Album foto

1130 Words
Menggunting satu hingga terkumpul cukup banyak, Raksa sangat menikmati apa yang sedang dilakukannya bersama Zoya. Mereka hendak membuat album foto kenang-kenangan, menggunting pinggiran foto sebelum menempelkannya, sekarang hampir semua pinggiran foto telah digunting.  "Kamu memiliki banyak sekali foto, bahkan saat sedang belajar berjalan, ini sangat imut!" Raksa meleleh melihat begitu lucunya foto-foto yang dikumpulkan orangtuanya Zoya, dari mulai Zoya masih bayi hingga sekarang.  "Hem, papa suka memotret setiap momen karena mereka hanya punya gue, mereka khawatir melewatkan momen tumbuh kembang putri tunggalnya. Lihat, gue lagi nangis juga banyak kan?" Zoya sudah memotong foto-foto yang menurutnya lucu, dan meninggalkan yang menurutnya aneh, papanya memiliki terlalu banyak foto aneh dirinya yang absurd.   Raksa mengangguk dan tersenyum, dia bisa melihat kasih sayang Shana dan Zian yang begitu besar untuk Zoya. Tidak terbayangkan, bagaimana nanti jika Zian akhirnya pergi dari kehidupan mereka. Apakah Zoya masih akan bisa tersenyum lebar seperti yang sekarang ini dilihatnya?  "Nanti papa gue pasti kaget pas liat ini. Dia bisa marah, karena gue rusak sebagian koleksi foto ini atau senang karena menyukai karya kita!" Zoya tidak tahu dapat ide dari mana tentang membuat album kenangan ini, tapi dia ingin membuatnya begitu saja.  "Shana dan Zian pasti menyukainya. Saat melihat ini, seseorang bisa melihat bagaimana kamu tumbuh dengan baik di keluarga ini, anak-anak lain akan iri. Aku bahkan tidak memiliki satu pun foto yang bisa dikenang seperti ini!" Raksa mengusap foto yang baru saja ditempelkannya di album foto. Tersenyum, melihat foto Zoya remaja yang sedang bermain salju.  Zoya menoleh melihat ekspresi di wajah Raksa. Dia tidak tahu kenapa Raksa tidak memiliki satu foto pun, karena orangtua biasanya suka memotret anak mereka. Apalagi dia juga dengar Raksa anak tunggal. Apakah itu hanya gurauan untuk meledeknya, karena memiliki terlalu banyak foto?  "Kalau begitu, ayo kita ambil foto dan tempelkan di bagian akhir, nanti gue juga bakal nambahin foto kita yang di Bandara waktu itu!" Zoya berdiri untuk mengambil kamera polaroid miliknya, agar hasilnya langsung jadi dan bisa langsung ditempel.  Melihat Zoya membawa kamera polaroid, Raksa mengerti. Dia juga bersemangat, karena bisa ikut menempelkan foto itu nantinya di Album kenangan keluarga Pyralis.  "Senyum, satu, dua tiga! Cheese!" Zoya mengambil satu foto dengan tangan kanannya, dia kemudian langsung melihat hasilnya. Ternyata tidak terlalu bagus. "Sekali lagi, Lo jangan jauh-jauh dong!"  "Oke!" Raksa bergerak untuk duduk lebih dekat, berada di belakang Zoya dan bersiap dengan senyum lebarnya. Air matanya hampir menetes, tapi dia menahannya. Jika Zoya mengetahui kebenaran tentang siapa dirinya yang sebenarnya, mungkin Zoya tidak akan mau bersikap sedekat ini dengannya.  Zoya mengumpulkan foto mereka, memilih dua yang terbaik. Satu diberikan pada Raksa, dan satunya dia gunting pinggirannya untuk ditempel. Menuliskan di bawah foto tersebut, 'Raksa tetangga baru'. "Aku akan menyimpan ini dengan baik!" Raksa mengambil dompetnya, kemudian menaruh foto itu di sana.  Tertawa, Zoya hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Pacar lo nanti pasti bakal cemburu, kalau liat foto itu!"  Raksa ikut tertawa, tidak terbayangkan dia akan menyimpan foto di dompetnya. Tapi, sepertinya apa yang dikatakan Zoya tidak akan terjadi. Dia akan mati, tidak ada gadis yang akan mempermasalahkan foto itu.  "Ayo selesaikan dengan cepat. Nanti kita cari makan setelah ini. Gerald, Mia dan Ariel kita ajak juga!"  Zoya kembali fokus dengan apa yang sedang dipekerjakannya. Dia bisa melihat bagaimana bakat model itu terbentuk, karena mama dan papanya suka mengambil fotonya hampir di setiap momen. Dia biasa dengan kamera dan kini dia juga bekerja dengan berhadapan dengan kamera.  Melegakan, kini papanya telah melihatnya bukan hanya berfoto untuk mengabadikan momen, tapi momen akan mengabdikan fotonya. Semua orang mulai membicarakan tentang model muda Zoe Pyralis, putri tunggal dari pasaran Shana dan Zian Pyralis.  "Raksa, pilih ini atau ini? Papa gue yang sedang tersenyum atau papa gue dengan wajah kaget?" Zoya menemukan foto yang hampir sama, sepertinya foto itu diambil tiba-tiba, sehingga di foto pertama papanya dengan raut wajah kaget dan kemudian dengan senyum manis di bibirnya.  "Keduanya bagus, papamu sangat tampan meskipun sedang kaget sekalipun!" Raksa mengungkapkan pendapatnya, karena jika diingat lagi, selama dia tinggal di dekat rumah mereka dan sering berkunjung, dia belum sama sekali melihat wajah Zian Pyralis yang bersedih atau marah. Meskipun dengan ekspresi datar, tetap saja tidak menakutkan.  Zoya mengangguk setuju. "Papa gue emang tampan. Tapi Lo gak perlu muji dia kalo ada orangnya. Dia sudah sangat percaya diri dengan ketampanannya, jangan tambah lagi!"  Keduanya sama-sama tertawa. Kemudian mulai kembali menempelkan foto lagi. Zoya sesekali meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku, karena terlalu lama duduk, tapi melanjutkan lagi setelahnya. Mereka baru selesai setelah menghabiskan tiga jam lebih, karena Zoya lebih banyak bercerita sambil menempelkan foto.  Raksa pendengar yang baik, dia hanya tersenyum dan kadang menanggapi dengan seadanya. Keluarga Pyralis adalah bentuk nyata dari keluarga bahagia yang paling diungkapkan oleh anak-anak di luar sana, bahkan dirinya sendiri. Orang tua yang bisa menjadi teman, bisa juga diandalkan dan juga tidak memiliki tuntutan pada anaknya. Begitu juga dengan Zoya, dia bukan anak nakal, tapi cukup berambisi di usia muda. Cantik, baik, dan humble. Mungkin itu alasan Tuhan menguji mereka dengan perpisahan. Raksa terdiam memandangi wajah Zoya, semakin lama dia memperhatikan, semakin sakit hatinya.  "Eh, Gerald telpon. Lo tolong kumpulin foto yang tidak kita pakai, nanti gue balikin lagi ke kotak penyimpanan!" Zoya meminta tolong dan berjalan keluar kamar untuk mengangkat telepon.  Zoya meminta Gerald untuk mengecek daftar anak yang terdaftar dalam penerima donor hati di wilayah Jakarta. Kemungkinan akan cukup banyak, tapi Zoya yakin akan menemukan nama anak itu. Sebelumnya dia terlalu bersedih dan syok, sehingga tidak pernah tahu nama anak itu. Entah apa yang akan dilakukannya setelah tahu, hanya saja dia benar-benar ingin tahu.  "Gue udah dapat nama-namanya, tapi ada beberapa yang dirahasiakan oleh pihak rumah sakit karena alasan tertentu. Lo mau apa sih nyari info tentang ini?" Gerald tidak mengerti, kenapa Zoya tiba-tiba memintanya mencari tahu tentang anak yang butuh donor hati. Terlalu tidak masuk akal.  "Makasih ya udah bantu gue. Nanti kirim aja file-nya ke email gue!"  Zoya tidak menjawab pertanyaan Gerald dan langsung mematikan sambungan teleponnya. Hingga dia ingat sesuatu, ingin mengajak Gerald makan malam di luar. Dia mengirimkan pesan pada Gerald. Mia dan Ariel mendapatkan pesan yang sama, mereka langsung setuju untuk pergi.  Kembali ke kamarnya, Zoya melihat Raksa masih berkutat dengan foto-foto yang berserakan. Laki-laki itu sangat penurut, Zoya merasa sangat puas dengannya. Raksa tidak mengeluh, jika itu Gerald, pasti sudah mengeluh lelah dan bosan sejak tadi.  "Sampahnya biarkan di sana, gue aja yang beresin. Lo balik aja buat bersiap, nanti balik lagi ke sini ya. Jangan lama-lama!" Zoya menarik Raksa untuk bangkit dari posisi duduknya, kemudian mendorongnya untuk segera keluar dari kamar.  Raksa menurut. Dia mengusap puncak kepala Zoya sebelum pergi. "Iya bawel!"  Zoya terdiam memperhatikan punggung Raksa yang mulai menjauh hendak menuruni tangga. Dia tidak tahu kenapa bisa begitu merasa sangat dekat dengan laki-laki itu. Padahal Raksa adalah satu-satunya orang yang tidak pernah ada diingatannya. Seharusnya dia khawatir dan curiga. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD