Zoya sengaja membawa steak untuk makan malam Lander, yang dibelinya dari restoran. Tidak ada menu lainnya, karena Zoya pikir steak berukuran besar itu cukup untuk mengenyangkan perutnya.
"Kenapa Lo bawa dua piring?" Zoya tidak ingin makan, sudah terlalu malam juga untuknya menyantap makanan.
"Gue minta ditemani, bukan diawasi!" Lander membagikan gelas dan mengisinya dengan air mineral.
Lander sudah memanaskan steak ke dalam microwave. Dan saat mengambilnya dari sana, sudah kembali hangat dan pas untuk dimakan. Sebenarnya rasanya pasti tidak akan sebaik saat baru dimasak. Tapi rasanya tetap enak.
"Jangan! Gue besok ada jadwal video call dengan Elen. Lo aja yang makan!" Zoya kembali menolak, karena dia bersungguh-sungguh tidak ingin ikut makan.
"Apa di video itu Elen akan tahu Lo habis makan steak. Apakah daging ini akan membuat Lo jadi berubah?" Lander mengatakannya dengan ekspresi meledek.
Zoya malas menanggapi, karena hanya akan terjadi perdebatan. Lander tidak akan bisa memahami masalahnya. Juga, Lander tidak tahu Elen itu seperti apa. Elen telah melihat banyak model terbaik dunia. Jelas dia tidak mau terlihat buruk saat melakukan panggilan video dengannya.
"Lo datang malam-malam untuk mengantar makanan. Apa Lo sesuka itu sama gue?" Lander sangat suka steak tersebut, dan dia tidak mau secara langsung menunjukkan rasa terimakasihnya tanpa alasan kuat.
Zoya mengerutkan keningnya, "Gue dari rumah Tisa. Ambil buku tugas. Tisa bilang anak-anak sengaja mengotori apartement Lo, dan juga dia bilang kulkas Lo kosong, anak laki-laki sengaja mengosongkannya. Jadi gue pikir, gue bisa bawain Lo makanan. Lo pasti capek abis beberes sendirian!"
Lander menyantap potongan daging berukuran besar. Dia sangat kesal, anak-anak itu sengaja membuatnya marah. Mereka bukan menjenguk, tapi mengerjai.
"Makasih, ini enak!" Lander akhirnya mengatakannya. Dia pikir daging ini adalah yang terbaik mengobati rasa kesalnya.
"Hem, Lander, Lo jangan salah paham. Gue ngelakuin ini, bukan karena suka sama Lo!" Zoya tidak ingin terjadi kesalahpahaman, jadi dia buru-buru mengatakannya.
"Kemudian, karena apa?"
"Karena Lo Lander. Gue pikir kisah gue harus kayak gini!" Zoya menjawab seperti sedang bertanya.
Tersenyum, Lander menyuapkan sepotong daging ke mulut Zoya. Gadis itu awalnya menolak, tapi akhir mau memakannya.
"Lo jadi kelihatan begok. Udah, akui aja kayak biasanya. Setidaknya, daging ini adalah penyelamat Lo. Gue akan biarin Lo suka sama gue malam ini aja!"
Zoya mengunyah dengan ekspresi bingung. Lander tetap saja berpikir dia masih menyukainya. Padahal tidak lagi. Jantungnya tidak berdebar-debar. Bahkan saat laki-laki itu menyuapinya. Jadi mungkin memang sudah berakhir.
"Jangan ubah kisahnya. Tetap benci gue aja kayak seharusnya!"
"Lo ngomong apa?" Lander tidak mendengarnya dengan jelas, karena Zoya hanya seperti buka mulut tanpa suara.
Zoya hanya mengangkat bahu saja. Dia tidak perlu menjelaskan apapun pada siapapun, biarkan hanya dirinya yang tahu.
"Ambilin gue minum lagi!" Lander mengangkat gelas kosong memberikannya pada Zoya.
"Lo masih bisa gunain satu tangan Lo!" Zoya tidak mau mengambil gelas itu.
Lander mendorong gelas untuk dipegang Zoya. "Lo bilang …,"
"Damn! Gue gak bilang apa-apa, itu gue tulis tanpa sadar!" Zoya agak menyesali dengan catatan kecil yang dia tinggalkan di bungkusan pagi tadi. Dia tidak menyangka akan seperti ini.
Lander hanya tersenyum tipis, dia melanjutkan menikmati makanannya. "Lo sebenarnya penggemar gue yang paling antusias. Dulu gue gak suka Lo selalu ngekorin gue, tapi kayaknya itu akan baik-baik saja sekarang!"
Memutar bola matanya malas. Lander bisa berpendapat apapun tentang tindakannya. Toh, pada akhirnya mereka akan berpisah sebentar lagi. Anggap saja dia sedang membiarkan kisah yang sama untuk tetap terjadi. Karena saat dia berusaha menjauh dari Lander, selalu saja ada kejadian yang akhirnya terus mempertemukan mereka. Seolah-olah apapun yang dia lakukan, tidak akan mengubah apa yang seharusnya tentang kisah mereka.
"Nilai Lo banyak yang turun!" Tiba-tiba Lander membuka percakapan tentang hal tersebut.
Zoya mengangguk. Dia juga menyadarinya, karena dia dulu banyak mengikuti les privat, agar nilainya bagus, dan Lander akan mau melihat ke arahnya. Tapi bahkan jika dia berusaha keras menghabiskan waktunya untuk belajar, dan mendapatkan nilai bagus, Lander tidak akan melihatnya. Kini dia mengurangi les yang diikutinya, dan sibuk dengan karir, membuat nilainya banyak yang turun, karena sebenarnya dia tidak terlalu pintar dalam bidang akademik. Tapi malah Lander jadi melihat ke arahnya. Apakah ini lelucon?
"Apa peduli lo Lander. Gue akan tetap lulus dengan nilai segitu!" Zoya menunjukkan seringaian, laki-laki itu seharusnya tidak memperdulikannya seperti dulu.
"Apa yang Lo dapat dengan menjadi model? Lo bisa jadi apapun dengan dukungan orangtua Lo. Haus pujian?" Lander tidak suka dengan respon Zoya. Jawaban seperti itu sudah sering dia dengar dari orang-orang putus asa yang tidak tahu tentang masa depannya sendiri.
Zoya tersinggung dengan ucapan Lander. Dia bangkit dari duduknya, menatap mata laki-laki itu. "Gak selamanya kesuksesan di dapatkan melalui nilai yang tinggi. Apa yang Lo harepin dari nilai-nilai Lo yang bagus itu? Lo salah Lander, orang-orang yang Lo anggap begok sekarang, mereka akan sukses! Dan Lo …," Zoya tidak bisa melanjutkan ucapannya.
"Gue apa? Lo pikir gue akan kalah dengan mereka yang tidak punya rencana dan tujuan?" Lander menertawakannya, dia punya tujuan dan rencana yang jelas, dan dia tidak hanya sedang bermimpi, dia berusaha untuk mewujudkan keinginannya. Kenapa dia akan dibandingkan dengan anak-anak yang bahkan tidak tahu apa tujuannya setelah lulus nanti?
Zoya memejamkan matanya, dia memikirkan apa yang akan terjadi. Nyatanya, banyak teman-temannya nanti yang akan sekolah di luar negeri dan akan memiliki usaha sendiri. Sedangkan Lander, dia tahu Lander mengembangkan bisnis ekspor-impor orangtuanya di Jogja. Mungkin hanya dia yang akan agak terpuruk setelah lulus, karena kehilangan papanya. Mamanya menjalankan bisnis papanya, dan dia hanya melanjutkan hidup dengan perasaan kehilangan. Dan kehilangan akan semakin dalam, saat mamanya juga meninggalkannya. Harta yang ditinggalkan orangtuanya sangat cukup untuk membeli kebahagiaan, tapi dia tidak bahagia. Karena dia kesepian. Kesuksesannya sebagai model juga tidak membuatnya merasa mencapai apapun.
"Apa Lander, Lo gak tahu apa yang akan terjadi di depan nanti!" Zoya menekankan ucapannya.
"Gue tahu, gue punya rencana. Dan Lo, apa yang Lo dapat dengan memamerkan fisik lo kesana-kemari? Lo mau jadi apa hah?" Lander tidak suka Zoya menjadi model, karena seharusnya gadis itu fokus pada sekolahnya. Gadis itu punya banyak hal yang tidak dimiliki orang lain untuk mencapai kesuksesan.
"Gue mau bahagiain orangtua gue. Lo gak akan paham, karena kesuksesan yang ada di kepala Lo itu, beda dengan yang gue inginkan. Jangan sama ratakan kesuksesan semua orang dengan apa yang biasa orang inginkan. Gue, temen-temen, kami punya impian sendiri!" Zoya tahu Lander sangat menyebalkan, tapi kali ini dia sangat kesal. Terlalu kesal hingga dia tidak bisa menahan air matanya.
Lander bingung melihat gadis di depannya malah jadi menangis. Dia tidak bermaksud melukainya. Menghembuskan napas kasar, dia menarik gadis itu dalam pelukannya.
Tangisan Zoya adalah perasaan frustasi, amarah yang kompleks antara perasaan sedih dan marah. Lander seperti menarik emosi yang seharusnya tetap dia sembunyikan.