulu dia tidak tahu seperti apa wajahnya, dan hanya tahu malaikat yang mendonorkan hati untuknya itu memiliki putri cantik. Kini dia bahkan bisa menggambar wajahnya dengan mudah.
Saat dokter Alam masuk ke ruangannya, Raksa langsung menutup lembar buku sketsa miliknya. Dia akan merahasiakan wajah kakak cantiknya, dari dokter Raksa. Karena laki-laki itu pasti akan mengenali gambarannya nanti. Mereka kan teman sekelas.
"Kau mulai menggambar lagi?" Perawat yang masuk dengan Dokter Alam bertanya.
"Hem, karena ada seseorang yang memuji bakat menggambarku!" Raksa sedikit sombong. Dia akan ingat seumur hidupnya, Zoya mengatakan kalau dia harus mengembangkan bakatnya.
"Jangan percaya jika yang mengatakannya adalah Fikar!" Dokter Alam menyahuti.
Perawat jadi tertawa, dia juga setuju dengan dokter. Akan jadi bencana jika yang mengatakannya adalah dokter Fikar.
"Dokter Fikar bilang kau ingin kembali memulai kelas lagi? Apakah sudah bicara dengan mamamu?" Alam bisa memberikan izin, jika memang begitu. Asalkan guru yang datang bisa menjaga kebersihan. Karana keadaan Raksa sangat rentan jika terlalu sering bertemu dengan orang luar.
"Hem!" jawab Raksa singkat.
"Nanti akan kupikirkan, setelah kondisimu cukup stabil!" Alam melihat kondisi Raksa kembali melemah. Padahal kemarin sudah cukup bagus. "Jangan pergi ke atap saat malam hari. Tidak baik untuk kondisimu!"
Raksa melirik dokter Alam. Laki-laki itu selalu tahu, benar-benar mengerikan. "Aku tahu!"
"Baiklah, kamu bisa melanjutkan menggambar!" Perawat itu kemudian mengikuti langkah dokter Alam.
—
Raksa tidak memiliki ponsel. Dia menjatuhkannya saat di atap waktu itu. Jadi dia meminjam ponsel dokter Fikar, untuk menelpon mamanya, meminta ponsel baru.
"Sudah? Apakah mamamu mau membelikannya? Kalian kan habis bertengkar!" Fikar heran, hubungan Raksa dan orangtuanya cukup unik.
Raksa mengangguk dengan percaya diri. "Dia hanya memiliki aku sebagai putranya. Kenapa tidak?"
"Sombong!" Fikar kesal tiap kali bicara dengan Raksa.
"Kau mau kemana?" Fikar melihat Raksa berjalan keluar ruangan.
"Aku mau ke halaman!" Raksa tidak terbiasa dengan dunia luar. Sudah dua tahun ini, dia lebih sering berada di rumah sakit. Kadang dia bosan.
Dia ingin bermain basket dengan Gerald, atau main game dengannya. Atau menemani Zoya workout dan ikut pemotretan. Rasanya seperti hanya mimpi, dia bisa melakukan itu semua.
Saat tiba di halaman depan rumah sakit, Raksa hanya duduk diam melihat para pasien lainnnya. Sungguh, pemandangan yang sangat membosankan.
Untung saja dia membawa alat gambarnya. Karena dia bosan, dia menggambar suasana lapangan basket yang ada diingatannya. Tersenyum, Raksa tidak bisa menahan kegembiraan mengingat lagi dia pernah bermain basket.
Dari lantai dua, dokter Alam memperhatikan Raksa. Dia tidak sengaja melihatnya saat baru dari kantin. Sepertinya anak itu mulai menemukan cara mengusir bosan.
"Dia sangat naif. Sebenarnya dia anak yang baik. Sayangnya dia terkurung dalam gedung ini sebagai pasien!" Fikar bertemu dokter Alam, dan ternyata dokter sedang memperhatikan objek di bawah sana.
"Kau tadi pagi baru mengeluh kepalamu dilempar botol minum. Sekarang kau sudah mengasihaninya!" Alam melangkahkan kakinya pergi setelah mengatakannya.
Fikar jadi sadar, dia sebenarnya memang kasihan pada anak itu. Orangtuanya sedang memiliki masalah, anak itu berjuang melawan penyakitnya. "Dia tetap anak nakal. Untung hanya satu yang seperti dia!"
Karena Raksa sudah cukup lama dirawat di rumah sakit itu, para perawat dan dokter di sana banyak yang mengenalnya. Terutama dokter Alam dan dokter Fikar.