Mendekati waktu ujian akhir, Zoya menghabiskan banyak waktu di rumah. Dia kadang hanya menemani mamanya nge-gym di rumah, dan kadang juga mengobrol santai dengan papanya.
Zian tahu kalau Zoya menolak banyak tawaran pemotretan, dia tidak mempertanyakannya lagi. Dia tahu putrinya akan ujian sebentar lagi, jika masih mengambil job kerja, pasti akan membuatnya lelah dan kurang konsentrasi dalam belajar.
Tapi yang membuat Zian agak khawatir, Zoya sama sekali belum membicarakan tentang universitas untuk pendidikan selanjutnya. Setiap kali dia bertanya, Zoya hanya menjawab nanti saja.
"Raksa bicara dengan siapa di luar?" Zian mendengar suara Raksa, tapi seperti sedang berbincang dengan seseorang.
"Palingan Gerald!" Shana menyahuti, karena suaranya suara laki-laki.
"Kayaknya bukan!" Zoya langsung bangkit dari duduknya, dia berjalan menuju pintu, untuk melihat siapa sebenarnya yang sedang bicara dengan Raksa. Semakin mendekati pintu, Zoya memperdalam kerutan di keningnya. Karena dia familiar dengan suara itu.
"Raksa, eh, elo? Kalian ngapain?" Zoya tidak menyangka yang sedang bicara dengan Raksa ternyata Lander.
"Dia mau ajak belajar bareng Lo!" Raksa menunjuk pada Lander. Dia cukup tahu kalau itu hanya alasan Lander untuk bisa berdekatan dengan Zoya.
Zoya tidak tahu Lander akan datang. Tapi sangat mengejutkan, karena mereka sebelumnya tidak pernah belajar bersama. Apakah Lander kerasukan?
"Ya, udah. Masuk!" Zoya meminta Lander masuk, dia melirik pada Raksa, "Lo mau di luar terus?"
"Enggak mau!" Raksa mengikuti langkah Lander.
Lander berjalan di depan, di belakang Zoya dan Raksa menatap punggung Lander dengan kebingungan. Mereka terlalu terkejut, anak jenius itu ingin belajar bersama, rasanya terlalu mengada-ada.
"Oh, ada Lander!" Shana menyambut tamunya dengan senyum ramah.
"Malam Tante, om!" Lander menyalimi tangan mama dan papa Zoya dengan sopan.
Zoya terdiam, dia tidak bisa berkata-kata melihat pemandangan tersebut. Bahkan Raksa juga ikut diam dengan bibir saling menekan. Mencoba untuk tidak mengeluarkan kata apapun. Tapi ternyata sulit.
"Lander bersikap formal. Dia seperti sedang berhadapan dengan calon mertua!" ujar Raksa yang mendapatkan sikutan dari Zoya.
"Sembarangan!" Zoya menegur Raksa, padahal dia juga hampir berpikir seperti itu.
"Sudah lama tidak berkunjung kemari, bukan? Bagaimana kabarmu?" Zian juga jadi bersikap formal, melihat wajah serius Lander.
"Terakhir, saat Zoya cidera karena saya. Dan kabar saya baik!"
Shana sangat berusaha menahan tawa. Dia tidak mengerti ada apa dengan dua laki-laki itu, mereka bicara sangat formal. Sebenernya dia juga tahu suaminya hanya berniat menggoda tamu putrinya.
"Papa, Lander hanya ingin belajar bareng! Berhenti menggodanya!" Zoya menahan malu, bisa-bisanya Lander masih bicara begitu formal.
Zian merubah ekspresi seriusnya jadi lebih santai. Dia tadi sengaja mengikuti suasana yang dibawa Lander. Padahal dia tidak bersikap seperti itu pada teman-teman Zoya sebelumnya. "Baiklah, sana ajak Lander ke kamarmu. Raksa juga bisa ikut, bukan?"
Zian merasa kasihan jika Raksa tidak diajak, anak itu yang biasanya belajar bersama Zoya. Meskipun mereka dari kelas yang berbeda.
"Papa!" Zoya merengek.
"Okay, fine!" Zian mengangkat kedua tangannya, tanda dia mengakhiri leluconnya yang tidak lucu.
Raksa bermain kode-kodean dengan Zian, sambil berjalan di belakang Zoya dan Lander. Dia mengisyaratkan, kalau dia akan menjaga Zoya dari si modus Lander. Dan Zian menanggapi, seolah-olah dia komandan yang menyetujui inisiatif anak buahnya.
"Kamu sangat senang menggoda anak-anak!" Shana menepuk lengan suaminya.
"Anak-anak selalu punya kisah lucu!" Zian melepaskan senyum lebar.
"Yah, mereka menggemaskan!" Shana setuju.
—
Zoya mengambilkan Raksa dan Lander minuman dingin dari kulkas kecil di kamarnya. Dia juga mengambil camilan dari laci simpanan makanannya. Membiarkan Lander dan Raksa duduk di karpet, dia sendiri akan lebih dulu mengikat rambutnya.
"Lander, Lo udah pinter. Kenapa masih perlu belajar bareng Zoya?" Raksa sudah menanyakannya saat di teras tadi, tapi Lander belum menjawab.
"Emangnya kenapa dengan gue?" Zoya malah jadi merasa, seakan-akan dia tidak layak belajar bersama Lander.
Lander tersenyum miring, "Karena dia cantik!"
Zoya yang baru saja duduk dengan membawa beberapa bukunya jadi terdiam, sedangkan Raksa, dia memutar bola matanya malas. Dia mencium aroma kang modus.
"Hei!" Zoya menegur Lander. "Gue tahu Lo benci wanita cantik. Lo seharusnya jauh-jauh dari gue!"
"Pipi Lo merah!" Raksa memberitahu Zoya. Dan dia langsung mendapatkan serangan pukulan.
Meskipun diawali dengan suasana akward, yang terjadi selanjutnya, ketiga orang itu serius belajar. Lander membaca buku, dia akan selalu siap menjawab, jika Zoya dan Raksa bertanya padanya.
Raksa sangat takjub, ternyata bukan sembarangan jenius, Lander sangat hebat hampir di semua pelajaran. Dia sekarang mengerti, kenapa Lander begitu dicintai oleh guru. Karena Lander mempermudah tugas mereka dalam mengajar, Lander sudah bisa sendiri.
"Otak gue hampir eror!" Zoya memukul kepalanya, karena hitungan kimianya tidak mendapatkan jawaban benar. Padahal dia sudah menyetarakan reaksi dengan benar.
"Lo salah, kenapa penyetaraan redoks aja gak bisa?" Lander tak habis pikir, karena pengerjaannya sangat mudah.
Zoya langsung manyun. Memang harusnya mudah, tapi dia melupakan beberapa hal. Dan sebenarnya dia sulit konsentrasi.
"Lihat, ini seharusnya reduksi!" Lander menunjuk pada bagian yang salah. Setelahnya dia juga sekalian memperbaiki pengerjaan soal hingga dapatkan jawabannya.
"Kalau pakai cara biloks kayak gini, kalau pakai cara ion elektron kayak gini!" Lander memberikan buku itu kembali pada Zoya.
Zoya melihat dimana letak kesalahannya. Padahal soalnya sangat mudah, tapi dia kesulitan untuk fokus mengerjakannya.
Raksa melihat Zoya memang sedang tidak konsentrasi. Karena hal seperti itu sudah terjadi akhir-akhir ini. "Bagaimana jika kita istirahat dulu. Lagipula sudah hampir satu jam lebih!"
Lander hanya diam, tapi dia sepertinya setuju. Laki-laki itu menghabiskan sisa minumannya. Dan membuka bungkus kemasan makanan ringan.
"Lander, Lo gak kesepian tinggal di apartemen sendirian?" Zoya duduk lebih dekat dengan Lander. Memberikan minuman yang baru untuk laki-laki itu.
"Lo pasti sudah tahu jawabannya. Tapi hidup sendirian bukan berarti gue kesepian. Mungkin itu cara gue hidup!" Lander tidak terlalu suka diatur, jadi hidup sendirian baginya adalah pilihan terbaik.
Zoya membayangkan Lander setiap hari makan sendirian, belajar dan melakukan semuanya sendirian. Hal yang tidak asing untuknya.
"Gue juga tinggal sendirian!" Raksa baru kembali dari mengambil es krim di dapur. Dia meletakkan tiga cup es krim di atas karpet.
"Tapi Lo kan sering ke sini!" Zoya tersenyum, dia sangat senang Raksa mau sering-sering berkunjung ke rumahnya. Bahkan lebih sering berada di rumah ini dari pada rumahnya sendiri.
"Lo gak punya temen Laen selain Zoya?" Lander bertanya dengan nada datar, jadi terdengar sarkasme.
Raksa membuka cup es krim, memberikan pada Zoya, dan membuka satu lagi untuk dirinya sendiri. "Gue punya, tapi gue cuma mau di sini!"
"Kita bertiga anak tunggal yang berkumpul!" Zoya tertawa setelah mengatakannya. Dia melirik ke arah Raksa dan Lander bergantian. Sangat lucu, dia akan mengingat momen ini.
Lander mengabaikan Zoya dan Raksa. Dia berjalan menuju balkon. Ada ayunan di sana, dia duduk di sana. Pemandangan malam tampak begitu tenang untuk dilihat.
Dia masihlah seorang anak. Merindukan orangtua adalah apa yang dirasakannya hampir setiap kali dia merasa sepi. Tapi karena terbiasa hidup terpisah dari keluarga, rasanya juga agak kurang nyaman saat dia kembali ke rumah. Entah bagaimana, dia agak iri melihat orangtua Zoya. Mereka begitu saling menyayangi dan sangat santai. Sehingga suasana rumah ini juga jauh berbeda dengan suasana rumahnya di Jogja.
"Lander, mamaku memesan pizza. Lo mau rasa apa?"
Lander menoleh, dia tidak langsung menjawab. Tapi kemudian jawabannya adalah, "Apa saja boleh!"
"Gue aja yang ambil!" Zoya mencegah Raksa yang akan bangkit.
"Okay!" Raksa menurut. Dia dan Zoya sama-sama suka pizza. Jadi keduanya sama-sama bersemangat.
Jika saja Zoya tahu, hampir semua orang yang bertemu dengan Zian dan Shana, mereka tanpa sadar menginginkan orangtua mereka memiliki sifat dan karakter seperti orangtua Zoya.