Psikiater

1263 Words
Shana baru selesai meeting, dia langsung menjemput putri kesayangannya di kelas modeling. Dia akan mengajak Zoya ke toko milik temannya untuk mengambil pesanan kue. "Mama pesan kue apa?" Shana tidak terlalu ingat kue pesanannya. Dia hanya ingat memesan dua jenis kue, satu kue kering dan satunya lagi kue basah. "Entahlah, mama tadi agak terburu-buru saat memesannya!" "Lewat aplikasi?" "Enggak, lewat telepon dong. Soalnya yang punya toko itu teman mama. Mama minta dibuatkan yang spesial!" Shana kemudian ingat untuk menelpon suaminya. "Papa mungkin akan terkejut, saat pulang kita tidak ada di rumah. Tolong telepon papamu, nak!" Zoya menerima ponsel mamanya dan langsung mencari nomor papanya. Tapi setelah beberapa kali mencoba, nomor papanya tidak aktif. "Kayaknya papa masih sibuk. Lagi pula, kita kan juga bentar lagi sampai rumah!" Zoya menyimpan ponsel mamanya kembali ke tasnya. Shana menoleh pada Zoya, mengerutkan keningnya. "Memangnya tadi mama belum bilang ya, kita akan ke rumah sakit setelah mengambil kue!" "Hah, kenapa? Tahu gitu, mending Zoya pulang sendiri naik taksi!" Zoya tidak suka rumah sakit, jika bukan karena keadaan darurat, dia tidak akan ke tempat itu. "Mama udah terlanjur bikin janji sama dokter. Dia teman papamu, ingat papa bilang agar kamu ngobrol sama psikiater. Kamu udah janji loh!" Shana tahu sejak awal, Zoya memang agak keberatan dengan ide tersebut. Shana sudah sampai di toko kue. Dia sendirian masuk ke toko kue, karena Zoya memilih menunggu di dalam mobil. Gadis itu sedikit merajuk. Setelah itu mereka langsung ke rumah sakit, dokter sudah menunggu mereka. Ruangan khusus yang berada di lantai dua rumah sakit tersebut, memiliki suasana yang lebih sepi di bandingkan ruangan lainnnya. "Nona Zoe Pyralis, silakan masuk!" Perawat memangil nama Zoya, sedangkan Shana juga ikut masuk. Zoya berusia delapan belas tahun, tapi dia masih seorang siswi SMA, sehingga walinya juga harus ikut masuk demi kenyamanannya. Zoya melihat Dokter itu masih cukup muda, mungkin berada di awal tiga puluhan. Wanita dengan senyuman ramah itu sesekali melirik ke arahnya sembari membaca tentang hasil pemeriksaannya beberapa bulan lalu. "Namamu seperti tidak asing. Saat aku melihat profilmu, tenyata benar dugaanku, aku pernah melihat fotomu sebelumnya di majalah. Dari pada di foto, kamu jauh lebih cantik. Senang melihatmu, Zoya!" Dokter memulai obrolan, dia sebenarnya sudah mendapatkan banyak informasi tentang pasiennya dari ibu Pasien. Tapi pembicaraan langsung juga penting baginya, untuk mengamati kondisinya. Zoya terlihat cukup tenang. Dia bahkan berbicara dengan santai, seolah-olah mereka memang seorang teman. Membicarakan tentang sekolah, tentang teman-teman dan pelajarannya. Yang paling penting, dokter juga menanyakan pada Zoya tentang profesinya sebagai model muda. Dokter melirik pada Shana, dia butuh waktu pribadi bersama Zoya. Sehingga dengan sedikit permohonan, dia meminta pada Shana untuk menunggu di luar. "Mamamu membawa kue, ini pasti kue mahal. Rasanya sangat enak!" Dokter memakan kue yang tadi di bawa Shana. Mengambil potongan lainnnya, kemudian menaruhnya di hadapan Zoya. "Cicipi rasanya sangat enak!" "Tidak, aku tidak terlalu suka krim pada kue!" Zoya suka jika telah dimasukkan ke dalam kulkas, sehingga dalam keadaan dingin. Dia tidak terlalu suka, jika dimakan biasa seperti itu. Hingga akhirnya Zoya sadar, dokter itu mengamatinya. Mendorong kue itu, Zoya menatap mata dokternya. "Aku tidak tahu kue ini memang sengaja dibeli untuk mengamatiku!" "Bukan Zoya. Aku hanya ingin kamu lebih jujur. Seperti saat kamu menolak kue ini tadi. Reaksimu paling natural pada saat itu. Sedari tadi, kita memang membicarakan banyak hal, kamu mengatakannya seperti sedang mendongeng. Kamu memiliki kehidupan yang sangat baik. Tapi, jika kamu tidak bisa lebih terbuka padaku, aku tidak akan bisa membantumu!" Dokter sudah beberapa kali menangani anak remaja, tapi Zoya agak spesial. Zoya sangat pintar, dokter bisa melihat sikap dewasa dari anak itu. Bukan hanya itu, kehidupan Zoya juga terlalu sempurna. Anak itu menghadapi masalah kecil dengan sikap santai. Terlalu santai untuk anak diusianya. Dia juga telah melakukan beberapa tes kecil, Zoya tidak memiliki gangguan bipolar atau dugaan lainnya. Bahkan Zoya juga tidak memiliki gangguan terkait profesinya sebagai model, diusianya. Padahal anak itu bercerita pernah diganggu oleh seniornya. Pernah dikatakan terlalu berisi oleh pelatihnya. Tapi Zoya menyikapi semuanya dengan biasa saja. "Aku sudah jujur. Sudah kubilang, aku baik-baik saja!" Zoya tersenyum tipis melihat ekspresi dokter yang jadi serius. "Bagaimana dengan anak bernama Lander. Kenapa kamu tiba-tiba tidak menyukainya lagi? Padahal seharusnya menghilangkan perasaan yang sudah cukup lama itu sulit!" Dokter tadi sudah menanyakan tentang hubungan asmara, tapi dia kembali menanyakannya. "Entahlah, jantungku tidak berdebar-debar lagi untuknya. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tidak tahu kapan perasaan itu hilang!" Zoya mengatakan kejujuran lagi, hanya saja dia tidak menceritakan keseluruhan cerita kehidupannya. Akan sangat aneh, jika dia mengatakan tentang dia kembali ke masa remaja, setelah mendatangi pernikahan temannya dan Lander. Berpikir akan mati, tapi malah terbangun di waktu yang salah. "Apakah menurutmu dia masih sangat menarik?" Dokter mencurigai, kalau Zoya merasakan sakit memang karena trauma yang terus-menerus dialaminya, penolakan Lander, yang akhirnya membuat Zoya merasakan sakit. "Masih, dia unik. Sangat sulit untuk tidak bilang dia menarik!" Zoya melakukan kontak mata dengan dokternya. Dia ingin tahu apa yang akan Dokter itu katakan nanti tentang kondisinya. "Jika dia menikah dengan wanita lainnnya. Kamu akan ikhlas? Bayangkan suatu hari nanti dia duduk di pelaminan dengan seorang wanita yang kamu kenal. Apakah kamu masih akan baik-baik saja?" Dokter menyudutkan Zoya, agar bisa mengusik perasaannya, dan menunjukkan emosinya. Mengerutkan keningnya, Zoya agak kaget, dokter mengatakan semuanya dengan tepat. Tapi mengingat lagi, dia saat itu tidak merasakan perasaan apapun saat Luna dan Lander akan dipersatukan dalam pernikahan. "Aku ikhlas. Mungkin saat itu hatiku juga sudah mati. Bahkan aku sedikit berharap, pernikahan itu benar-benar terjadi. Aku akan duduk di kursi tamu menyaksikan Lander memulai hidup barunya!" Zoya membayangkan, jika Luna dan Lander jadi menikah. Mungkin keadaan aneh ini tidak menimpanya. "Meskipun kamu akan hidup sendirian?" "Iya, apakah dokter selesai?" Zoya agak terusik dengan pertanyaan terakhir. Dokter melihat perbedaan reaksi yang ditunjukkan Zoya. Tersenyum tipis, dia menemukan celah. "Kamu takut kesepian?" "Dokter juga pasti takut hidup sendirian. Semua orang takut dengan perasaan itu!" Zoya menjawab dengan serius. Dokter menghirup napas dalam, kemudian kembali merilekskan pikirannya. Muncul senyum di wajahnya. "Baiklah, sudah cukup untuk obralan saat ini. Kamu melakukannya dengan baik Zoya. Saya sangat terkesan dan bahagia bisa bertemu dengan kamu!" Zoya membalas dengan senyuman, dia akhirnya bisa keluar dari ruangan dokter tersebut. Saat keluar dari sana, dia melihat mamanya langsung datang menemuinya. "Sudah selesai? Kamu mau pelukan?" Shana memeluk putrinya. Dia tahu Zoya tidak suka datang ke tempat ini. Putrinya telah bekerja keras, dia mengusap punggungnya sayang. "Bu Shana, bisa bicara sebentar?" Dokter baru keluar ruangannya, melihat ibu dan anak sedang berpelukan. Shana meminta Zoya menunggu sebentar. Dia agak khawatir, tapi tetap meninggalkannya kembali masuk ke ruangan dokter. Dokter mengatakan pada Shana kalau Zoya masih tidak bisa terbuka. Dia menanyakan beberapa hal pada Shana, seperti apakah Zoya takut saat ditinggal di rumah sendirian, atau memiliki trauma sebelumnya. Karena terlihat sedikit rasa takut di matanya, saat dia menanyakan tentang perasaan kesepian. Shana tentu menjawab tidak. Meskipun anak tunggal, Zoya tidak pernah dibiarkan merasa kesepian. Selalu diajak saat mereka keluar negeri atau keluar kota. Semua waktu tercurah untuk Zoya di luar jam kerja mereka. Zoya juga memiliki banyak teman, sehingga tidak membiarkannya merasa sepi. Saat itu Shana mendapatkan pesan masuk di ponselnya. Dia membuka pesan tersebut, yang ternyata dari putrinya sendiri. Zoya mengatakan akan pulang sendiri, karena akan mampir ke mall untuk menonton film bersama teman-temannya. "Dia bersikap lebih tua dari usianya. Padahal biasanya anak tunggal cenderung manja. Jika ada waktu, mungkin kita bisa mengobrol lagi!" Dokter sudah bingung memikirkan kondisi Zoya. Tidak ada yang bisa dikaitkan dengan rasa sakit di perutnya yang tiba-tiba. Juga tidak ada masalah dengan kejiwaannya. Mentalnya baik-baik saja, karakternya juga baik untuk anak remaja seusianya yang memiliki kesibukan lain sebagai model.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD