Raksa diberi sarapan, tapi dia tidak memakannya. Menolak untuk melakukan apapun, juga tidak bicara.
Alam datang pagi dan langsung menemui Raksa. Dia melihat remaja itu sedikitpun tidak menyentuh makanannya.
"Ambil makanan itu. Dia tidak mau makan, maka jangan berikan makanan apapun padanya!" Alam memberikan perintah pada perawat.
Dua perawat di sisinya saling menatap. Mereka takut, tapi juga bingung dengan instruksi dokter Alam. Pasien harus makan, daya tahan tubuh pasien juga masih sengat lemah.
Alam baru memberikan suntikan. Pasiennya itu benar-benar hanya diam saja, padahal seharusnya dia yang marah di sini. "Pikirkan sikap kekanakanmu, para perawat kerepotan karenamu!"
Alam langsung pergi setelahnya, dia harus mengecek kondisi pasiennya yang lain. Tapi sebenarnya dia merasakan ada yang berbeda dari anak itu, setelah sadar dari keadaan koma. Tatapan matanya begitu dingin.
Fikar sedang bergosip dengan para perawat, saat Alam berjalan melewatinya. Dokter magang itu sangat suka bertukar informasi seperti ibu-ibu kompleks.
"Dokter, anda sudah melihat kondisi Raksa?" Fikar meninggalkan staf yang sedang bercerita, memilih mengikuti langkah dokter Alam.
"Sudah, Dokter Alam juga sudah memberikannya suntikan!" Perawat yang menjawab.
Fikar mengangguk puas. "Bagus! Anak itu tidak mau disentuh oleh siapapun. Perangainya semakin menjadi saja!"
"Kau sudah berhasil menghubungi orangtuanya?" Alam langsung mempertanyakan tugas yang diberikannya.
Fikar menggelengkan kepalanya lemah. Yang menerima telepon selalu asistennya. Bagaimana mungkin dia berhasil bicara dengan orangtua pasien. "Saya akan mencobanya lagi!"
"Kau sibuk bergosip, tapi satu masalah saja tidak bisa menyelesaikannya!" Alam benar-benar kesal pada dokter magang itu, dia harus segera bicara langsung dengan orangtua Raksa mengenai kondisi terbarunya, tapi tugas seperti itu saja tidak bisa dilakukan.
"Papanya terkena skandal korupsi, mamanya punya selingkuhan. Mereka lupa memiliki anak yang dirawat di rumah sakit!" Fikar mengomel, karena bukan kesalahannya jika dia tidak berhasil menghubungi orangtua Raksa.
Alam tidak pernah peduli, jika Fikar suka bergosip. Tapi kadang dokter magang itu mencampuri masalah pribadi pasiennya. "Jaga bicaramu. Tugasmu merawat pasien, bukan mengomentari kehidupan pribadinya!"
Dua perawat jadi takut, mereka menatap penuh tuduhan pada dokter magang. Karena dokter itu bicara sembarangan, dokter Alam jadi marah. Mereka juga bisa terkena kesulitan nanti, jika mood dokter Alam jadi buruk.
"Maaf!" Fikar mengaku salah. Dia tidak lagi bicara, dan hanya berjalan mengikuti dokter Alam.
—
Alam mengambil minuman dan membawanya ke atap. Tempat paling sepi di rumah sakit tersebut. Dan di sana, saat itu dia juga menyelamatkan Raksa dari aksi bunuh dirinya.
"Sial!" Alam melihat kemejanya jadi basah, karena tekena tumpahan minuman.
Kesialan dalam hidupnya adalah terlahir miskin. Tapi tapi dia masih memiliki banyak kesialan lainnnya. Meskipun begitu, dia masih tidak mau menyerah dan tunduk pada hal buruk yang terus melumpuhkan langkahnya.
Bagi seorang pemuda miskin sepertinya, menyerah bukan hal yang bisa dipilih. Karena orang yang menyerah, adalah orang yang tidak mau membuat pilihan itu sendiri.
Mengingat lagi hari itu Raksa akan melompat dari atap gedung tersebut, karena merasa tidak punya pilihan. Padahal, Raksa hanya ingin menyerah, itu saja. Anak itu masih muda dan naif, jadi dia memaklumi tindakannya. Meskipun begitu, dia masih marah padanya.
Dia yang merawat kondisinya, tiap kali kondisinya memburuk, dia tidak bisa pulang dan akhirnya menginap di rumah sakit. Tapi dengan mudahnya, anak itu mau menyerah.
Alam tidak mengenal Raksa, selain sebagai pasiennya. Tapi karena sudah dua tahun merawat kondisinya, dia jadi sedikit mengenal karakternya. Dan sikap dingin yang ditunjukkannya tadi cukup asing.
Berjalan menuju tangga, Alam akan kembali mengecek kondisi Raksa dan dua pasien lainnnya di lantai lima. Setelahnya, baru dia akan makan siang. Begitulah rencana awalnya, sampai dia melihat kebisingan di ruangan rawat Raksa.
"Ada apa?" Alam mendorong perawat, memegangi Raksa yang sedang dipukuli oleh mamanya.
"Anda tidak boleh membuat keributan di rumah sakit!" Alam memperingatkan wanita cantik yang miliki wajah sama persis seperti Raksa. Cantik dan manis. Padahal usianya sudah empat puluhan.
"Gara-gara kamu, kami mengalami banyak kesulitan. Bisa-bisanya kamu menghina mama yang sudah membesarkanmu dengan susah payah!" tunjuknya pada sang putra.
Alam mencegah wanita itu menyentuh Raksa. Dia kemudian meminta perawat untuk membawanya keluar dari ruangan pasien.
Mengecek kondisi Raksa, ada luka cakaran, dan infusnya juga terlepas. Ada lagi beberapa memar bekas tamparan di pipinya. Sekarang dia harus menangani hal tersebut. "Berbaringlah. Aku akan memasang infus ini lagi!"
"Apakah papaku sudah dipenjara?" tanya Raksa pada Alam.
Alam mengerti maksud pertanyaan Raksa. Dia tidak bisa menjawab, karena dia tidak mengurusi urusan KPK. Tugasnya di rumah sakit. Seperti yang dilakukannya sekarang, pasiennya luka-luka.
"Mamaku, dia tidak salah. Aku yang membuatnya marah!" Raksa tahu tempramen dokter Alam. Dokter itu paling tidak suka jika tugasnya bertambah.
"Kau memang harus dipikul!" Alam mengoleskan obat ke pipi Raksa, sedikit menekannya hingga remaja itu mengaduh.
Raksa menatap wajah dokternya, sangat jauh berbeda dari anak laki-laki yang sekelas dengan Zoya. Dia tidak menyangka, Dokter Alam yang galak dan tukang marah itu dulunya sangat menyedihkan.
"Apa ada sesuatu di wajahku?" Alam bertanya dengan Ekspresi datar.
"Tidak!" Raksa menundukkan pandangannya. Dia memperhatikan jejak kemarahan mamanya.
Tadi dia hanya mengatakan pada mamanya, kalau tidak perlu datang, jika masih berhubungan dengan kekasih gelapnya. Tapi mamanya malah jadi marah.
Bukannya dia tidak tahu, banyaknya perjuangan yang dilakukan mama dan papanya sejak dia kecil sampai sekarang. Hanya saja, dia agak tidak suka mamanya memiliki kekasih, saat masih menjadi istri sah papanya. Apalagi, papanya sekarang sedang terjerat skandal besar.
"Dia mungkin lapar, pastikan ada makanan masuk ke perutnya. Jika dia tidak mau, minta saja dia pergi dari rumah sakit ini!" Alam memberikan instruksi pada perawat dengan suara lantang, agar Raksa juga bisa mendengar ucapannya.
Kemudian dokter Alam pergi ke ruangannya, untuk membicarakan tentang kondisi Raksa pada mamanya.
—
Dokter Fikar datang terlambat, dia baru tahu kalau mamanya Raksa sudah datang dan membuat keributan. Kini dia harus bersiap, terkena omelan dokter Alam.
Menuju ruangan Raksa, dia melihat remaja itu memar-memar. Ekspresinya langsung buruk. Kenapa pasien sampai seperti itu? Dia akan benar-benar habis.
"Kenapa mamamu yang datang? Aku kan menghubungi papamu!" Fikar bertanya pada Raksa, sambil memperhatikan kondisinya.
Raksa juga tidak tahu kalau mamanya yang datang. "Dokter, apa kau tahu bagaimana kelanjutan kasus papaku?"
"Tidak baik. Dia sedang diselidikinya. Hei, apakah biaya rumah sakit ini dibayar oleh uang panas? Wah, bagaimana kalau rumah sakit ini juga diperiksa?" Dokter Fikar malah menambah permasalahan.
Raksa memutar bola matanya. "Dokter lupa kalau aku pernah meminjamkan pada dokter, artinya dokter juga akan diperiksa!"
Fikar tiba-tiba ingat, dimana dia lupa membawa uang. Sedangkan dia harus membayar taksi. Kebetulan saat itu Raksa ada di halaman untuk berjemur, dia meminjam darinya. Tapi hari itu juga dia kembalikan. "Hei, anak nakal. Aku sudah mengembalikannya. Apa hubungannya denganku!"
Raksa mengangkat bahunya. Dia hanya menggoda dokter Fikar. Karena dia tahu, dokter itu suka menyebarkan berita. Termasuk cerita tentang apa yang dilakukan mamanya padanya barusan.
"Kau akan makan?" Dokter melihat perawat membawakan makanan.
"Tadi tidak mau. Dasar, laper kan Lo!" Fikar mengejek, tapi kemudian dia membantu menyiapkan meja untuk Raksa makan.
Raksa tadinya masih terkejut, karena dia kembali lagi ke masa ini. Padahal dia masih ingin berada di sisi Zoya. Dia tidak tahu apakah dia sedang bermimpi atau itu sungguhan, karena dia baru tahu dia telah koma hampir tiga bulan. Bukankah terlalu nyata untuk disebut mimpi?
Tidak ada penyesalan, Raksa ingat tentang semuanya. Dia akan menemukan Zoya sungguhan dan benar-benar ada di sisinya.
Artinya dia harus melawan sakitnya. Zoya pasti sedih, kalau tahu keadaannya sekarang.