Alam sedang menikmati secangkir kopi sambil memperhatikan hasil pemeriksaan pasien di komputernya. Dia memiliki beberapa pasien kanker di rumah sakit ini, dan kondisi setiap pasiennya beragam. Tapi sekarang ini dia sedang fokus melihat hasil pemeriksaan milik Jonial Raksa.
Dulu Jonial Raksa adalah penderita kanker hati, tapi kemudian anak itu melakukan operasi pengangkatan organ dengan organ baru. Dengan perawatan yang sangat baik pasca operasi, anak itu dinyatakan sembuh. Tapi setelah beberapa tahun, anak itu kembali dengan diagnosa penyakit yang sama.
Sudah dua tahun dia menjadi dokternya, tidak ada perkembangan yang cukup bagus, tapi setidaknya anak itu kini kembali memiliki semangat hidup. Padahal beberapa bulan lalu, dia masih ingat betapa marahnya dia saat tahu Raksa akan bunuh diri. Anak itu meminum seluruh obatnya dan hendak lompat dari atap gedung. Dia memarahi semua perawat yang bertugas di lantai tempat Raksa dirawat. Raksa koma selama hampir tiga bulan lamanya dalam keadaan kritis. Dia benar-benar dibuat frustasi karenanya.
"Dokter, Kupikir anda sudah pulang!" Fikar tadinya hanya ingin menaruh lembaran kertas hasil pemeriksaan pasien, untuk diperiksa dokter Alam besok. Dia tidak menyangka dokter Alam ternyata belum pulang.
"Ada apa?" Alam memutar kursinya, dia duduk menghadap Fikar yang berdiri tidak jauh darinya.
"Aku membawa hasil pemeriksaan pasien. Oh, apakah dokter tadi bertemu dengan Raksa?" Fikar ingat dengan anak itu.
"Tidak, terkahir saat memeriksa kondisinya pagi tadi!" Alam mengambil lembaran kertas hasil pemeriksaan pasien yang diulurkan Fikar.
Fikar menggelengkan kepalanya, "Artinya anak itu berbohong. Tadi Raksa berpakaian biasa dan bilang akan olahraga di lapangan dekat area rumah sakit. Dia bilang kau mengizinkannya!"
Alam mengerutkan keningnya. "Dengan siapa akan itu pergi?"
"Sendirian, tapi karena khawatir aku menyuruh seseorang perawat menemaninya!" Fikar diam-diam menghirup napas lega, untung saja tadi dia meminta perawat pergi bersama Raksa. Atau jika tidak, mungkin sekarang dia akan terkena amukannya.
Alam tidak marah, meskipun anak itu berbohong. Dia tahu beraktivitas di luar bisa memicu hormon bahagia. Tapi dia agak khawatir, fisik anak itu sangat lemah. "Sejak kapan anak itu pergi?"
Fikar buru-buru melihat jam tangannya, "Sepertinya sudah seperempat jam yang lalu!"
"Hubungi perawat yang menemani Raksa ke lapangan. Minta dia mengajak Raksa pulang setengah jam lagi!" Alam melihat jam tangannya, dia juga sebenarnya sudah bisa pulang sejak tadi. "Oh tidak perlu, biar aku mengeceknya sendiri!"
Alam membereskan barang-barangnya, dia membawa tas dan juga ponselnya yang tergeletak di atas meja. Pikirnya, karena dia juga akan pulang, bisa sekalian melihat anak itu.
Fikar mengikuti dokter Alam keluar dari ruangan. Dia jadi agak khawatir, jika nanti anak itu dimarahi oleh dokter Alam. "Dokter, anak itu mungkin bosan, jadi dia ingin keluar mencari suasana baru!"
Mendengar ucapan Fikar, Alam menoleh dan memberinya tatapan tajam. "Apa yang kau pikirkan?"
"Dokter, anak-anak memang kurang peduli dengan kondisinya sendiri. Begitupun dengan Raksa!" Fikar mencoba bicara tanpa menyinggung dokter Alam.
"Bodoh! Kau mencoba mengajariku?" Alam mengangkat tangannya hendak memukul Fikar, tapi tidak jadi. Dia memilih berlalu meninggalkannya.
Fikar agak takut, dokter Alam sangat galak dan pemarah. Padahal dia hanya mencoba mengatakan agar Raksa jangan dimarahi. "Ah, anak itu seharusnya tidak berbohong!"
_
Alam tidak melihat keberadaan Raksa diantara anak-anak yang sedang main basket atau sekedar nongkrong di pinggiran lapangan. Jadi, kemana anak itu pergi?
Mengecek jam tangannya, seharusnya dia sudah sampai apartemen sekerang. Bukannya mencari keberadaan anak nakal itu. Tapi mengingat lagi, anak itu adalah pasiennya, maka dia jadi merasa ada tanggung jawab untuk memastikan anak itu kembali ke rumah sakit segera.
Berjalan kembali menuju motornya yang dia parkirkan di pinggir jalanan taman. Sembari mencoba menghubungi Fikar di rumah sakit, apakah Raksa sudah kembali bersama perawat yang menemani atau belum, Alam memperhatikan sekitarnya.
Tidak biasanya Raksa seperti itu. Karena sebenarnya Raksa bukan termasuk remaja yang aktif, bahkan anak itu jarang bersosialisasi dengan dunia luar. Itulah yang dia khawatirkan.
Fikar memberitahu kalau belum ada yang kembali. Jadi, seharusnya Raksa masih ada di sekitar area taman. Fikar menawarkan bantuan untuk mencari Raksa, tapi dia mengatakan agar Fikar tetap di sana dan memberitahunya, jika Raksa sudah kembali.
Alam cukup kesal, dia terus mencari di sekitar area taman. Saat hampir menyerah dan kembali ke tempat motornya di parkirkan, dia melihat ada remaja yang berdiri di sebelah motornya. Tidak lain dan tidak bukan adalah Raksa.
"Aku membuat dokter berolahraga?" Raksa menatap sosok laki-laki dengan kemeja yang masih rapi, tapi rambutnya lepek dan berantakan. Mungkin karena berlarian mencarinya.
"Kau mau mati?" Alam marah, dia sudah sangat ingin memukul remaja laki-laki yang bukannya merasa bersalah, malah mengejeknya.
Raksa bergerak menjauh saat melihat tangan dokter Alam yang mengepal. Apalagi dokter Alam yang membuang napas kasar terlihat sangat mengerikan. Jauh dari mimpi yang dia lihat ketika koma, sosok dokter Alam ketika masih muda di mimpinya sangat kalem.
"Aku hanya ingin jalan-jalan di taman ini. Aku sudah terlalu bosan dengan lingkungan rumah sakit!" Raksa tidak bohong, tadi dia sempat menonton anak-anak yang sedang latihan basket juga.
"Dimana perawat yang menemanimu?" Alam melihat wajah Raksa yang terlihat pucat. Kondisi anak itu belum benar-benar pulih, jadi beraktivitas di luar terlalu lama belum bisa dilakukan. Bahaya jika tidak ada yang menemaninya.
"Aku menyuruhnya pulang. Dia mendapat telepon dari rumah sakit, kalau kau mencariku. Kau membuatnya ketakutan. Begitu melihat motormu di sini, kami memutuskan kalau perawat kembali ke rumah sakit, sedangkan aku menunggumu!" Raksa hanya beralasan, karena sebenarnya dia hanya mengulur waktu untuk tidak terlalu cepat kembali ke rumah sakit.
Alam mendengarkan penjelasan Raksa. Dia hanya bisa memutar bola matanya. "Kenapa dia yang kembali, kenapa tidak kamu? Dan kenapa juga menungguku di sini. Jika kalian sudah kembali ke rumah sakit, pasti akan ada yang mengabari ku. Cepat kembali! Kau sudah puas mengerjaiku bukan?"
Menggeleng, Raksa tidak berniat mengerjai dokter Alam. Sebenarnya dia juga tidak menyangka dokter Alam akan tahu, karena sebelum meminta izin keluar rumah sakit, dia sudah memperhitungkan waktunya. Seharusnya dokter Alam sudah pulang beberapa menit yang lalu. "Dokter tidak akan mengantarku?"
"Kau pikir aku sebaik itu?" Alam ingin sedikit memberikan hukuman pada remaja nakal itu. Agar Raksa tidak berbuat seenaknya lagi.
"Kau akan meninggalkanku setelah aku menunggumu?" Raksa tidak percaya, dia tidak berani menunjukkan protes berlebihan. Tapi juga masih berharap dokter Alam tidak serius dengan niatnya menyuruhnya kembali sendiri.
Alam mengabaikan si anak nakal itu, menaiki motornya dan langsung mengenakan helmnya. Menoleh sebentar pada Raksa yang masih berdiri diam. "Sebelum aku sampai rumah, kamu sudah harus berada di rumah sakit. Atau selamanya kamu tidak mendapatkan izin keluar rumah sakit lagi!" Alam menyalakan motornya, melajukan motornya meninggalkan area taman.
Dilihatnya dari spion motornya, Raksa masih berdiri di tempatnya sambil terus melihat ke arahnya. Menyeringai, Alam pikir hukuman kecil itu cukup menyakiti hati anak itu. Yah, itu niatnya. Karena Raksa juga harus sadar, kesehatannya bukan hanya tanggung jawab dokter dan perawat rumah sakit, tapi dirinya sendiri lah yang berperan besar untuk itu.
Alam menghentikan motornya setelah cukup jauh dari area taman. Dia menghubungi staf rumah sakit untuk mengirim perawat menunggu Raksa di pintu gerbang rumah sakit. Meskipun ingin menghukumnya, Alam juga harus memastikan anak itu benar-benar kembali dengan aman.
—
Raksa sudah kembali ke ruangan rawatnya. Dia mendapatkan suntikan di infusnya. Dokter Fikar menasehatinya agar tidak berjalan-jalan terlalu lama, karena kondisinya masih belum stabil. Selemah itukah dia?
Sebenarnya Raksa merasa kesal, tapi juga merasa lucu. Dia mengalami mimpi dimana kondisinya sangat sehat, sehingga setelah bangun dia melupakan kondisi buruknya yang sudah sangat lama dia rasakan. Ternyata dia masih sakit, hanya berjalan-jalan lebih jauh dari sekedar di taman rumah sakit, membuatnya hampir mati.
"Jika kondisimu kembali memburuk, maka sekolahmu akan ditunda lagi. Tidak ada guru yang diizinkan untuk datang mengajar. Kau paham?" Fikar sebenarnya kasihan pada remaja itu, tapi dia juga kesal. Karena dia yang memberinya izin jalan-jalan tadi, jelas dirinya yang akan dimarahi oleh dokter Alam.
"Aku sekolah online saja. Toh sama saja, aku belajar sendirian!" Bagi Raksa tidak ada bedanya guru mengajar secara tatap muka atau secara daring. Karena dia akan tetap belajar sendirian.
Fikar berdecak mendengar keluhan Raksa. "Ya sekolah umum saja sana biar punya teman!"
"Boleh?"
"Ya jelas enggak! Sudahlah, enakkan juga belajar sendiri. Lebih fokus!" Fikar tadinya hanya keceplosan membahas tentang sekolah umum, kini dia berusaha memperbaiki perkataannya.
Raksa membalikkan badannya memunggungi dokter Fikar. Dia sedang dalam mood yang buruk. Bicara dengan dokter Fikar tidak memperbaiki moodnya. Malah bisa menjadi lebih buruk lagi jika dilanjutkan.
"Bagaimana jalan-jalannya tadi. Kamu menemukan perasaan baru?" Alasan dokter Fikar mengijinkan Raksa jalan-jalan, karena tidak biasanya Raksa ingin keluar area rumah sakit.
Raksa mengingat lagi mimpinya. Dia menghela napas panjang. "Aku merasa Dejavu!"
"Dengan apa? Suasana di luar?" Fikar penasaran.
"Dengan permainan basket!" jawab Raksa dengan suara lirih.
Fikar mengerutkan keningnya, dia tidak tahu kalau Raksa tertarik dengan permainan basket. Karena anak itu lebih suka menghabiskan waktu untuk menggambar, atau memainkan alat musik. Selain karena kondisinya, Raksa juga sebenarnya tipe yang malas bergerak. "Kau pasti berpikir mereka keren, setelah melihat anak-anak di sana bermain, bukan? Ah, itu cuma ilusi saja, tidak terlihat begitu menarik, jika kamu tidak berbakat. Sangat sedikit orang yang memiliki bakat dalam olahraga! Kau sudah berbakat dalam seni, tidak perlu serakah!"
Tawa Fikar jadi terdengar garing, karena remaja yang diajaknya bicara ternyata sudah menutupi telinganya dengan earphone. Benar-benar sangat tidak sopan. "Baiklah, kamu harus istirahat, agar kondisimu segera kembali pulih!"
Setelah Fikar meninggalkan ruangan, Raksa melepaskan earphone dari telinganya. Karena sebenarnya itu belum dicolokkan ke ponsel barunya. Ponsel itu baru saja diberikan staf rumah sakit setelah dia kembali dari taman tadi. Ternyata mamanya memilih mengirimkan ponselnya lewat kurir, dari pada memberikannya secara langsung. Yah, sebenarnya orangtuanya memang sangat jarang menyempatkan waktu datang berkunjung. Bukan hal baru, dan dia tidak terlalu memikirkannya.