Lander dan anggota timnya sedang bermain basket di lapangan, tapi bukan hanya mereka, ada anak-anak kelas satu yang baru saja bergabung. Sebenarnya tim yang diketuai oleh Lander awalnya hanya anak-anak dari angkatannya, tapi setelah dia meminta adik kelasnya bergabung, tim itu kemudian menjadi lebih kuat. Sudah dua tahun, Lander akan menyiapkan anak-anak dari kelas satu untuk bergabung juga, karena pada akhirnya, anggota tim dari angkatannya akan vakum agar lebih fokus pada ujian.
Beberapa siswa yang hanya ingin menyaksikan pelatihan diminta untuk tidak meneriaki, jika ada kesalahan dalam latihan anak-anak kelas satu. Navo menjadi orang yang memperingatkan penonton, karena pada saat ini itu hanya akan menjatuhkan mental mereka.
"Kenapa tidak dibuat pelatihan yang lebih tertutup saja. Misalnya hanya diantara anggota tim basket dan pelatih saja!" Raksa berkomentar, dia duduk bersama Zoya di kursi paling belakang.
Zoya memperbaiki tudung Hoodienya, dan memikirkan tentang apa yang ditanyakan oleh Raksa. Menurutnya, apa yang dikatakan Raksa memang ada benarnya.
"Ah, gue paham sekarang. Lo gak liat ada lebih dari sepuluh anak yang ingin bergabung. Lander sebagai ketua tim pasti tahu anak mana saja yang memiliki potensi melalui latihan ini, dan dia ingin melakukannya secara adil dan teliti. Dia bertanggungjawab bersama pelatih dan anggota timnya untuk hal ini, jika dilakukan secara terbuka, anak-anak tidak akan menyalahkan mereka, jika hanya sedikit yang bisa bergabung. Toh jika pun tidak bisa bergabung, mereka akan tetap dilatih hingga siap untuk bergabung!" Zoya menjelaskan, sambil mencoba mengingat lagi, anak mana saja yang nantinya akan terpilih.
Dulu dia adalah stalker sejatinya Lander, jadi dia selalu ikut menonton sesi latihan mereka. Melihat para siswa di lapangan, Zoya memiliki dua anak yang bisa dia ingat akan bergabung dalam tim.
"Menurut Lo yang mana yang akan bergabung, jika tebakan Lo bener, gue ajak nonton. Tapi kalo gue yang bener, gue akan ajak Lo nonton!" Raksa ingin mengetes lagi keyakinannya tentang Zoya.
Zoya mengerutkan keningnya, dia bisa dengan mudah mengatakannya, tapi dia tidak mau disebut cenayang. Karenanya, dia memilih satu yang benar dan satu yang salah sebagai kandidat terpilihnya.
"Sebenarnya benar atau salah gak ngaruh ya, karena siapapun yang benar, kita akan tetap pergi nonton!" Zoya tahu Raksa hanya menggodanya agar mau pergi nonton.
Tertawa, Raksa lanjut memperhatikan permainan mereka. Dia bisa melihat para senior bermain dengan santai, dan anak-anak yang sedang pelatihan bekerja sangat keras. Mereka dibagi dua tim, setiap tim memiliki satu senior sebagai ketua tim. Sedangkan senior lainnnya hanya mengamati dan memberikan arahan.
"Navo dan Lander terlihat sangat serius, pelatih mereka juga!" Raksa melihat ketiganya berdiri di pinggir lapangan, mengamati jalannya permainan.
"Lander sangat perfeksionis, dia tidak akan mentolerir anggota timnya melakukan kesalahan. Jadi dalam pelatihan ini, dia senior yang cukup ditakuti!" Zoya mengatakannya sambil tersenyum, karena dulu dia memuja kemampuan bermain basket Lander, tapi banyak siswa yang tidak menyukai Lander. Sikap Lander dalam mengahadapi semua hal selalu serius, dia dianggap tidak asik dan kaku, hanya sedikit yang bisa bertahan dengan karakternya tersebut.
Raksa mengerutkan keningnya, Zoya seperti cermin. Gadis itu bukan hanya bisa tahu banyak hal, tapi juga sangat memahami karakter orang, dan sepertinya Zoya sangat memahami Lander.
"Apa?" Zoya kaget, saat menoleh, ternyata Raksa sedang memperhatikannya.
"Enggak! Lo cantik banget!" Raksa memuji, dia tidak heran dengan kecantikan Zoya. Shana dan Zian juga memiliki penampilan yang menakjubkan, jadi tentu anak mereka akan jauh lebih menakjubkan.
Zoya memutar bola matanya, karena bisa-bisanya Raksa menggodanya dengan pujian. "Apa gue juga harus puji lo, ganteng banget? Receh banget tahu!"
Tertawa lagi, Raksa menggelengkan kepalanya. Dia sangat senang akhir-akhir ini mereka jadi sangat dekat. Zoya bahkan tanpa ragu melibatkannya dalam pemotretan, meskipun hanya untuk menemaninya saja.
Keduanya kembali fokus melihat ke lapangan, dan Zoya melihat Lander tengah melihat ke arahnya cukup lama. Raksa juga melihat hal tersebut, dia mengerutkan keningnya, karena tatapan Lander untuknya sangat mengerikan.
"Kayaknya Lander suka sama Lo!" Raksa mengungkapkan apa yang selama ini hanya dia pikirkan.
Zoya mengangguk. "Iya, kayaknya sih!"
Zoya dan Raksa jadi saling menatap, kemudian tertawa bersama. Keduanya menjadikan hal tersebut sebagai hal yang lucu. Meskipun tidak tahu dimana letak lucunya.
"Tisa nyariin gue. Dia pasti bakal ngomel, kalau tahu gue nonton latihan basket!" Zoya membaca pesan yang baru saja masuk, dan ternyata itu dari Tisa.
"Gerald, itu Gerald kan?" Raksa berseru, dia bahkan berdiri dari posisinya untuk memastikan hal tersebut.
Zoya memasukkan kembali ponselnya ke sakunya, dia juga ikut berdiri dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Raksa. Tapi fokusnya bergeser pada gadis yang duduk di sebelah Gerald.
"Itu ada Mia juga. Mereka lagi-lagi nyelinap masuk sekolah kita!" Zoya hanya bisa tersenyum tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, karena tidak tahu kenapa, Gerald, Mia dan Ariel sangat suka datang ke sekolahnya.
Raksa juga memperhatikan, dan dia juga yakin kalau itu Mia. Tapi hanya dua orang itu saja, kali ini tidak bersama Ariel.
"Ayo, kita samperin mereka!" Raksa menarik Zoya untuk mengikuti langkahnya. Dia bahkan kemudian merangkul bahunya.
Keempat orang itu akhirnya duduk berjejer. Terlihat senyum mereka terukir begitu tulus. Zoya merasa senang, sampai dia ingin meneteskan air mata. Dia dulu pernah berpikir Gerald, Mia dan Ariel bukan teman sejatinya. Karena mereka pada akhirnya meninggalkannya sendirian, terpuruk dalam rasa kesepian. Mereka bahkan tidak pernah bertemu lagi setelah lulus sekolah. Tapi sekarang Zoya berpikir, mereka sudah cukup mengindahkan masa remajanya. Apa lagi yang dia inginkan dari mereka? Ikut terpuruk bersamanya? Tidak semua orang harus terus bersamanya dalam setiap momen. Termasuk, mungkin orangtuanya juga.
"Gue mau ke toilet!" Zoya bangkit dan langsung pergi. Dia tiba-tiba merasa sangat terluka setelah memikirkannya lagi. Betapa egoisnya dirinya selama ini, dia ingin orang-orang tetap bersamanya. Dia ingin orangtuanya tetap ada bersamanya. Tapi bukankah semua juga egois sepertinya, ingin semua orang yang disayang tetap bersama di setiap momen?
"Apa gue terlalu egois, karena gak mau mama sama papa pergi?" Zoya bertanya dalam pikirannya, dan dia tidak mengharapkan jawaban. Dia tidak mau mendengar jawaban dari hatinya.
Duduk di sebelah pintu toilet, Zoya menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia mencoba untuk tetap tenang. Tidak menangis, tapi dia sedang marah. Dia tidak mau merasa sebagai orang yang egois.
Seseorang berjongkok di hadapan Zoya. Mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Zoya. Tentu membuat Zoya terkejut, dan ternyata pemilik tangan itu adalah Lander.
Mereka hanya saling menatap, karena keduanya sama-sama tidak tahu apa yang harus dikatakan. Lander yang pertama mengalihkan pandangannya. Dia bangkit berdiri dan menjatuhkan kemeja sekolahnya hingga menutupi kepala Zoya.
"Jangan jongkok di sana. Lo terlihat menyedihkan!" Lander berbalik, dia berdiri membelakangi Zoya.
Zoya berdiri, dia sedang kesal, tapi Lander malah membuatnya merasa lebih buruk. "Ya udah, jangan peduliin gue!"
Lander menangkap bajunya yang dilemparkan Zoya padanya. Dan gadis itu sudah berjalan cepat meninggalkannya. Tertawa tak percaya, Zoya bersikap kasar padanya.
"Hei, dasar aneh!" Lander meneriaki Zoya. Dia yakin gadis itu mendengarnya, karena Zoya sempat berbalik untuk memberikannya jari tengah.
"Gadis itu sangat keterlaluan!" keluh Lander sambil merapikan bajunya yang jadi kusut.
Akhir-akhir ini Zoya bersikap agak bar-bar pada Lander. Mereka jadi sering bertengkar setiap bertemu, tapi kadang mereka juga cukup akur. Berkebalikan dengan Zoya, Lander bersikap lebih manis setelah Zoya pingsan terakhir kali. Mungkin laki-laki itu merasa bersalah.