Sekolah memenangkan tiga mapel dalam olimpiade. Semua anak yang ikut olimpiade tetap di panggil, di hadapan semua siswa-siswi yang berkumpul di lapangan futsal. Meskipun tidak semua membawa kemenangan, tapi mereka telah berusaha keras.
Zoya saat itu ada di barisan paling belakang. Dia melihat saat Lander dipanggil, tapi malah menoleh ke arahnya. Seolah-olah sedang memamerkan kemenangannya.
"Zo, hebat banget dah tu di Lander. Udah jadi kapten basket, juara kelas terus, bisa banggain sekolah lagi!" ujar teman laki-lakinya yang sekelas dengan Zoya itu menggoda.
"Ye, dia pinter. Tapi bukan selera gue lagi!" Zoya langsung membalas telak ejekan anak-anak. Mereka akan terus meledeknya, jika dia tidak merespon.
Tisa hanya tertawa di sampingnya. Meskipun dia melihat sendiri Zoya tidak lagi terobsesi dengan Lander, tapi dia masih tidak yakin Zoya benar-benar telah move on dari laki-laki itu. Bagaimanapun, perasaan tidak akan berubah begitu saja. Sebenarnya dia suka jika itu memang benar-benar terjadi. Karena dia tidak mau Lander terus-menerus merendahkan Zoya.
Setelah pengumuman tersebut, mereka kembali ke kelas masing-masing. Zoya berjalan di belakang anak-anak lain bersama Tisa, saat tiba-tiba ada yang menyenggol lengannya agak keras. Dia menoleh, ternyata itu adalah Lander.
Tidak menunjukkan respon, Zoya hanya mengusap lengannya. Tidak mau terpancing emosi, dia bukan anak-anak lagi. Meskipun Zoya biasa saja, tapi Tisa yang melihat itu merasa tidak terima.
"Gue heran, tu orang kenapa dah sama Lo. Iseng banget, pasti gara-gara sekolah kita kalah di mata pelajaran bahasa Inggris. Dia pasti kesel karena itu!" Tisa mengatakan kecurigaannya dengan nada kesal.
"Udahlah, capek ngikutin ambisi dia. Gue sampek ikut les di lima mata pelajaran dulu juga gara-gara dia. Sekarang mah gue udah tobat!" Zoya meladeni ucapan Tisa, karena dia juga jadi agak kesal. Dia dulu berusaha sangat keras untuk mendapatkan perhatiannya, tapi hasilnya tetap diabaikan. Dengan alasan dia cantik.
Tisa malah jadi tertawa, ternyata Zoya masih kesal. "Lagian, Lo juga maksa amat. Kalo jodoh gak kemana lagi!"
"Dia bukan jodoh gue!" Zoya menjawab yakin.
—
Setelah sepulang sekolah, Zoya menunggu jemputan. Tapi karena agak lama, dia berjalan menuju lapangan basket. Anak-anak yang menonton masih ramai, karena latihan kali ini berlangsung sengit, anak SMA dari sekolahnya melawan anak komplek. Turnamen akan dilaksanakan sebentar lagi, jadi anak-anak basket semakin rajin latihan.
Yang mainan paling semangat adalah Lander, seperti biasanya. Laki-laki itu menyukai Kemenangan, jadi tidak heran kalau mainan paling agresif. Tapi yang membuat salut, Lander selalu berhasil memimpin timnya membawa kemenangan di setiap pertandingan. Dia dikenal memiliki pemikiran yang kuat. Sehingga sangat sulit memecahkan pertahanannya.
Zoya berdiri di dekat bangku penonton, dia tidak berniat untuk duduk. Melihat bagaimana sorak-sorai anak-anak memicu semangat para pemain, bahkan Zoya reflek berteriak saat bola berhasil mesuk ring dan mencetak tiga poin.
Saat itu, Sari tiba-tiba berdiri di sebelahnya. Zoya pura-pura tidak melihat, meskipun dia sudah melihat keberadaannya. Dia masih kesal dengan kejadian kemarin, Sari tidak cocok memegang jabatan itu.
"Lo tetap tolong laki-laki itu?" Sari bertanya tanpa memandang ke arah Zoya, matanya masih fokus pada kekasihnya yang bermain di lapangan.
"Kenapa? Bukannya Lo gak peduli?" Zoya menjawab santai, bahkan tidak terlihat jejak emosi.
Sari melirik penampilan Zoya, kemudian menyeringai. "Tiga tahun sekolah di sini, yang Lo tahu cuma Lander. Tapi, kayaknya Lander masih belum tertarik sama Lo!"
Zoya agak sedih menyadari fakta tersebut, dia memang terlalu fokus pada laki-laki itu. Sehingga tidak tahu apapun tentang apa yang terjadi di sekolah. Tapi bukan hal Sari mengomentarinya seperti itu.
"Lo kelihatannya tertarik dengan kehidupan gue!" Zoya mengibaskan rambutnya, dia terbiasa menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
"Cih!" Sari membuang muka, dia selalu melihat ke arah gelang yang melingkar indah di pergelangan tangan Zoya, tiap kali melihatnya. Dan itu mengganggu perasaannya. "Jadi, Lo bawa laki-laki itu ke rumah sakit?"
Zoya mengangguk. Sari mempertanyakan tentang kejadian kemarin, artinya meskipun Sari bilang untuk tidak ikut campur, wanita itu masih memikirkannya.
"Namanya Alam. Dia sekelas sama Lo, kalo Lo gak tahu. Dia punya hutang dengan anak-anak kemarin. Gak tahu untuk apa uangnya, tapi jumlahnya lumayan. Dia bekerja di cafe setelah sepulang sekolah, demi membayar utangnya. Tapi sudah sebulan ini, dia tidak membayar sepersen pun!" Sari menceritakan apa yang dia tahu.
Zoya menoleh memperhatikan wanita yang berdiri di sebelahnya. Tidak menyangka Sari memiliki informasi seperti itu tentang Alam. "Dari mana Lo tahu?"
Sari tertawa mendapatkan pertanyaan itu dari Zoya. "Mudah, kenapa? Lo mulai kagum sama gue?"
Memutar bola matanya malas, Zoya menanyakannya, karena belum bisa mempercayai apakah yang dikatakan Sari adalah faktanya. Kenapa juga Sari memberitahukan padanya, bukankah gadis itu membencinya?
"Awas!" Seru anak-anak kencang.
Sari dan Zoya sangat terkejut. Keduanya mengobrol sampai tidak memperhatikan ada bola terlempar ke arah mereka. Beruntung ada tangan yang menghalau bola tersebut, sehingga sama sekali tidak menyentuh dua gadis cantik itu.
"Kalian sangat ceroboh!" Raksa memarahi dua gadis cantik tersebut. Beruntung dia duduk di bangku penonton yang cukup dekat dengan mereka.
"Kamu gak papa?" Navo buru-buru berlari menghampiri mereka, karena mengkhawatirkan kekasihnya. Dia yang tadi tanpa sengaja melempar bola hingga keluar lapangan.
"Enggak, untung aja gak kena!" Sari bersikap manja, tapi keterkejutannya sungguhan.
Zoya melihat interaksi keduanya. Dia ingat tentang video yang dia simpan di ponselnya. Tentang bukti perselingkuhan Sari. Keduanya tampak saling mencinta, terutama Navo, dia pria yang berpikir rasional, tapi sangat mencintai kekasihnya. Pasti akan menyedihkan kalau sampai dia membocorkan tentang perselingkuhan tersebut.
"Kamu mau lanjut nonton, ayo duduk aja!" ajak Raksa agar Zoya duduk bersamanya.
"Kalian beneran kakak-adek?" Sari langsung bertanya penasaran, apalagi setelah beredar foto keluarga yang sempat heboh kemarin.
"Bukan!"
"Iya!"
Mereka menjawab tidak serempak. Sari dan Navo saling menatap, karena sempat beredar berita, kalau Raksa adalah anak haram ayah Zoya. Raksa ingin diakui, sedangkan Zoya tidak mau mengakui, itulah berita yang sedang banyak dibicarakan.
"Gue pukul mau!" Zoya sudah sangat kesal mendengar kabar tersebut. Meskipun tidak merugikannya, tapi orang-orang terus menanyakan padanya, meskipun dia menjawab bukan.
"Cantik!" Panggil suara laki-laki dari arah pintu.
Itu adalah Gerald. Laki-laki itu biasa datang ke sekolah ini. Anak-anak lain langsung menyapanya, Gerald berjalan menghampiri Zoya. Panggilan 'Cantik' memang cocok untuk Zoya. Anak laki-laki lainnnya jadi iri, karena mereka tidak bisa memanggil Zoya dengan sebutan itu. Pengecualian saja untuk Gerald.
"Ngapain Lo ke sini? Mau lihat latihan basket?" Zoya heran dengan kedatangannya.
"Jemput kamu. Ayo, balik. Cuma latihan juga, pake dilihat!" Gerald bicara meremehkan dengan gaya songongnya.
Navo mendengarnya jadi kesal. Dia kembali berlari ke lapangan. Tidak mau terpancing emosi. Karena tahu, Gerald sengaja melakukannya.
Zoya sendiri agak bingung. "Kenapa gak ngomong dulu. Gue dah minta sopir jemput!"
Gerald mengulurkan tangannya meraih tangan Zoya. Menariknya untuk mengikutinya pergi dari sana. "Sopir udah gue minta balik. Tadi ketemu di gerbang. Yok, gue anterin kemanapun Lo mau!"
"Ih, tumben!" Zoya tertawa, suasana hatinya jadi membaik. Gerald memang teman yang paling asyik dan pengertian.
Tanpa mereka sadari, di tengah-tengah lapangan, Lander melihat keduanya pergi. Dia tidak menunjukkan ekspresi aneh, hanya saja pandangannya tidak bisa teralih saat melihat Zoya pergi dengan Gerald.
Di bangku penonton, Raksa malah jadi duduk berdua bersama Sari, menonton pertandingan. Sari senang mengobrol dengan Raksa. Selain anaknya sopan dan menyenangkan, Raksa juga tampan, enak dilihat. Tidak heran, para gadis mulai menjadikan target untuk di dapatkan.