Saat itu jam istirahat, Zoya diminta datang ke kantor guru bersama anak-anak yang akan ikut seleksi, untuk mewakili sekolah dalam olimpiade bahasa Inggris. Teguh dengan keputusannya, Zoya sama sekali tidak serius dalam mengerjakan ujiannya.
Setelah selesai mengerjakan ujian, semua anak diminta berkumpul di sebuah ruangan bersama anak-anak lain yang memang sudah terpilih untuk mewakili sekolah dalam olimpiade di mata pelajaran lainnya.
"Zoya, Lo pasti yang kepilih!" ujar temannya yang ikut mengerjakan ujian bersama Zoya tadi. Karena dia telah melakukan sedikit kesalahan pada ujiannya, merasa gagal dan berpikir Zoya lah yang paling pandai diantara anak-anak lain yang ikut ujian seleksi.
Zoya menanggapi dengan senyuman. Siswi perempuan yang mengajaknya bicara itu adalah teman dari kelas lain. Zoya pernah mendengar anak itu cukup pintar juga. Melihat bagaimana tadi anak itu sangat serius mengerjakan ujiannya, Zoya tahu anak itu pasti sangat berharap terpilih.
"Kamu mau tahu rahasia?" bisik Zoya pada temannya itu.
"Apa?"
Zoya melihat temannya itu malah terfokus pada bibirnya. Yah, baik perempuan maupun laki-laki, mereka selalu secara terang-terangan memperhatikan penampilannya, bahkan bagian tubuhnya tanpa rasa canggung. Padahal seharusnya mereka tahu tindakan seperti itu terlalu kasar dan tidak sopan.
"Kamu harusnya melihat pada mataku!" tegur Zoya dengan candaan, tidak ingin membuat percakapan mereka jadi canggung karena tegurannya.
"Hahha, maaf! Zoya kamu memiliki bibir yang penuh. Hei, apakah kamu memakai lipstik?" Pertanyaan seperti itu biasa ditanyakan antara sesama wanita. Asalkan tidak dengan niat menyinggung, tidak akan masalah menanyakan soal riasan pada seorang teman.
Tertawa pelan, Zoya memukul pelan bahu temannya itu. Menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Tapi Zoya benar-benar merasa lucu dengan keingintahuan temannya itu tentang bibirnya.
"Kamu membuatku lupa ingin mengatakan apa tadi!" Zoya pikir anak perempuan itu tidak tertarik dengan rahasia yang ingin dia beritahukan. Dia juga tidak ingin melanjutkan topik tentang bibirnya.
"Eh, jangan begitu. Kamu tadi bicara tentang rahasia. Katakan, apa kamu sebenarnya sudah tahu kalau guru akan memilihmu?" Sebenarnya dia tidak heran jika guru memilih Zoya, karena anak-anak lain pun tahu Zoya sangat pandai dalam bahasa Inggris. Zoya sudah bersekolah di sekolah internasional sejak masih anak-anak. Jelas bahasa Inggrisnya jago.
Menggeleng, Zoya kemudian mengatakannya, "Aku tidak mengerjakan ujian tertulisnya, meskipun ujian lisannya mungkin aku mendapatkan nilai cukup bagus, tapi tenang saja. Kamu pasti mendapatkan nilai lebih tinggi dariku!"
Anak perempuan itu melongo tak percaya. Tapi dia tahu Zoya tidak berbohong. Karena meskipun Zoya adalah orang yang agak arogan, tapi dia belum pernah mendengar Zoya mempermainkan orang. Mengerutkan keningnya, tidak bisa berkata-kata dan hanya memandangi ekspresi wajah Zoya.
Zoya tahu dirinya telah melewatkan kesempatan untuk meraih prestasi. Tapi, dirinya telah memilih untuk mengejar sesuatu yang lain. Tidak masalah kehilangan satu, jika dia hendak meraih yang lainnnya. Itu yang dikatakan papanya pagi tadi.
Saat itu beberapa guru pembimbing masuk ke ruangan. Mereka menyapa anak-anak dan meminta mereka kembali duduk dengan tenang. Saat itu guru bahasa Inggris membacakan nilai-nilai dari anak-anak yang mengikuti seleksi untuk olimpiade bahasa Inggris.
Zoya mendapatkan nilai terendah, karena sama sekali tidak mengerjakan ujian tertulisnya. Saat itu anak-anak pun tahu tanpa menanyakannya, tidak mungkin Zoya tidak bisa mengerjakan satu soal pun, kecuali jika itu sengaja dilakukannya.
"Bukankah sangat mengejutkan? Lo melakukan ini untuk menarik banyak perhatian?" bisik seseorang di belakang Zoya.
Zoya menoleh ke belakang, dan melihat Lander berdiri di belakangnya. Tidak tahu sudah sejak kapan laki-laki itu ada di dekatnya. Karena tadi saat awal masuk, dia melihat Lander ada di barisan depan bersama anak-anak lainnnya.
"Lo bisa berpikir apapun. Terserah!" Zoya melebarkan senyumnya. Dulu saat dia berusaha keras untuk mencari perhatian Lander, laki-laki itu enggan melihat padanya, bahkan cenderung mengabaikannya. Tapi saat dia tidak lagi menyukainya, laki-laki itu malah mendekat.
Lander menyuarakan decakan atas jawaban Zoya. Dia memegang kedua bahu Zoya dan membungkukkan tubuhnya, untuk berbisik di telinga Zoya. "Katakan, hutang apa yang pernah Lo bilang waktu itu. Kata itu sangat mengganggu pikiran gue, karena seumur hidup gue, gue gak pernah ngerasa memiliki hutang, apalagi sama orang kayak Lo!"
"Orang kayak gue itu kayak apa?" Zoya sedikit merasa tersinggung, meskipun dia sangat paham Lander memang memiliki lidah yang tajam dan sangat menyebalkan. Agak membingungkan, bagaimana di kehidupan sebelumnya dia sangat mengaguminya dan bahkan datang ke pernikahannya hanya untuk membuktikan apakah dia akan merasa terluka karena ditinggal nikah olehnya.
"Ah terserah!" Zoya sudah tidak berminat melanjutkan pertengkaran. Dia menoleh dan menatap tajam pada laki-laki di itu. "Lo hutang nyawa ke gue! Sekarang jauh-jauh dari hidup gue, karena Lo gak akan mampu bayar hutang itu!"
Lander sudah akan membuka mulutnya untuk bicara, saat ada guru baru saja memanggilnya.
"Gading Lander Paciano! Kembali duduk ke tempatmu. Kenapa kamu mengganggu nona Zoe? berhenti menggodanya dan dengarkan arahan dari guru pembimbingmu!" tegur salah satu guru yang membuat anak-anak lain di ruangan itu jadi tertawa. Mereka pikir selama ini Zoya yang selalu mendekati Lander dan menggodanya, tapi sekarang terlihat sebaliknya akibat perkataan guru itu.
Zoya dan teman-teman yang tidak lolos seleksi juga langsung diminta keluar. Karena anak-anak yang telah terpilih mewakili sekolah akan langsung mendapatkan bimbingan belajar.
"Zoya tunggu!" Saat itu guru bahasa Inggris Zoya masih belum melepaskan Zoya, karena harapan besarnya.
Zoya tahu gurunya pasti bertanya-tanya tentang ujian tadi. Dia juga telah bicara dengan papanya, papanya menyuruhnya bicara dengan guru bahasa Inggrisnya, agar meminta maaf atas keputusannya yang mungkin telah mengecewakannya begitu besar.
Guru itu menanyakan beberapa hal. Hingga akhirnya mau mengerti kalau Zoya memang tidak berminat dalam olimpiade tersebut. "Baiklah, tapi jika ada waktu, bantu temanmu yang terpilih untuk olimpiade. Karena kamu memiliki banyak pengalaman tentang memenangkan olimpiade sebelumnya!"
Zoya tersenyum, dia tahu guru itu sedang menggodanya untuk mengurangi suasana canggung diantara mereka. Sangat senang melihat bagaimana guru itu menghormati keputusannya. "Zoya akan berusaha. Ibu tidak perlu khawatir!"
Begitulah semua kegelisahan Zoya akhirnya berkahir. Dia akan mulai kelas modelingnya Minggu depan. Papanya akan mendaftarkannya, dan mendukung penuh segala kebutuhannya terkait tentang pilihannya tersebut.
Tisa saat itu langsung mengomel begitu mendengar Zoya tidak menjadi perwakilan sekolah dalam olimpiade. Karena Tisa tahu kemampuan Zoya dengan sangat baik, merasa sangat tidak setuju jika bukan Zoya yang menjadi perwakilan sekolah.
"Lo kenapa sih Zoya? Bahkan anak-anak lain juga tahu kalau harusnya Lo yang berangkat untuk perwakilan sekolah. Pasti ada yang tidak adil, lo dicurangi?" Tisa tidak bisa percaya saat Zoya mengatakan dia mendapatkan nilai nol dalam ujian tertulis.
"Apa sih Tisa? Ngawur aja Lo mah. Udah sih, orang gue juga biasa aja. Males capek gue!" Zoya tidak mengatakan tentang alasannya pada gurunya ataupun temannya, bahkan teman dekatnya, Tisa. Kalau dia akan mengikuti kelas modeling dan serius dalam bidang tersebut.
Di meja lain, Alam mendengarkan percakapan Zoya dan Tisa. Dia juga sudah mendengar kalau Zoya tidak terpilih menjadi perwakilan sekolah. Agak membuatnya penasaran, dia memperhatikan bagaimana Zoya terlihat santai tanpa tekanan. Memperlihatkan kalau gadis itu baik-baik saja dengan apa yang terjadi.
Tidak berani menyapanya lebih dulu, Alam hanya bisa selalu memperhatikan dari kejauhan. Sama seperti anak laki-laki lainnnya yang mengagumi kecantikan Zoya.
Alam adalah anak laki-laki dari orangua tunggal, karena ayahnya meninggal saat bertugas menjadi pilot sebuah maskapai penerbangan, ketika usianya masih kecil. Sejak saat itu dia melihat bagaimana ibunya yang bekerja di bank swasta bekerja keras menghidupi dia dan kedua adiknya. Alam mengagumi ibunya sebagai wanita terhebat dalam hidupnya, tapi kini dia juga mulai memperhatikan wanita hebat lainnnya. Zoe Pyralis.
Sebenarnya Alam tahu Zoya menyukai Lander. Karena dia melihat sendiri bagaimana Zoya selalu menunjukkan perhatiannya pada laki-laki ambisius di kelasnya itu. Melihat bagaimana Zoya selalu diperlakukan tidak baik oleh Lander, dia merasa marah. Jika saja dia lebih tampan dan lebih pintar dari Lander, tentu memukulnya dan merebut perhatian Zoya adalah hal yang akan dilakukan. Sayangnya, dia terlalu biasa saja.
"Zoya, temen-temen Lo nungguin lo di kantin!" teriak seseorang dari pintu kelas.
Zoya mengangguk saja, dia sudah tahu teman yang dimaksudkan. Yaitu Gerald, Mia dan Ariel. Mereka bukan teman satu sekolahnya, tapi dari sekolah lain. Berbeda dengan Tisa yang adalah temannya dari lama dan akan menjadi temannya sampai dia menjadi wanita dewasa nantinya, selalu di dekatnya dan berbagi kisah dengannya. Ketiga temannya tersebut akan pergi ke luar negeri melanjutkan studinya, dan mereka tidak akan saling bertemu lagi. Itu yang Zoya ingat tentang Gerald, Mia dan Ariel.
"Mau ikut?" Zoya mengajak Tisa menemui ke-tiga temannya itu, tapi seperti biasa Tisa menolak. Mereka tidak cocok, sehingga Tisa tidak pernah begitu suka dengan teman-teman Zoya itu.
"Ya udah, gue temuin mereka dulu!" Zoya langsung bangkit dari tempat duduknya. Dia sedikit merindukan ketiga temannya itu. Setelah sekian lama, dia belum melihat mereka lagi. Meskipun masih dalam wujud anak remaja. Pertemanan singkat dengan mereka juga akan menjadi hal baik dalam hidupnya.
Alam melihat saat Zoya berjalan keluar dari kelas. Dia hanya bisa menghela napas berat. Zoya memiliki banyak teman, tapi bahkan dirinya masih bukan temannya. Yah, setidaknya kemarin Zoya telah menanyakan namanya. Paling tidak dia berharap Zoya akan mengingat namanya.
—