Zoya biasa melihat ada bullying di sekolahnya, tapi biasanya hanya secara verbal, karena kasusnya belum sampai ke tahap kekerasan. Tapi, dia agak terkejut saat melihat bullying yang jauh dari apa yang dia ketahui.
Awalnya dia pulang sepuluh menit lebih lambat dari teman sekelasnya. Karena ada tugas akibat cuti kemarin. Tapi sesuatu menarik perhatiannya, dia hanya sedang menunggu sopir menjemputnya, tapi tiba-tiba mendengar suara ramai dari arah belakang gedung sekolah. Gedung yang paling dekat dengan gerbang sekolahnya.
Dia mengenali orang yang sedang dipukuli tersebut, tapi dia tidak berani melerai. Karena dia hanya sendirian. Bahkan tangannya gemetar dan kakinya tidak bisa beranjak dari sana.
"Gue harus gimana?" Zoya bisa mendengar suara rintihan, membuat jantungnya berdegup kencang, bahkan dia mulai berkeringat.
Mengeluarkan pena dari tasnya, Zoya tidak yakin apakah itu bisa disebut sebagai senjata. Tapi dia menggenggam erat pena tersebut. Sungguh, dia ingin berpura-pura tidak melihatnya, tapi sudah terlanjur melihat.
"Lo mau apa begok?" bisik seseorang yang menarik Zoya menjauh dari sana.
Zoya melihat yang menariknya adalah Sari. Wanita itu adalah wakil ketua OSIS, sebelum nantinya ada pergantian, Sari yang memegang tanggung jawab.
"Lo harus panggil guru. Ada yang berkelahi di sana!"
"Lo siapa nyuruh-nyuruh gue. Dan mending gak usah sok jadi pahlawan. Karena Lo gak akan bisa melakukan apapun!" Sari memperingatkan Zoya, dia bahkan menekankan setiap kata yang diucapkannya. Setelahnya dia berbalik pergi.
"Tunggu, Lo jangan lepas tanggung jawab dong!" Zoya berusaha mengejar langkah Sari dan menahannya. Wanita yang beberapa hari lalu berkelahi dengannya itu mungkin membencinya. Dia tidak peduli, tapi apa yang terjadi di sana tadi adalah tanggung jawab Sari. Setidaknya Sari bisa mengancam mereka dengan jabatan yang dimilikinya.
Sari berbalik, dan manatap malas pada Zoya. Wanita yang kini memiliki poni dan kacamata bertengger di hidungnya itu terlihat kesal. "Lo mau apa, hah? Apa yang Lo liat barusan bukan pertama kali. Mungkin Lo gak tahu karena sibuk mencari perhatian Lander, tapi gue kasih tahu ke Lo, ikut campur urusan orang juga bisa disebut mengganggu!"
"Jadi selama ini Lo tahu ada hal seperti ini di sekolah, tapi diem aja?" Zoya masih ingat laki-laki tadi sampai berdarah-darah. Bagaimana mungkin pihak sekolah tidak mengetahui hal seperti ini terjadi di sekolah?
"Gue bisa jamin, laki-laki yang dipukuli tadi pasti melakukan kesalahan. Dan setelah dipukuli sampai mereka puas, laki-laki itu akan ditinggalkan. Jadi mending Lo gak usah ikut campur apa yang gak Lo ketahui. Karena Lo gak tahu apapun!" Sari benar-benar pergi kali ini, setelah mengatakannya.
Zoya masih tidak bisa menerimanya. Kenapa tidak ada yang coba menghentikan hal seperti itu? Tapi dirinya sendiri juga tidak berani. Berjalan kembali ke tempat tadi, Zoya tidak lagi mendengar suara ramai. Dan saat sampai di sana, dia melihat laki-laki dengan noda darah di bajunya itu sedang duduk diam dengan kepala tertunduk.
"Alam, nama Lo Alam kan? Temen sekelas gue?" Zoya berjongkok di depannya dengan sedikit takut. Ini pertama kali dalam hidupnya melihat orang dipukuli sampai berdarah.
Zoya pikir mungkin laki-laki itu tidak sadarkan diri, saat tangannya terulur hendak menyentuh kepalanya, ada tangan yang tiba-tiba menangkap tangannya tersebut. Dia takut, meskipun tahu laki-laki itu adalah teman sekelasnya, tapi mereka tidak akrab. Tentu saja dia takut.
"Setidaknya kamu ingat namaku!" Alam tersenyum, sayangnya Zoya tidak bisa melihat senyum itu, karena wajahnya masih tertunduk.
"Lepasin!" Zoya mencoba melepaskan tangannya, tapi laki-laki itu menggenggamnya erat.
"Kenapa kamu harus melihatku dalam keadaan ini?" Alam bertanya lirih, dari suaranya menunjukkan ke-frustasian.
Zoya tidak tahu bagaimana meresponnya. Dia melihat sekitar, benar-benar tidak ada siapapun untuk dimintai tolong. Dia bisa saja pergi dengan beralasan sopirnya sidak menjemput, tapi setelah mendatanginya, mana mungkin dia pergi begitu saja dan berpura-pura tidak peduli.
"Kenapa, Zoya?" Alam mengangkat pandangannya, dan barulah saat itu tatapan mereka bertemu.
Lagi, Alam terpesona dengan kecantikan gadis di hadapannya. Begitu indah, bahkan saat terlihat ketakutan sekalipun. "Kamu takut karena darah ini?"
Zoya tidak memikirkan darah atau apapun. Dia hanya merasa agak gemetar. Alam terlihat penuh luka lebam pada wajahnya, dan ada noda darah di seragamnya. Yang membuatnya takut adalah cara Alam menatapnya. Juga, laki-laki itu belum melepaskan tangannya.
"Seharusnya kamu berpura-pura tidak melihatnya. Kenapa kamu malah datang menghampiriku?" Alam menarik tangan Zoya hingga Zoya terduduk di tanah. Kemudian dia jatuh pingsan di pangkuannya.
Angin yang berhembus menjadi saksi, Zoya menangis ketakutan. Dia menahan suaranya, sambil buru-buru mengambil ponsel dari tasnya. Mencoba menghubungi sopirnya. Karena dia juga yakin, saat ini sopirnya pasti juga telah bingung menunggunya di depan gerbang.
Dibantu oleh sopirnya, Zoya membawa Alam ke rumah sakit. Dia menyelesaikan p********n biaya rumah sakitnya. Menunggu di depan ruangan rawatnya. Padahal bisa saja dia menunggu di dalam, karena dia memilih ruangan kelas satu.
"Non, keluarga laki-laki itu baru saja tiba!" Sopirnya memberitahukan pada nonanya.
"Baguslah, artinya kita bisa pergi setelah ini. Aku harus ikut kelas modeling!" Zoya melihat jam tangannya, itu hampir pukul tiga sore. Kelasnya akan berakhir pukul lima sore.
Zoya berhasil menghubungi keluarga Alam, dengan mencari di kontak telepon di ponsel Alam. Beruntung ponsel itu tidak dikunci, kalau tidak bagaimana caranya dia menghubungi keluarga Alam.
"Masuk saja, Buk!" Zoya melihat kepanikan dan kebingungan di wajah wanita itu. Dia merasa kasihan, apalagi melihat wajah ibu itu seperti menahan tangis.
Zoya akan berpamitan pada ibu itu sebelum pergi. Dan mengatakan kalau biaya rumah sakitnya telah dibayar. Tapi saat membuka pintu, dia melihat ibu tadi memukuli badan anaknya. Padahal anaknya bahkan belum sadarkan diri.
"Nona sebaiknya menunggu di mobil, saya akan menangani ini!" Sopir Zoya mengerti kalau nonanya terkejut. Dia yakin, nonanya belum pernah melihat orangtua yang memukuli anaknya sendiri.
Zoya terlalu terkejut dan takut. Dia menuruti ucapan sopirnya. Berjalan dengan pikiran linglung menuju pintu keluar. Dia pikir ibu itu akan menangis begitu melihat keadaan anaknya, tapi yang dia lihat ibu itu terlihat marah.
Menunggu sopirnya di mobil, Zoya agak khawatir. Dia bahkan tidak bisa duduk dengan tenang. Saat itu ada telepon masuk dari Mia, dia tidak mengangkatnya. Karena saat ini perasaannya sedang kacau.
Menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya sopirnya datang. Zoya langsung menanyakan apa yang terjadi pada sopirnya.
"Ibu itu marah, karena khawatir dengan anaknya. Ternyata sudah beberapa kali anak itu pulang dalam keadaan luka-luka. Mereka orang miskin, jangankan untuk makan, untuk biaya sekolah anak-anak sangat berat. Jadi ibu tadi juga kecewa, karena bukannya sekolah dengan benar, anaknya malah sering membuat masalah di sekolah! Nona jangan khawatir, saya juga sudah menjelaskan pada ibu itu, kalau nona telah membayar biaya pengobatannya dan akan membayar tagihan lainnya di rumah sakit tersebut!"
Zoya hanya diam saja. Dia malah jadi ingat dengan ucapan Sari. Yang dikatakannya tidak salah, dia memang tidak tahu apapun.