Bisa memasak

1231 Words
Zoya pikir Tisa yang akan datang membawa materi pelajaran hari ini. Tapi yang datang malah Lander. Sungguh, Zoya pikir setidaknya meskipun tidak bisa keluar rumah, ada hal baik yang bisa dia syukuri, yaitu tidak perlu melihat Lander di kelas. "Kalian tidak akan bertengkar lagi bukan?" Shana datang ke kamar putrinya, melihat kedua orang di dalam sana masih dalam suasana tegang. "Mama ada urusan di luar. Zoya kamu dengar mama kan? Lander sudah datang dan menyempatkan waktunya untuk membantumu belajar, bersikap lah baik padanya!" Zoya cemberut kesal mendengar peringatan dari mamanya. Jika saja mamanya tahu, putrinya pernah tertusuk pisau tepat di dadanya karena laki-laki itu. Dan membuatnya kembali ke masa ini. Bisakah mamanya masih menaruh rasa hormat seperti itu. "Pergilah setelah mobil mama gue keluar. Gue bisa belajar ini sendiri. Nanti malam gue akan minta sopir anter buku Lo!" Zoya tidak mungkin bisa tahan satu ruangan dengan laki-laki ambisius yang menyebalkan itu. "Lo kira gue mau di sini. Seharusnya gue belajar untuk olimpiade yang sudah tinggal beberapa hari lagi. Karena Lo, gue jadi buang-buang waktu!" Lander menjawab dengan ekspresi muak terpampang jelas di wajahnya. Zoya pikir Lander akan segera pergi, tapi laki-laki itu malah memasang earphone di telinganya dan merebahkan badannya di atas tempat tidurnya. Tidak ada kesopanan, laki-laki itu sudah seperti di rumahnya sendiri. Tidak mau dipusingkan dengan keberadaan laki-laki itu. Zoya dapat menyelesaikan beberapa soal dengan mudah dan menyelesaikan tugas lainnya. Dia juga sempat bertelepon dengan Tisa. Sudah lebih dari dua jam, Zoya baru selesai dan akhirnya bisa ikut merebahkan punggungnya di atas karpet berbulu. Membayangkan bagaimana teman-temannya yang lain mungkin sedang berlatih di kelas modeling. Zoya berhasil membuat pelatihnya terpukau dan sangat mendukungnya untuk naik ke panggung catwalk sebulan lagi. Karena dia sudah jauh di atas teman-temannya yang bahkan sudah mengikuti kelas modeling sejak sekolah menengah. Menimbulkan banyak kecemburuan, dan sekarang dia yakin teman-temannya di kelas modeling sangat senang dengan ketidakhadirannya.  Melihat tiang di bagian pojok kamar, Zoya juga sudah dua hari tidak melatih tubuhnya bermain-main pada tiang itu. Menari tiang dapat melenturkan badannya yang masih kaku. Dia menggunakan metode tersebut, agar tubuh lebih kuat dan juga didukung oleh olahraga lainnnya. Sungguh usaha yang cukup keras, karena dia ingin bisa segera debut menjadi model. Bahkan dia juga berenang agar bisa menambah tinggi badannya. Seingatnya, tubuh dewasanya bisa lebih tinggi dari sekarang, jadi dia berusaha lebih keras untuk mempercepat proses mempersiapkan tubuhnya agar terlihat proporsional. "Laki-laki itu tertidur pulas, tidakkah dia ingat ini bukan rumahnya?" Zoya menegakkan badannya, melirik tajam pada sosok laki-laki yang terbaring di atas tempat tidurnya. Tidak tahu kenapa semuanya jadi berubah, dan berbeda jauh dengan kisah sebelumnya. Lander seharusnya tetap mengabaikannya dan tidak memperdulikannya. Kemudian mereka akan berpisah dan tidak akan bertemu lagi setelah lulus sekolah. Itulah yang seharusnya terjadi. Merasa lapar, Zoya mengambil tongkat untuk membantunya berjalan. Dia tahu kalau tidak bisa menggunakan kakinya yang cidera, agar tidak menghambat penyembuhannya. Itulah kenapa dia menurut dengan keputusan mamanya yang tidak mengizinkannya keluar rumah. Rumah besar itu sangat sepi, mamanya belum kembali. Dan tidak ada pelayan, hanya ada satpam yang berjaga di depan. Dia belum pernah mencoba turun ke bawah, selama ini makanan selalu diantarkan mamanya ke kamar. Bahkan bisa bilang ini kali pertama dia keluar kamar dengan kaki pincang dan tongkat penyangga. "Gue harus naik lift, tapi liftnya kan rusak!" Zoya hanya dapat mengeluh dan mencoba menuruni tangga dengan hati-hati. "Coba aja tadi yang datang itu Tisa!" Zoya menoleh lagi pada pintu kamarnya yang terbuka. Satu langkah turun, Zoya pikir tidak terlalu sulit. Dia hanya perlu berpegangan pada pegangan tangga. jadi dia tidak membutuhkan tongkat, karena membawanya juga menimbulkan kesulitan padanya untuk menuruni tangga. Melemparkan tongkat itu agar meluncur menuruni tangga, hingga menimbulkan suara berisik. Dia membutuhkan tongkat itu nanti begitu sampai di bawah sana. Dia telah berhasil menuruni tiga anak tangga. Tapi ternyata sudah agak melelahkan. Dia melanjutkan langkahnya lagi, tapi saat itu kakinya hampir tergelincir. Beruntung, dia berpegang kuat dengan pegangan tangga. "Lo sedang adu nyali? Menaklukkan tantangan?" Lander berdiri di ujung tangga dengan ekspresi buruk. Zoya mengabaikannya, Lander bisa mengejeknya, dia tidak terlalu peduli. Anggap saja dia sedang mendengar hantu. Melanjutkan langkahnya, dia berhasil melewati anak tangga selanjutnya. "Kemungkinan gegar otak cukup tinggi, kalo sampek jatoh dari atas sini. Tiga meter lagi, mungkin Lo bukan hanya akan mencedarai kaki, bisa juga tangan!" Lander ikut melangkah turun menyusul langkah Zoya. "Bawel. Gak usah banyak omong, kalo gak mau bantu!" Zoya tahu Lander tidak menyukainya, dia juga tidak menyukainya, tapi tidak kah hati nuraninya tergerak untuk membantu. Benar-benar terlalu angkuh dan sombong. Belum selesai Zoya mengeluhkan tentang kesombongan Lander, tubuhnya sudah terangkat di gendongan laki-laki itu. Dia ingin memintanya menurunkannya, tapi melihat ekspresi datar di wajahnya, Zoya tidak jadi memberontak. Setidaknya, dia tidak perlu kerepotan untuk turun. "Kemana?" "Hah?" Zoya linglung. "Lo mau kemana?" Lander mengatakannya dengan sedikit ketus. "Dapur!" Zoya juga menjawab dengan nada kesal. "Merepotkan, udah tahu pincang. Masih juga mau berkeliaran!" Lander menundukkan wajahnya, dan saat merasa wajah mereka berada terlalu dekat, dia meluruskan pandangannya ke depan lagi. Masih dengan mengomel. Zoya sangat ingin mengigit bibir laki-laki itu. Bisa-bisanya berkata kasar seperti itu padanya. Lagi pula, dia juga tidak ingin meminta bantuannya. Yang membuatnya seperti ini juga laki-laki itu. "Gue laper!" "Tahan sampek mama Lo balik. Gitu aja gak bisa!" Zoya benar-benar tidak tahan, dia ingin mengigit leher laki-laki itu. Tapi Lander tidak mungkin tergigit untuk kedua kalinya. Saat di sekolah waktu itu, dia masih sangat ingat rasa sakitnya. Jadi saat Zoya mendekatkan wajahnya pada lehernya, dia langsung menundukkan kepalanya seolah-olah akan mengigit juga dengan menunjukkan Gigi taringnya. "Jangan macam-macam, gue bisa gigit lebih baik dari Lo!" Lander mengancam. Wajah keduanya berada sangat dekat. Sejengkal lagi bibir mereka bahkan bisa bersentuhan. Setiap embusan napas bisa mereka rasakan. Awalnya mereka sama-sama menunjukkan kemarahan, tapi setelah sadar kalau posisi mereka sangat ambigu, keduanya jadi memerah dan buru-buru memalingkan wajah. "Dapur Lo gede banget. Tangan gue sampek pegel!" Lander menurunkan Zoya di kursi dekat pantry. Dia meregangkan otot-otot tangan setelahnya. Membawa Zoya di tangannya dari anak tangga teratas hingga mencapai dapur cukup jauh, karena setiap ruangan di rumah itu sangat luas. "Tongkat gue masih tertinggal di tangga bawah!" Zoya hendak mengambil makanan, tapi dia tidak leluasa tanpa tongkat. Menghirup napas panjang, Lander tahu gadis itu memang sangat merepotkan. "Duduklah saja, gue bakal bantu ambilin apa yang Lo mau!" Zoya agak bingung, dia merasa canggung dan tidak nyaman. Tapi tidak ada pilihan lain. "Ada roti di sana, di kulkas juga ada daging asap!" Lander mengerutkan keningnya, "Lo cuma makan kayak gitu?" "Ya apa yang Lo harapin. Mama gue gak nyisahin makanan. Pesen grab juga lama gak mungkin gue makan camilan, itu gak ngenyangin!" Zoya juga tidak mungkin memasak. Dia sudah sangat lapar. Menguras otak membuat perutnya mudah lapar. Lander tidak mengatakan apapun. Dia langsung pergi menuju kulkas. Mengetuk pintu kulkas, dan langsung terlihat isi di dalamnya. Lander membuka kulkas tersebut, dia berniat mencari daging asap yang dibicarakan Zoya. Tapi matanya melihat ada banyak bahan masakan. Perutnya juga sedikit lapar, dia memutuskan memasak untuk dia dan Zoya. Melihat Lander mengeluarkan beberapa bahan masakan, sayur, daging dan juga bahan lainnya, Zoya mengerutkan kening. "Apa yang akan Lo lakuin?" Lander tidak merespon, dia hanya tetap sibuk dengan tujuannya. Yah, seperti itulah sikap Lander pada Zoya selama ini. Dia seharusnya tetap mengabaikan Zoya seperti sebelumnya. "Lo mau masak? Lo bisa masak?" Zoya tidak tahu tentang hal tersebut, karena dia tidak pernah memiliki kesempatan melihat Lander memasak di kehidupan sebelumnya. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD