Dibalik kesibukan orangtua

1111 Words
Lander melihat Zoya baru turun dari mobil, gadis itu mengikat rambut pendeknya, sehingga banyak anakan rambut yang masih tak terikat. Jangan lupa kacamatanya, dia pertama kali melihat Zoya pakai kacamata, berpikir gadis itu mengikutinya. Tapi sekarang, entah apa niatnya, Zoya terlihat bagus dengan kacamata.  "Eh, kaget!" Zoya terkejut Lander tiba-tiba sudah berjalan di sampingnya.  Melirik ke sisinya lagi, Zoya masih tidak bisa mengerti kenapa Lander tidak pergi ke Singapura. Padahal diingatannya, setelah gagal mendapatkan tiket, besoknya Lander langsung pergi dengan penerbangan pagi. Jadi, apakah kisah tentang ini juga berubah? Agak terkejut, banyak hal berubah. "Lo benaran gak pergi?" Zoya pikir tidak akan bertemu Lander hari ini.  "Lo gak akan liat gue, kalau gue jadi berangkat!" Lander berjalan dengan langkah lebih lambat, menyamai langkah Zoya.  Zoya mengangguk tidak terlalu peduli. Melihat sekelilingnya, dia baru sadar kalau banyak anak lain memperhatikan mereka. Maka bisa ditebak, jika akan ada gosip nanti.  "Gue kemaren liat cewek bawa dua tas, sedang minum kopi sendirian di taman!" Lander menunjukkan foto di ponselnya.  Zoya agak kaget dengan apa yang dilakukan Lander. "Lo kayak stalker. Liat gue, tapi kok gak mau nyamperin?"  "Ih males, orang gue juga gak sengaja liat!" Lander memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya. Dia kemudian berjalan cepat meninggalkan Zoya. "Ih sombong amat!" Zoya tidak menyangka, Lander memberitahunya hanya untuk bersikap menyebalkan.  — Saat jam istirahat, Zoya ditanyai oleh teman sekelas Raksa. Menanyakan kenapa Raksa tidak masuk sekolah hari ini. Tentu Zoya tidak memiliki jawaban, karena dia juga sebenarnya belum bertemu Raksa. Pantas saja hari ini Raksa tidak datang ke rumahnya untuk ikut sarapan.  Mengecek ponselnya, dia membuka aplikasi chatting. Ternyata pesannya yang kemarin juga belum dibalas oleh Raksa. Hanya dibaca saja.  Dia pun kembali mengirimkan pesan, "Apa yang sedang kamu lakukan?"  Pesan kedua, "Kamu dimana? Beritahu aku!"  "Kamu sakit?" Zoya akan melakukan panggilan ke nomor Raksa, tapi saat itu Tisa mengajaknya untuk kembali ke kelas. Jadi dia memasukkan ponselnya, menunggu balasan.  — Raksa membuka pesan Zoya. Dia tersenyum tipis merasakan sedikit kehangatan dalam hatinya. Kepalanya yang tadi terasa pening juga sedikit mereda.  Dia kembali ke masa ini dan melihat dirinya yang masih kecil sedang menjalani pengobatan, rasanya sangat menyesakkan.  Satu-satunya hal yang bisa membuatnya sedikit tenang adalah keluarga Pyralis. Perhatian mereka, kebaikan mereka seperti obat untuk luka tak terlihat di hatinya. Sebenarnya bukan hanya Zoya yang mengiriminya pesan, ada Shana yang bertanya kenapa tidak datang untuk sarapan.  Bangkit dari posisi duduknya, baru disadari, ternyata dia sedari kemarin memang belum kembali ke rumah. Untuk melihat dirinya yang masih kecil menjalani pengobatan menyakitkan tersebut.  Melangkahkan kakinya meninggalkan area rumah sakit. Berjalan menuju mobilnya di parkirkan. Saat itu, dia berpapasan dengan orangtuanya. Buru-buru dia membalikkan badannya. Mungkin jika melihat wajahnya, orangtuanya hanya seperti merasa familiar. Karena wajahnya agak berbeda saat sudah dewasa.  Hatinya teriris tiap kali melihat orangtuanya. Mereka tidak jahat, hanya tak berdaya. Dia sangat paham, kenapa orangtuanya jarang menemaninya di rumah sakit, karena orangtuanya harus mencari uang yang banyak untuk biaya pengobatannya.  Dulu saat masih kecil dia pikir orangtuanya sudah menyerah atas dirinya. Tidak lagi tersenyum padanya, dan hanya menunjukkan wajah keputusaan. Hingga dia sembuh setelah mendapatkan pendonor, baru dia tahu orangtuanya selama itu hanya sedikit putus asa. Setelah bisa tersenyum, dia kembali melihat senyum orangtuanya lenyap, saat tahu penyakit kembali menggerogoti tubuhnya. Tanpa sadar air matanya jatuh mengaliri pipinya. Dia bukan satu-satunya yang merasa tersiksa dalam rasa sakit, tapi ada juga orangtunya. Hingga membuatnya berpikir, kematian akan mengakhiri semuanya.  Buru-buru, Raksa masuk ke mobilnya. Dia menangis sesenggukan sambil memukul dadanya. Rasanya sangat sesak, dia seperti mati rasa, tapi sulit bernapas. Butuh waktu beberapa menit, hingga dia merasa tenang. Setelahnya dia hanya terdiam. Saat itu kembali ada pesan masuk di ponselnya. Dia pikir itu Zoya, tapi ternyata bukan. Pesan itu dari Gerald.  "Hei, Lo dimana?"  "Sore ini ikut gue main basket di kompleks depan! Nanti gue jemput!"  Ujung bibirnya terangkat, sepertinya Zoya telah menceritakan pada Gerald, tentang ketertarikannya pada permainan bola basket. Seumur hidupnya, dia tidak pernah bermain dalam tim, bahkan belum pernah memegang bolanya.  Takdir mungkin memberikan kesempatan ini padanya, untuk tidak merasa sakit, juga untuk merasakan apa yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Memiliki teman, bersekolah normal, dan juga memiliki seorang saudara perempuan.  Raksa langsung membawa mobilnya ke arah jalan pulang. Tapi bukan pulang ke rumahnya, dia pergi ke rumah keluarga Pyralis. Mobilnya masuk ke halaman rumah keluarga tersebut, layaknya kembali ke rumah sendiri. Padahal rumahnya ada di sebelah rumah tersebut.  Shana saat itu sedang memeriksa email penting, tapi begitu mendengar suara Raksa memanggil, dia langsung tersenyum lebar, email yang tadi penting jadi tidak penting lagi. Dia langsung berdiri dan keluar dari kamarnya. Dari lantai dua, dia melihat anak laki-laki itu tersenyum ke arahnya.  "Kamu bolos? Bukankah seharusnya belum waktunya pulang? Kamu sakit?" Shana berjalan turun menapaki anak tangga, tapi bibirnya tidak sabar untuk bertanya.  "Maaf membuatmu khawatir!" Raksa memegang perutnya, "Aku lapar, jadi langsung ke sini!"  "Ayo ke dapur!" Shana menarik tangan Raksa menuju ke dapur. Sambil melanjutkan Omelannya. "Kamu tidak menjawab pertanyaanku! Kamu tahu, Zoya juga menanyakanmu!"  Shana tidak memiliki makanan untuk disajikan, tapi dia akan memasak. Karena ada beberapa bahan siap olah, tinggal memasukkan bumbu jadi dan bahannya, makanan akan siap.  Tidak mengatakannya, Shana bisa melihat kalau anak laki-laki itu habis menangis. Dia tidak tahu apa masalah yang dihadapinya. Menghormati privasinya, Shana tidak akan menanyakannya. Karena sebenarnya Raksa cukup tertutup tentang kehidupan pribadinya.  "Zoya ada les setelah sepulang sekolah. Jadi Tante sengaja tidak menyiapkan makan siang!" Shana bisa mengobrol sambil memasak. Juga, Raksa tidak hanya duduk diam menunggu, dia juga membantu.  "Dia seperti punya cadangan energi, tidak pernah mengeluh lelah!" Raksa cukup mengagumi hal tersebut dari Zoya.  Shana hanya tersenyum mendengar ucapan Raksa. "Zoya yang dulu banyak mengeluh. Dia tidak suka belajar, tapi tidak mau nilainya jelek, karena laki-laki yang ditaksirnya akan mengejeknya. Sangat mengejutkan perubahan yang ditunjukkannya. Zoya jadi lebih mandiri, dan juga sangat dewasa sekarang!"  Raksa tidak percaya, karena Zoya yang dia kenal sejak pertama kali datang sebagai tetangga baru keluarga ini, Zoya memang sudah menjadi sosok yang mandiri. "Benarkah? Tapi tidak mungkin orang berubah begitu saja. Pasti ada pemicunya!"  "Entahlah, Om dan Tante saja hampir merasa kalau dia bukan putri kami!" Shana tertawa, jika Zoya mendengar ucapannya sekarang, anak itu akan kesal. "Dulu kami selalu bilang anak itu sangat manja, kapan anak itu akan dewasa, sekarang kami agak merindukan sisi manjanya!"  "Kalian hanya memilikinya, tentu saja kalian tidak ingin melewatkan momen perkembangannya!" Raksa jadi ingat tentang orangtuanya. Bagaimana orangtuanya selalu sibuk, demi bisa memenuhi biaya pengobatannya. Sehingga mereka sangat jarang bisa membuat setiap momen bersama. Meskipun begitu, orangtuanya pasti juga seperti Shana, ingin menyaksikan setiap momen perkembangannya. "Jangan melamun, aih, ayo duduk saja. Tunggu makanannya siap!" Shana berpura-pura tidak melihat perubahan ekspresi Raksa. Dia juga bingung harus bagaimana meresponnya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD