Foto keluarga

1092 Words
Zian dan Shana baru kembali dari night party, saat akan masuk ke kamarnya, bertepatan dengan pintu lain yang berhadapan dengan pintu kamarnya itu terbuka. Raksa baru saja keluar dari sana. "Kamu menemani anak nakal itu? Apakah dia sudah tidur?" Zian ingin melihat putrinya sebentar. "Baru saja, dia terlihat sangat lelah! Anda juga harus beristirahat paman Zian!" Raksa yang baru saja diusir oleh Zoya untuk kembali ke kamarnya sendiri itu juga terlihat lelah. "Tentu, kembalilah ke kamarmu. Besok pagi-pagi sekali kita sudah harus ke Bandara, agar kalian sempat untuk pergi ke sekolah!" Zian menepuk pundak Raksa, dia berlalu masuk ke kamar putrinya. Raksa melihat punggung Zian yang menjauh, dan tersenyum tipis. Menutup pintu tersebut dan pergi ke kamarnya sendiri. Tidak banyak yang bisa dilakukan bersama Zoya, karena wanita itu sibuk dengan les online, kemudian bertelepon dengan teman-temannya. Sedangkan dia hanya duduk di dekatnya. Tapi hal sederhana seperti itu saja cukup untuk membuatnya bahagia. Di dalam kamar Zoya, Zian memandangi wajah lelah putrinya yang sedang tersenyum melihatnya. Putrinya terbangun lagi, saat dia datang. Agak merasa bersalah, tapi dirinya tidak akan tenang jika belum melihatnya. "Tidurlah, papa akan keluar setelah kamu benar-benar tidur!" Zian duduk di pinggiran tempat tidur, tangannya terulur untuk mengusap rambutnya. "Pa, apakah selama ini Zoya begitu mengecewakan? Zoya tidak pandai, nilai bagus di beberapa mata pelajaran, itu didapatkan dengan usaha yang sangat keras. Itupun hanya bisa membuat Zoya masuk sepuluh besar di kelas. Zoya tidak pandai melakukan apapun, dan Zoya juga tidak memiliki kemapuan khusus. Zoya belum pernah membuat papa dan mama bangga!" Zoya ingat anak-anak lain sudah sering membuat orangtua mereka bangga, seperti menjadi juara kelas, menjadi ketua OSIS, memenangkan perlombaan di sekolah sampai tingkat nasional, dan banyak hal lagi. Tapi dia, tidak ada kemampuan khusus yang dimilikinya. "Kenapa? Kamu sering membuat kami bangga. Apakah papa harus menyebutkannya? Saat kamu pertama kali bisa berjalan, padahal anak-anak seusiamu masih merangkak. Saat kamu menjadi satu-satunya yang berani bernyanyi di pentas sekolah saat TK dan SD." Zian dan Zoya sama-sama tertawa, karena mereka masih sering menonton video rekamannya, dan bagi Zoya agak memalukan. "Saat kamu bisa mengendarai sepeda, karena usaha keras pantang menyerah hingga kakimu penuh luka. Dan apakah kamu lupa, sudah berapa kali kamu membawa piala kemenangan dari olimpiade bahasa Inggris dan debat bahasa Inggris. Banyak hal yang kamu lakukan membuat kami bangga. Papa berharap, kami bisa terus melihat hal membanggakan dari putri kami itu sampai kami tua. Terimakasih, sayang!" Zian Sebenarnya tidak pernah bisa mengungkapkan betapa dia sangat menyayangi putrinya, dengan melihat putrinya terus tumbuh dan berkembang, itu adalah kebahagiaan. Zoya tidak bisa menahan air matanya. Karena dia tahu mama dan papanya tidak berumur panjang. Dia tidak menjadi anak yang membanggakan, karena setelah kehilangan orangtuanya, setiap harinya dia hanya menginginkan kematian segera menjemputnya. "Besok kita harus bangun pagi. Kamu juga harus pergi ke sekolah, bukan? Tapi jika kamu ingin ambil cuti lagi, papa bisa minta izin pada wali kelasmu!" Zian sebenarnya tidak terburu-buru, tapi Zoya sendiri yang menginginkan agar hanya cuti sehari. Sehingga mereka harus pulang ke Indonesia pagi-pagi sekali. Tidak bisa membuka suaranya, Zoya hanya mengangguk dan menarik selimutnya. Dia memejamkan matanya, agar papanya segera keluar dari kamarnya. Menahan rasa sesak di dadanya, dia benar-benar ingin berteriak. Berjanji dalam hatinya, dia akan menjadi model terkenal. Membuat papa dan mamanya bangga. Setidaknya, dia akan melakukan keahliannya, dan memanfaatkan kesempatan kedua ini untuk menciptakan senyum lebar di wajah orangtuanya. Zian mengecup puncak kepala putrinya, menatapnya penuh kasih sayang, hingga beranjak dari kamar itu. Dia hanya memiliki satu putri, dan putrinya tumbuh menjadi anak yang baik. Itu sudah cukup baginya. Tidak ada hal lain yang dia inginkan dari sang putri. Karena dia yakin, putrinya akan memiliki banyak waktu untuk membuat dirinya hebat. Jika orangtua lain ingin anaknya menjadi dokter, menjadi orang hebat atau mewarisi bisnis, maka dia tidak. Apapun yang diinginkan putrinya, dia akan mendukungnya. — Pagi itu, Shana bertugas membereskan pakaian, sedangkan Zian bertugas membangunkan anak-anak. Masih pukul enam pagi, tapi mereka bahkan sudah harus pergi ke Bandara saat itu juga. "Bukankah kita seperti keluarga yang manis!" Shana tidak berhenti merasa bahagia, perjalanan kali ini terasa begitu lengkap dengan keberadaan Raksa. Anak manis yang selalu memperhatikan semua orang. "Mau ambil foto untuk kenang-kenangan?" Zian menawarkan, dia tidak membawa kamera, tapi foto dari ponselnya juga tak kalah bagus. "Malu, Zoya gak mau!" Zoya benar-benar malu, karena saat ini mereka sedang di Bandara. "Ide bagus. Aku mau!" Raksa sudah langsung memeluk Zian dan Shana, tersisa Zoya yang memiliki ekspresi buruk. "Siapa yang akan mengambil foto?" Zoya melirik pada tangan Raksa yang sudah merangkul orangtuanya. Seolah-olah dialah orang asing dalam rombongan. Mereka menemukan orang untuk membantu mengambil foto. Formasinya, Zoya ada di sebelah papanya, dan Raksa berdiri di sebelah mamanya. "Wah, kita benar-benar seperti keluarga!" Zoya melihat hasilnya dan tidak tahu harus senang atau sedih. Dia jadi merasa bukan anak tunggal lagi. Shana yang paling bahagia, dia terus memuji kalau hasil fotonya sangat bagus. Bahkan hampir menangis karenanya. Membuat Zoya yang akan memprotes jadi mengurungkan niatnya, karena mama dan papanya terlihat senang. Pada pukul delapan pagi, Zoya dan Raksa sudah tiba di sekolah. Mereka tidak mandi, karena hanya sempat untuk sarapan saja. Benar-benar pagi yang melelahkan. "Ada apa?" Zoya melihat Tisa terus menatapnya tanpa berkedip. "Lo bener-bener kakaknya Jonial Raksa?" Tisa tahu kebenarannya, tapi karena satu foto, dia hampir merasa kebenaran itu menjadi abu-abu. "Gak usah bikin gue kesel. Semua juga tahu gue anak tunggal di keluarga Pyralis. Sepupu? Gue gak punya, Tante gue baru aja tunangan, jadi belum memiliki keturunan yang bisa gue sebut sepupu!" Zoya menjelaskan lagi dengan jelas, karena ada beberapa yang juga ikut mendengar ucapannya. "Tapi ini?" Tisa menunjukkan bukti foto yang sempat membuatnya berpikir hanya editan. Tapi setelah melihatnya, jika editan pasti seorang ahli yang melakukannya. Karena terlalu nyata. Zoya melihat senyum lebar dari ketiga orang di dalam foto, karena di foto itu dia tidak tersenyum. Foto yang diambil pagi tadi di Bandara, kini menyebar dan membuat gempar. "Jonial Raksa!" Zoya berteriak kesal. Dia malu, karena telah bicara dengan jelas kalau Raksa hanya orang asing, tapi malah muncul foto keluarga bahagia yang membuatnya sakit kepala. Tisa menenangkan Zoya. Karena artinya foto itu nyata. Entah bagaimana bisa mereka berfoto bersama, tidak lebih tepatnya bepergian bersama, tapi tidak memiliki hubungan. Tentu tidak mungkin. "Raksa mengunggah foto ini di akun media sosialnya pagi ini, dan kau tahu dia anak baru yang sedang disukai banyak wanita di sekolah kita. Jadi mereka mengambil foto ini dan menyebarkannya. Lagi pula, punya adik tampan sepertinya bukan hal yang memalukan 'kan Zo?" Zoya tidak berkomentar, karena dia sendiri tidak bisa berkata-kata. Dia berencana akan memukul anak itu nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD