Menunggu cukup lama di depan gerbang, Gerald hampir tidak sabar untuk langsung mendatangi Zoya ke kelasnya. Hampir sepuluh menit dia sampai dia sekolah Zoya, untuk pulang bersama. Berdiri di dekat motornya, Gerald terus memperhatikan pada anak-anak lain yang baru keluar dari pagar. Hingga dia menyadari, tidak ada satupun dari mereka adalah anak-anak dari kelas Zoya.
Akhirnya dia memutuskan untuk mendekat ke gerbang, meninggalkan motornya tetap di seberang jalan. Menanyakan pada anak-anak yang melewatinya, tentang Zoya.
"Ge, Lo ngpain ke sini lagi? Gak kapok tadi ditegur guru karena nongkrong di kantin?" Sari berteriak, dia langsung turun dari mobilnya, dan meminta sopirnya untuk melaju agar tidak menghalangi jalan keluar dari gerbang sekolah.
Tadi saat Gerald, Mia dan Ariel datang ke sekolah itu untuk bertemu dengan Zoya, mereka mendapatkan teguran dari salah satu guru yang tahu kalau mereka dari anak sekolah lain. Tidak ada larangan bagi anak sekolah lain datang ke sekolah tersebut, tapi tentu tidak di jam aktif belajar. Membuat guru curigai ketiganya bolos dan malah nongkrong di kantin sekolah lain.
Gerald tentu mengenal Sari. Dia langsung bersikap sok keren untuk menarik perhatiannya. Meskipun sudah tahu kalau Sari adalah kekasih Navo, Gerald tidak peduli. "Kan masih pengen ketemu sama Lo. Gak papa sih kalo gak boleh, tapi kita udah terlanjur ketemu!"
Sari memutar bola matanya malas. Dia sudah hapal dengan laki-laki seperti Gerald yang langsung melancarkan rayuan ala-ala buaya kadal. Agak menyesal karena telah menghampirinya. "Gak usah bacot, Ge! Gue nanya serius!"
"Lah, malah minta diseriusin. Gue belom punya modal nikah, Sar!" Gerald terkekeh mendengar ucapannya sendiri. Merayu anak perempuan di sekolah Zoya biasa dia lakukan. Syukur-syukur ada yang tertarik dengannya, meskipun dia melakukannya hanya untuk bersenang-senang. Itulah caranya menghilangkan kecanggungan dan menambah teman.
Sari tidak tahan, dia menendang kaki Gerald karena kesal. Melihat laki-laki itu tampak kesakitan, dia merasa puas. "Makanya gak usah sok-sokan ngerayu gue. Kalo cowok gue tahu, abis Lo!"
Gerald tertawa saja setelah mengusap bekas tendangan Sari pada kakinya. Itu tidak benar-benar terasa sakit, dia hanya ingin menghargai usaha Sari untuk menyakitinya. "Iya deh yang punya pacar anak Gubernur!"
Sari menghela napas kasar, karena Gerald masih berusaha membuatnya kesal. Jika bukan karena mengenalnya, mana mungkin dia akan datang menghampirinya.
"Jangan marah, jelek!" Gerald mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi Sari. Gadis cantik di depannya itu langsung hendak memukul tangannya. Tentu, dia sudah lebih dulu menarik tangannya. "Galaknya cewek baik! Lo panggilin Zoya gih, gue tunggu sini yak!"
"Dih, ogah! Lagian kelas Zoya lagi ada remedial. Palingan bentar lagi juga pada keluar!" Sari mengungkapkan informasi kenapa anak-anak di kelas Zoya masih tak kunjung keluar.
"Idih, bo'ong ye Lo! Lander sama Zoya masak ikut remedial juga!" Gerald tentu tak percaya, terutama teman sekelas Zoya yang bernama Lander, laki-laki yang dikagumi oleh Zoya sejak lama. Karena dia tahu si anak ambisius itu terkenal pintar.
"Ye, liat aja gak percaya! Lagian mereka remedial juga karena ketahuan ada yang contek-contekan. Makanya semua diminta ngulang. Ih, kok gue pake jelasin ke Lo sih!" Sari tadinya sudah kesal, karena Gerald menyebalkan, tapi malah dia masih menjelaskan semuanya.
"Ngapain masih di sini?"
Tiba-tiba ada suara dari belakang dan Sari merasakan tangan seseorang di kepalanya. Memutar tubuhnya, Sari sudah tahu dari suaranya, kalau yang baru saja bicara adalah pacarnya. Begitu mata mereka saling menatap, Sari tahu dia berada dalam bahaya.
"Aku liat dia kebingungan kayak anak ayam kehilangan induknya. Sayang, kamu gak jadi latihan basket?" Sari tadi sudah bertemu dengan Navo sebelumnya, dan laki-laki itu bilang akan berlatih sebentar sebelum pulang.
Navo tidak mengalihkan pandangannya dari sosok Gerald. Dari kejauhan tadi, dia melihat saat Gerald memegang pipi Sari. Hal tersebut, tentu memicu emosinya. Tapi, dia tidak suka berkelahi, karenanya masih berusaha untuk tenang.
"Gak ada Lander, kami memutuskan latihan sore nanti. Ayo balik!" Navo melihat sopir Sari menunggu di dekat mobil. Jadi dia menggandeng tangan pacarnya menuju mobil itu. Membukakan pintu mobilnya, dan langsung menutupnya begitu Sari telah duduk dengan benar. "Aku gak suka ada yang sentuh kamu. Aku marah, jadi lebih baik menjauh dari b******n itu!"
Sari hanya mengangguk, dia tidak berani membantah atau menjelaskan apapun. Karena tahu kata-katanya tidak akan membuat Navo merasa lebih baik. "Ya udah, bye sayang!"
Navo berbalik dan kembali menghampiri Gerald. Dia tidak suka laki-laki itu karena sering menggoda kekasihnya. Meskipun terlihat tidak serius, tapi tetap membuatnya marah.
"Tunggu aja, Lo mau jemput Zoya kan? Dia cukup pintar, pasti bakal keluar cepet!" Navo tidak berniat untuk mengobrol, jadi dia langsung kembali masuk meninggalkan Gerald di luar gerbang. Menuju ke tempat dimana motornya di parkirkan, Navo langsung mengendarai motornya itu melaju keluar dari gerbang untuk pulang. Tanpa sedikitpun menoleh pada sosok Gerald yang masih berdiri di luar pintu gerbang yang terbuka sendirian.
Di sisi lain, Gerald hanya tersenyum miring melihat raut wajah marah Navo. Dia merasa senang melihat kecemburuan seperti itu. Menyenangkan baginya berhasil mempengaruhi emosi seseorang.
"Ah, si Zoya mah sengaja bikin gue nunggu lama!" Gerald langsung akan masuk saja melalui pintu gerbang yang terbuka lebar. Tapi baru saja berjalan sebentar, dia melihat seorang gadis berlari di kejauhan. Dia mengenali sosoknya dengan begitu baik. Tentu senyumnya langsung mengembang negitu melihat gadis itu berlarian untuk pulang.
"Nunggu lama ya? Yuk, ah!" Zoya hanya memelankan laju larinya, tapi tidak menghentikan langkahnya. Tangannya menarik lengan Gerald untuk segera menuju ke motornya.
"Buru-buru banget neng? Gak minta maaf dulu udah buat Abang nunggu lama?" Gerald masih bercanda untuk menggoda temannya itu, sambil memakaikannya helm.
Zoya masih terengah-engah, dia berlari kencang keluar kelas setelah mengumpulkan soal pada guru, bahkan mengabaikan panggilan gurunya. Karena tahu, Gerald pasti sudah menunggu lama.
"Sorry, I knew you would be waiting for me. I'll treat you to coffee!" Zoya tersenyum lebar setelah helm di kepalanya terpasang dengan benar.
"Okay, setuju!" Gerald tidak bisa marah pada gadis cantik di depannya. Sebenarnya dia tidak bisa marah pada ketiga teman wanitanya. Mia, Ariel dan Zoya sudah seperti saudara untuknya. Bertengkar sedikit tentu sering, tapi bukan tentang hal kecil seperti ini.
Keduanya sudah naik ke atas motor besar itu dan Gerald langsung melajukan cepat motor besarnya hingga Zoya langsung memeluk pinggangnya erat, takut terjengkang ke belakang. Zoya sudah biasa dibonceng Gerald, tetapi sudah sangat lama bagi Zoya yang berasal dari masa depan untuk tidak pernah di bonceng lagi oleh Gerald yang sudah berada di luar negeri sejak lulus SMA. Saat sekarang merasakan lagi dibonceng olehnya, Zoya ingat dia pernah hampir terjatuh saat dulu di bonceng oleh laki-laki itu.
Tersisa di belakang mereka, Lander melihat saat tadi Zoya menggandeng tangan Gerald. Dan saat Gerald memakaikan helm pada Zoya. Keduanya tampak sangat akrab, senyum yang selalu terlihat menyebalkan di matanya.
Sebenarnya setelah Zoya mengumpulkan jawaban dari soal remidial, Lander juga langsung mengumpulkan jawabannya. Dia berada di belakang Zoya dengan langkah besar, melihat gadis itu berlari seperti sangat terburu-buru. Dan Lander melihat alasan Zoya terburu-buru, karena ada seorang laki-laki menunggunya di gerbang.
Lander mengabaikan pemandangan mencolok mata tadi, mengecek pada ponselnya. Dia melihat jadwalnya, membuang napas kasar, karena dia masih ada les yang akan di mulai sepuluh menit lagi. Gara-gara remidial yang diadakan gurunya, akibat dari kesalahan salah satu anak yang mencotek, dia jadi tidak bisa pulang dulu untuk berganti pakaian. Langsung harus menuju ke tempat Les-nya agar sorenya bisa latihan basket.
Satu jam pun, Lander tidak akan menyia-nyiakan waktu dengan sia-sia. Bahkan saat malam hari, kadang dia masih ambil kursus bahasa asing, untuk menambah kemampuan berbahasa asingnya. Saat teman-teman di sekolahnya menyebutnya sebagai anak ambis, Lander sama sekali tidak tersinggung atau terganggu dengan itu. Karena nilai-nilainya yang hampir selalu mendekati sempurna adalah hasil dari usaha kerasnya. Karena dia memiliki target pencapaian dalam semua hal yang dia lakukan. Dia harus menjadi yang terbaik, melakukan yang terbaik dan mencapai hasil memuaskan sesuai keinginannya.
_