Mereka masih harus ke sekolah, sampai hari kelulusan. Zoya sedang duduk di kursi penonton, melihat klub basket yang sedang latihan. Tidak sendirian, Zoya bersama dengan Raksa. Keduanya berangkat siang, karena kegiatan belajar-mengajar untuk kelas tiga sudah selesai. Mereka sedang menunggu hari kelulusan.
"Lander digantikan oleh Navo?" Raksa melihat tanda kain merah di lengan Navo.
"Lander pulang ke Jogja!" Zoya tidak tahu apa masih bisa bertemu lagi dengan Lander, karena diingatannya, Lander hanya datang di hari kelulusan, tapi mereka tidak bertemu.
"Oh!" Raksa memperhatikan ekspresi Zoya.
Raksa tidak pernah meninggalkan Zoya, kemanapun gadis itu pergi, Raksa akan selalu berada di sisinya. Karena jika nanti saatnya tiba, dia ingin menjadi orang yang ada disampingnya.
"Lo udah tahu mau kemana setelah lulus?" tanya Zoya, karena dia ingat dengan pembicaraannya dengan mamanya pagi tadi.
Raksa menggeleng. Dia belum pernah masuk universitas, jadi dia tidak tahu akan kemana. Dia di kehidupan masa depan masih delapan belas tahun, dan tengah terbaring di rumah sakit tak berdaya menunggu kematian menjemputnya.
Dia tidak terpikir untuk kembali ke waktu yang benar, karena di waktu itu, mungkin dia tengah menahan rasa sakit. Jika bisa hidup lebih lama, dia akan tetap di waktu yang salah ini untuk menjadi teman Zoya.
"Hari ini gue akan ke rumah sakit!"
"Hah, untuk apa?" Raksa langsung menyahut.
Zoya melihat gelang di tangannya. Kemudian tersenyum. "Gue mau jengukin Jo. Dia sebentar lagi akan operasi, karena akan ada donor hati untuknya!"
Raksa mengepalkan tangannya. Bagaimana bisa Zoya mengatakannya dengan mudah? Badannya langsung merasa lemas. Dia tidak ingin mendengar ucapan Zoya lagi. Berdiri dengan cepat. "Jangan sok tahu, Lo gak kenal Jo. Kenapa Lo peduli dia mendapatkan donor atau tidak?"
Zoya melihat Raksa pergi meninggalkannya. Tidak tahu kenapa laki-laki itu marah padanya. Seharusnya dia juga tidak membahas tentang Jo, karena hanya dia yang bisa memahami semuanya.
Cukup lama termenung di tempat itu, Zoya tidak ingin beranjak pergi. Bahkan saat anak-anak tim basket sudah bubar. Dia masih ingin di sana.
"Nunggu siapa, Zo?" Navo menghampiri gadis cantik yang duduk sendirian di kursi penonton.
Zoya menoleh, melihat Navo ternyata sudah berganti baju. Laki-laki itu terlihat ragu ingin menghampirinya. Menepuk tempat duduk di sebelahnya, memberi tanda pada Navo untuk duduk.
"Gue cuma mau duduk aja!"
Navo tersenyum, tidakkah Zoya tahu kalau dengan duduk di sana, anak-anak anggota tim basketnya jadi tidak konsentrasi dengan baik. Tapi tentu dia tidak akan mengatakannya pada Zoya.
"Lander balik ke Jogja!" beritahu Navo.
"Hem!"
Navo terdiam sebentar, dia agak ragu mengatakannya. Hingga dia memutuskan untuk memberitahu. "Lo udah tahu, Lander dikuncikan di kamarnya?"
"Hah?" Zoya tidak mengerti, dia langsung memfokuskan tatapannya pada Navo.
Navo mengangguk, "Iya, Zo. Lander gak bisa balik lagi ke sini. Dia dikuncikan di kamarnya. Orangtuanya tidak mau dia pergi. Lo tahu kan, dia anak tunggal. Papanya sakit, hanya dia yang mereka harapkan!"
Zoya tidak pernah tahu hal ini. Jadi, seperti itu kenyataannya? Dia jadi agak kasihan. "Kapan dia ngomong hal ini ke Lo?"
"Tadi pagi. Dia sudah dikunci sejak pulang. Untung saja dia berhasil menyembunyikan ponselnya!" Navo tidak tahu apakah benar memberitahukan hal ini pada Zoya. Karena dia pikir Zoya mungkin mencari Lander.
Zoya sekarang mengerti, kenapa semalam Lander mematikan telepon dan meminta berkirim pesan. Karena agar tidak ketahuan dia memegang ponsel.
"Kita tidak bisa melakukan apapun. Tidak bisa ikut campur urusan keluarga itu. Tapi gue cuma mau kasih tahu Lo aja!" Navo menghargai Lander sebagai temannya, dan entah kenapa dia merasa Lander ada rasa dengan Zoya. Meskipun terlihat acuh tak acuh, tapi hanya pada Zoya, Lander mau berdekatan dengan wanita.
"Yah, dia harus merelakan impiannya. Dia harapan keluarganya! Pasti orangtuanya tidak bermaksud buruk, bukan?" Zoya agak sedih mengetahui fakta tersebut. Jika dia tidak kembali ke masa ini, dia tidak akan tahu tentang cerita ini.
"Gue balik dulu. Lo jangan lama-lama di sini!" Walaupun masih kawasan sekolah, Navo masih khawatir.
"Hem, makasih dah kasih tahu gue!" Zoya menunjukkan rasa terimakasihnya.
Jika dulu dia tidak menolong Navo dari kasus pencemaran nama baik yang dilakukan Sari, mungkin dia tidak akan bertemu lagi dengan Navo, dan dia tidak akan tahu kebenaran tentang Lander.
"Tapi meskipun gue tahu hal ini, gak mengubah apapun. Kita hanya ditakdirkan untuk berbagi momen sampai di SMA!" Zoya tidak tahu apa yang akan berubah dari mengetahui hal ini.
Bangkit dari duduknya, Zoya akan mengambil tasnya dan pergi ke rumah sakit. Dia ingin bertemu Jo lagi. Anak yang nantinya akan menerima donor dari papanya.
—
Raksa melihat Zoya pergi membawa tasnya menuju gerbang. Artinya gadis itu sungguh ingin mengunjungi Jo. Mengunjungi dirinya yang mengenaskan.
"Jangan!" Raksa mengepalkan tangannya dan meninju tembok di sebelahnya.
Anak dari malaikat penolongnya, yang seharusnya bisa saja membencinya, karena mengambil cahayanya, gadis itu malah mengasihaninya. Kenapa? Kenapa keluarga itu begitu baik? Dia tidak bisa menanggungnya. Bagaimana dia akan membalasnya nanti?
Berjalan menuju motornya, Raksa memutuskan untuk menyusul Zoya. Mengikutinya diam-diam. Sungguh, dia akan terus berada di sisinya.
—
Zoya sampai di rumah sakit. Dia membawa hadiah yang dibelikan papanya. Sengaja dia bawa di tasnya, karena dia memang sudah niat untuk mengunjungi Jo.
Saat papanya ke Singapura, Zoya titip alat menggambar dan juga pensil warna khusus. Papanya saat itu bertanya kenapa dia mau alat menggambar, karena tahu dia tidak bisa menggambar. Zoya mengatakan, akan memberikan pada temannya.
Perawat yang merawat Jo masih mengenalinya. Dia diantarkan menemui Jo. Ternyata Zoya tidak bisa bicara dengan Jo lagi. Karena anak itu dalam kondisi kritis. Bahkan Zoya hanya bisa melihat melalui jendela kaca besar.
"Dia tidak akan bangun lagi, jika tidak mendapatkan pendonor!" ujar perawat pada Zoya.
"Dia akan hidup. Dia akan mendapatkan pendonor!" Zoya mengatakannya dengan yakin.
Perawat menghela napasnya, dia juga berharap begitu. Karena dia masih melihat keinginan Jo untuk hidup. Tapi jika takdir berkehendak lain, tidak ada yang bisa dilakukan.
"Sejak kapan keadaan Jo kritis?" Zoya agak menyesal, dia datang terlambat untuk menyerahkan hadiahnya.
Perawat mengatakan sejak semalam. Jo sempat demam tinggi, dan kemudian dinyatakan kritis. Obat-obatan tidak lagi bisa membantunya bertahan, kecuali Jo mendapatkan pendonor. Hati baru untuknya.
Zoya melepas tasnya, dia mengambil hadiah dari dalam tasnya. Kemudian memberikannya pada perawat itu. "Tolong berikan ini pada, Jo. Dia punya bakat dalam menggambar, aku harap dia bisa menggambar lagi setelah sembuh!"
Perawat itu terlihat ragu. Karena Jo saja sudah kritis, bagaimana jika Jo tidak selamat. Kemana dia akan membawa hadiah itu? "Kamu sangat baik, karena berharap dia sembuh. Dia pasti senang jika tahu ada yang memberikan hadiah untuknya. Tapi, bagaimana jika aku tidak pernah bisa memberikan ini padanya?"
Zoya tersenyum, dia tetap memberikan hadiahnya. "Jo akan sembuh. Jika aku tidak bisa bertemu lagi dengannya, aku ingin dia tahu, aku mengharapkan dia bisa hidup dengan baik!"
Perawat itu tidak bisa berkata-kata, dia tahu Zoya adalah model muda yang juga adalah anak dari pengusaha Zian Pyralis. Tapi selain itu, dia tidak pernah tahu apapun tentangnya. Bahkan alasannya mendatangi anak-anak penderita kanker, hingga akhirnya mengenal Jo. Kenapa remaja itu terlihat sangat perduli pada Jo, dan sangat yakin akan kesembuhannya? Melihat gadis itu sudah berjalan pergi, perawat juga jadi berharap bisa menyampaikan hadiah itu pada Jo nanti.
Di kejauhan, Raksa bersembunyi di sana sejak tadi. Dan dia juga mendengar semua dan melihatnya. Sungguh, dia tidak bisa menahan air matanya. Kenapa Zoya melakukan itu? Kenapa gadis itu sangat baik?
Raksa sudah lama tinggal dekat dengan Zoya. Sering bersamanya, tapi dia tidak pernah tahu Zoya setulus itu.