Membicarakan masa depan

1092 Words
Mia hampir menghabiskan satu wadah popcorn, sedangkan Zoya pun sama. Keduanya menonton film, tapi tidak berhenti mengemil. Sedangkan Gerald dan Ariel berbeda dengan mereka. Keduanya menikmati cerita dalam film tersebut.  Mereka langsung keluar setelah pemutaran film selesai. Zoya juga langsung bilang pada yang lain untuk ke toilet. Ketiganya menunggu Zoya tidak jauh dari toilet, membicarakan tentang film yang baru mereka tonton.  "Lo lagi berantem sama Zoya?" Tanya Mia yang cukup peka, jika sedari tadi Gerald dan Zoya tidak saling bicara.  "Eh kenapa? Emangnya iya?" Ariel yang tidak terlalu memperhatikan jadi ikut kepo.  Gerald menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Kemudian menunduk melihat sepatu barunya yang sebenarnya tidak menarik. Dia hanya mencoba menghindari kontak mata dengan teman-temannya. Karena dirinya juga merasakan Zoya agak mendiamkannya, sedangkan dia tidak tahu apa alasannya. Mia tentu tidak langsung percaya. "Yakin? Gue gak mau ya, diantara kita ada yang berantem gak penting!" "Halah, kan yang sering ngambek siapa? Yang sering gak bales pesan siapa? Sok-sokan Lo!" Ariel malah balik menyerang Ariel. "Ih gue serius juga!" Mia tahu Ariel hanya menggodanya. "Iya Mia, iya!" Ariel mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala temannya itu.  Mia tidak bisa marah, meskipun masih agak kesal. "Kita kan bisa temenan, karena tinggal satu kompleks, sejak masih bocil juga udah sering maen bareng. Sayangnya kita beda sekolah. Semoga pas kita semua ini udah jadi orang dewasa yang sibuk, kita masih bisa temenan!"  "Agak sulit, setelah SMA gue mau ke tempat nenek gue. Kalian semua juga pada mau cari jati diri di luar negeri. Berpetualang, sampai akhirnya kita bertemu pasangan masing-masing!" Ariel membayangkan dengan senyuman merekah di bibirnya.  Gerald sedari tadi hanya diam. Dia kemudian melihat Zoya yang melangkah mendekat. Gadis itu masih pakai rok sekolah, tapi atasannya memakai Hoodie. Tapi karena memiliki tinggi yang melebihi anak-anak perempuan seusianya, Zoya tidak terlihat seperti anak sekolah.  "Zoya bakal tetep di Indonesia. Kita bisa kembali ke Indonesia untuk saling bertemu!" Gerald mengatakan dengan lirih, tapi semua pasti bisa mendengarnya.  "Iya, kita harus janji untuk pulang dan berkumpul nanti!" Ariel berseru semangat.  Zoya baru sampai, jadi dia tidak mengerti apa yang Ariel katakan. Dia hanya ikut tersenyum saja. Kemudian ikut berpelukan dengan Ariel dan Mia.  "Ayo, kita mau langsung balik, atau mau nongkrong dulu?" Gerald bertanya pada para gadis yang sedang berpelukan seperti Teletubbies. "Balik deh, gue ada PR. Kalo gak karena Lo ngajakin kita nonton, mana bisa gue keluar. Tugas gue banyak!" Ariel melihat jam tangannya, meskipun belum larut malam, tapi seharusnya hari ini cukup untuk bersenang-senang.  Mia menggandeng tangan Zoya. "Lo juga pasti capek kan? Pulang sekolah langsung ke kelas modeling, habis itu ke sini!"  Saat Mia mengatakan hal tersebut, tanpa sadar Zoya dan Gerald saling bertatapan. Keduanya sama-sama tahu yang sebenarnya, Zoya kabur saat jam pelajaran dan malah ke tempat Lander.  "Hem, sebenarnya tadi gue juga dari rumah sakit!" Zoya mengatakannya, karena tidak mau Gerald membahas tentang dia dan Lander di hadapan Mia dan Ariel.  "Hah, serius?" Mia langsung merespon heboh.  "Inget kan yang gue sakit perut, tapi sebenarnya gak ditemukan masalah dengan perut gue. Saat itu dokter menyarankan agar gue konsultasi ke psikiater. Makanya, nyokap gue hari ini ajak ke gue ketemu dokter itu!"  Melihat teman-temannya menyimak dengan serius, Zoya tersenyum, kemudian melanjutkan ceritanya. "Dokter itu juga kayaknya gak nemuin masalahnya. Gue juga merasa baik-baik aja kok!" Zoya melewatkan kenyataan, kalau tadi dia sempat merasakan sakit lagi, pas di tempat Lander. Mia, Ariel dan Gerald tidak menyahut. Sebenarnya karena mereka berharap psikiater bisa menemukan masalahnya. Jika tanpa masalah, maka hanya akan membingungkan dan membuat khawatir.  Setelah sampai di parkiran, Mia langsung masuk ke mobil Ariel. Sedangkan Zoya diajak untuk pulang bersamanya. Tapi Zoya menolak dengan bilang ingin pulang bersama Mia dan Ariel saja.  Zoya tidak bermaksud melukai perasaan Gerald, dia hanya sedikit berkonflik dengan pikirannya, setelah melihat bagaimana Gerald memperingatkan Lander di tempat kelas modeling siang tadi. Meskipun Gerald sudah seperti kakaknya sendiri, tapi dia merasa apa yang dilakukan Gerald tadi agak berlebihan, dan seperti bukan Gerald yang biasanya.  "Dadah, Gerald!" Mia melambaikan tangannya. — Zoya diantarkan sampai depan pagar rumahnya, saat itu Raksa juga baru keluar dari pagar rumahnya sendiri. Bisa ditebak, kalau laki-laki itu berniat akan ke rumah Zoya.  "Kalian habis dari mana?" tanya Raksa sambil memperhatikan penampilan Zoya, terlihat jelas gadis itu belum pulang sejak tadi.  "Nonton, Lo udah makan belum?" Zoya menggandeng lengan Raksa sambil berjalan masuk ke halaman rumah.  Raksa dan Zoya baru beberapa bulan saling kenal, tapi keduanya sudah saling memahami. Zoya menyayangi tetangga barunya seperti saudara sendiri. Mungkin karena Raksa terlalu sering minta makan ke rumahnya, sehingga membuatnya merasakan kepedulian lebih.  Raksa juga laki-laki yang bijak. Dia tidak banyak mencampuri urusan Zoya, meskipun selalu berada di sisinya. Hanya menjaganya, seperti saudara. — "Gimana sih Lo, baru juga sebentar!" Zoya mengomel, Raksa memiliki postur yang bagus, badannya tidak kurus tapi juga tidak gemuk. Tapi push up saja tidak kuat lama.  "Lo sebelum ini pernah pergi ke tempat Gym, gak?" Zoya memberikan minuman s**u protein miliknya untuk Raksa.  Raksa sudah sakit-sakitan sejak kecil, dia bahkan lebih banyak berada di rumah sakit, dari pada di luar. Jikapun ingin berada di luar, biasanya dia mengunjungi galeri seni. Tidak pernah terpikirkan untuk ke tempat olahraga.  "Belum!" "Kalau begitu buat janji aja sama mama gue. Sekalian temenin dia olahraga, Lo juga bisa diajarin teknik yang benernya nanti!" Zoya menyarankan, karena dibandingkan dirinya, mamanya lebih sering memakai tempat gym di rumah ini. Sedangkan dia lebih suka olahraga di kamarnya sendiri. Raksa bisa langsung membayangkan di kepalanya. Shana memang baik, tapi cukup tegas. Dia bisa banyak diomeli jika berolahraga bersamanya. "Aku akan membuat janji dengan Gerald saja. Dia memiliki badan yang bagus, rutin ke gym dan dia kan atlet basket juga seperti Lander!"  "Gerald tidak akan mau. Jangan bilang tentang basket juga, dia hanya main basket saat bosan!" Zoya sangat mengenal Gerald. Jadi sudah tahu laki-laki itu pasti akan menolak.  Mengingat tentang Gerald, dia jadi kembali ingat dengan kejadian siang tadi. Dia sedikit takut dengan pikirannya sendiri. Apakah Gerald memiliki perasaan terhadapnya? Tapi itu tidak mungkin. "Gerald akan berkuliah di luar negeri. Dia akan jadi orang yang berbeda nanti!" Zoya tersenyum mengingat bagaimana nanti dia mendengar nama Gerald sebagai seorang fotografer profesional.  Raksa mengerutkan keningnya, lagi-lagi Zoya seakan-akan tahu tentang masa depan. "Kalau kamu? Kamu mungkin akan jadi model terkenal!"  "Tentu saja!" jawab Zoya percaya diri.  Raksa tersenyum gemas dengan gadis cantik di depannya. "Baiklah. Tolong tetap semangat seperti ini apapun yang terjadi nanti!" bisiknya lirih, tapi Zoya tidak mendengarnya. Karena gadis itu sudah kembali menutup telinganya dengan earphone.  Dia berharap, Zoya dan Shana bisa melewati semuanya dengan baik. "Sebentar lagi, saat yang menyakitkan itu akan tiba!" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD