Minggu ini semua anak telah bekerja keras untuk mendapatkan nilai terbaik. Beberapa orang sangat berharap mendapatkan nilai bagus, beberapa orang lagi tidak terlalu peduli asalkan mereka lulus.
Zoya dan Tisa sedang mengecat kuku mereka. Seharian ini Tisa main ke rumah Zoya. Mereka melakukan apapun yang mereka inginkan. Terlepas dari tekanan belajar adalah kebebasan yang telah dinantikan.
"Laper, Zo. Tante Shana masak apa?" Makan siang tadi mereka memesan spaghetti, dan sore mereka sudah lapar lagi.
"Kayaknya gak masak!" Zoya juga pagi tadi tidak ikut sarapan, karena baru bangun jam sebelas siang, saat Tisa datang membangunkannya.
"Mau pesan lagi?" Zoya menawarkan, karena solusi terbaik adalah memesan makanan.
"Ke bawah aja dulu!" Tisa berjalan keluar dari kamar Zoya. Dia mengenali suara Raksa sedang mengobrol dengan Gerald di bawah.
Benar saja, saat sudah turun, Tisa melihat mereka sedang main game di ruangan tengah. "Sejak kapan kalian di sini?"
"Sejak tadi. Lo juga udah dari tadi di sini?" Raksa tidak tahu ada Tisa.
"Zoya mana?" Gerald langsung menanyakannya.
Tisa ikut duduk di kursi kosong, melihat mereka sibuk dengan ponsel masing-masing, tapi masih menyahutinya. "Lagi ngecat kuku!" Tisa melihat kukunya sendiri, agak berantakan, tidak serapi Zoya.
Gerald dan Raksa kembali asik main game. Mereka bahkan tidak peduli apakah pemilik rumah tahu tentang kedatangan mereka. Karena mereka hanya numpang main game.
"Loh, ada kalian!" Zoya baru saja turun, dia kaget melihat ada Gerald juga Raksa.
"Udah dari tadi. Lo juga gak akan tahu, kalau mereka gotong ni barang-barang Lo, Zo!" sindir Tisa untuk keduanya.
Zoya hanya tersenyum. Dia ikut duduk di sebelah Tisa. Melihat bagaimana Gerald dan Raksa begitu serius dengan permainan mereka. Kemudian mereka saling menatap.
"Lo udah liat ada makanan di dapur?" tanya Zoya pada Tisa, yang direspon dengan gelengan kepala.
Zoya bangkit, dia berjalan menuju dapur. Melihat apakah ada makanan yang bisa dimakan atau tidak. Ternyata hanya ada lauk ayam goreng dan tahu tempe. Tidak ada sayur di meja makan.
Dia meninggalkan dapur untuk kembali naik ke lantai dua. Mencari keberadaan mamanya di kamar. Tapi kamar orangtuanya kosong. Dia mencari lagi di ruangan kerja papanya. Benar saja, mamanya sedang bekerja.
"Ma, Zoya sama Tisa laper. Tapi hanya ada lauk!" Zoya memeluk mamanya dari belakang. Melihat apa yang sedang dikerjakan oleh mamanya.
"Mama akan memasak. Tunggu sebentar!" Shana mengusap lengan putrinya, dia terlalu sibuk bekerja, hingga lupa anak-anak pasti kelaparan.
"Di bawah ada Raksa sama Gerald juga. Mama udah tahu?"
Menggeleng, Shana bahkan belum keluar dari ruangan itu sejak siang tadi. Ada banyak pekerjaan yang harus diurusnya. Sementara suaminya bekerja di kantor, Shana juga melakukan pekerjaan di rumah. Mereka saling bekerja sama dan mendukung.
"Wah, benar kata Tisa, kita tidak akan tahu kalau Gerald dan Raksa mengangkut barang-barang kita!"
Shana tertawa. Rumah itu terlalu besar, jika mereka ada di dalam ruangan, kadang tidak terdengar suara dari luar. "Ayo turun kalau begitu!"
Anak-anak baru selesai ujian, Shana tahu mereka pasti ingin melepas penat. Karenanya, dia meminta chef datang dan memasak banyak hidangan di rumah. Bahkan Shana juga meminta Zoya mengudang Ariel dan Mia.
Malam itu, rumah keluarga Pyralis jadi sangat ramai. Anak-anak berkumpul dan saling bercanda sembari menunggu, mereka makan kue yang dipesankan mamanya Zoya, untuk mengganjal perut lapar mereka.
Zoya juga menelpon papanya segera pulang agar bisa ikut makan bersama. Tapi kemudian dia ingat ada satu orang lagi yang ingin dia undang. Yah, benar, dia ingat tentang Lander.
Awalnya teleponnya tidak diangkat. Tapi di menit berikutnya, Lander balik menelponnya. Zoya langsung menanyakan apa yang sedang Lander lakukan. Dari pembicaraan tersebut, ternyata Lander sudah berada di Jogja. Zoya mengatakan niat awalnya menelpon laki-laki itu. Zoya mengakhiri telepon setelah Lander memintanya menutup telepon dan berkirim pesan saja.
Lander mengirimkan foto kamarnya di Jogja. Dan mengatakan, kalau kamarnya hampir dijadikan gudang, karena dia hampir tidak pulang setiap tahun.
Zoya cukup terhibur berkirim pesan dengan Lander. Mereka masih saling berbalas pesan, bahkan saat sudah berada di meja makan.
"Anak-anak, tolong duduk di kursi masing-masing. Ayo kita mulai makan malamnya!" Shana memberikan instruksi. Dia kemudian melihat Zoya masih asik dengan ponselnya. "Sayang, ayo makan dulu. Lanjutkan main ponselnya nanti!"
Karena sudah ditegur, Zoya meletakkan ponselnya. Dia juga sudah lapar, mamanya benar-benar menyiapkan banyak makanan untuk mereka. Dia bisa melihat raut bahagia teman-temannya.
"Papa mau makan apa?" Zoya bangkit berdiri, dia menawarkan makanan untuk papanya, dan akan mengambilkan makanan untuknya.
Zian hanya tersenyum melihat niat baik putrinya, dia menunjuk pada hidangan pasta. Zoya langsung mengambil apa yang dia mau.
"Raksa, ambilkan pasta juga!" Shana iri, dia meminta anak lelakinya mengambilkan untuknya juga. Semua orang tahu ada persaingan di meja makan. Mereka tertawa melihatnya.
Zoya tidak tahu ada beberapa pesan masuk di ponselnya. Seseorang merasa terabaikan dan menunggu balasan pesan darinya di tempat yang jauh.
Setelah makan malam, Zian mengajak mereka bermain tebak-tebakan, dan hadiahnya adalah uang tunai. Meskipun mereka memiliki uang saku yang cukup, tapi hadiah tetaplah hadiah, jadi mereka cukup antusias. Zoya menjadi yang paling aktif, tapi jawabannya banyak yang salah.
Gerald mengabadikan momen itu dengan memotret melalui ponselnya. Dia pikir, jika nanti mereka lulus, dan tidak lagi saling bertemu, maka mereka bisa mengingat momen tersebut saat melihat foto kebersamaan mereka.
Rumah keluarga Pyralis bukan hanya besar, tapi juga sangat hangat. Dan mereka tahu, itu bukan berdasarkan pada bangunan rumah, tapi pada pemilik rumah.
Hanya Zoya dan Raksa yang tahu kalau kehangatan itu akan benar-benar hilang sebentar lagi. Raksa bahkan selalu memperhatikan Zoya, Zian dan Shana. Sungguh, mereka adalah keluarga yang begitu baik.
"Kenapa tidak menebak lagi?" tanya Raksa pada Zoya.
Zoya tersenyum tipis. "Gue capek. Lo juga udah nyerah?"
"Hem! Tisa dapat hadiah paling banyak. Apakah dia akan membangun perusahaan setelah ini?" tanya Raksa dengan suara lirih.
Zoya tertawa, meskipun lelucon Raksa tidak lucu, dia tetap tertawa. "Tidak sebanyak itu! Tidak akan cukup, bodoh!"
"Bagaimana kalau Gerald? Dia juga banyak menebak!" Raksa melihat pada Gerald, laki-laki itu hampir menduduki ponselnya, karena sudah memiliki banyak uang di saku jaketnya, dia lupa segalanya.
Tertawa lagi, Zoya bisa melihat ada uang dolar juga yang berhasil Gerald dapatkan. "Mungkin dia akan menggunakan untuk membeli kamera baru!"
"Bagus sekali, dia punya ambisi!" Raksa akhirnya mengerti, kenapa Gerald sangat bersemangat.
Zoya melihat bagaimana orangtuanya juga cukup antusias memberikan pernyataan sulit. Tapi mereka sepertinya akan rugi, karena antusias peserta lebih tinggi dari perkiraan.
Tanpa sadar cairan bening mengalir dari ujung matanya. Zoya buru-buru menghapusnya. Dia tidak mau ada yang melihatnya menangis. Mereka pasti akan bingung jika tahu.
Raksa melihatnya, dia berpura-pura melihat kearah lain. Bukan karena tidak peduli, tapi juga karena dia merasa sesak. Kebahagiaan yang tiba-tiba menghilang pasti akan terasa sangat menyakitkan. Sama seperti Zian yang menjadi papa yang sempurna di mata Zoya, pasti juga sangat menyakitkan, saat harus kehilangan sosoknya.
Hal yang salah adalah, Raksa tidak berpikir Zoya berasal dari masa depan sepertinya. Dia berpikir Zoya seperti cenayang, bisa tahu tentang masa depan. Jika saja Raksa tahu, akan mudah baginya, mengakui identitasnya yang sebenarnya.
Setiap menit berlalu cepat, Zoya mengantarkan teman-temannya pulang sampai teras. Mereka membawa pulang hadiah mereka, dan berterimakasih pada papa dan mamanya Zoya.
"Aku juga akan pulang!" Raksa menepuk puncak kepala Zoya, dan berjalan pergi.
Zoya menyentuh kepalanya. "Dasar anak tidak sopan!"
"Ayo masuk. Kamu pasti lelah!" Shana menggandeng putrinya untuk masuk, angin malam tidak baik untuknya.