Semua orang memiliki kepedihan

1272 Words
Zoya melihat tangannya yang digenggam erat oleh Raksa, mencebikkan bibirnya memperhatikan pandangan orang-orang di sekitarnya. "Tunggu di sini sebentar ya?" Raksa melepaskan genggaman tangannya, dia berlari menuju temannya di seberang lapangan voli. Mereka harusnya bekerja kelompok hari ini, tapi karena Zoya sedang sendirian di rumah, Raksa memilih mengerjakan bagiannya di rumah Zoya saja. Menunggu Raksa yang sedang bicara dengan temannya, Zoya melihat sekitarnya. Semua anak-anak di sekolah itu terlihat bersemangat untuk meninggalkan halaman sekolah. Zoya tersenyum, tidak pernah terpikirkan akan memiliki kesempatan untuk melihat hal seperti itu lagi dalam hidupnya, bahkan merasakan lagi. Menjadi anak sekolahan lagi, terlepas dari beban menjadi orang dewasa yang kesepian. Entah disebut keberuntungan atau kemalangan, karena artinya dia akan melewati kejadian buruk lainnnya di depan nanti untuk keduakalinya. Saat masih sibuk dengan pemikirannya, Zoya mendengar suara teriakan wanita. Melihat ke arah sumber suara, Zoya melihat Sari yang kesal sambil terus memaki Navo, karena laki-laki itu pergi tanpa mempedulikannya. Zoya bisa menebaknya, jika mereka mungkin sedang bertengkar. "Jangan dengar, kata-kata seperti itu tidak baik untuk didengarkan!" Raksa yang sudah kembali berdiri di sisi Zoya menutupi telinga Zoya, agar tidak mendengar makian Sari. "Gue bukan anak kecil!" Zoya menghempaskan tangan Raksa, kemudian berjalan lebih dulu menunju halaman depan sekolah. "Sari sangat cantik, Navo juga terlihat sangat menyukainya, apakah pertengkaran seperti itu agak disayangkan?" Raksa terlihat sangat menyayangkan telah menyaksikan pertengkaran tadi. Kesan awal yang dilihatnya saat pertama bicara dengan Sari, wanita itu keren dan manis, tapi ternyata bisa marah dan memakai seperti tadi. Sedangkan Navo, Raksa juga berpikir laki-laki itu bijak dan cukup baik. Zoya yang awalnya tidak terlalu mempedulikan tentang apa yang mereka lihat barusan, jadi kembali mengingat bagaimana ekspresi Navo saat berjalan meninggalkan Sari. "Kenapa dengan pertengkaran, hal seperti itu bisa terjadi pada hubungan. Mereka kadang akan berbagi kasih, kadang juga akan bertengkar. Lo gak pernah kayak gitu emangnya?" Menggeleng sebagai respon, Raksa memang tidak pernah bertengkar dengan siapapun. "Aku gak pernah punya hubungan seperti itu!" "Serius?" Zoya tentu tidak bisa mempercayainya. Karena Raksa adalah laki-laki yang berpenampilan modis, tinggi dan cukup tampan. Pasti sudah memiliki banyak kekasih sebelumnya. "Hem!" Raksa kembali mengangguk meyakinkan. Zoya menyipitkan matanya memperhatikan ekspresi wajah Raksa, dia masih tidak bisa mempercayainya. Bahkan sekarang ini Raksa adalah salah satu laki-laki populer paling diminati di sekolahnya. "Lo gak pernah pacaran?" "Enggak, aku tidak memiliki teman perempuan sebelumnya!" Raksa mengatakannya dengan perasaan pedih di hatinya. Sedangkan Zoya malah tertawa keras. Dia sekarang cukup yakin Raksa sedang membohonginya. Bagaimana mungkin dia mempercayai ucapannya yang tidak masuk akal seperti itu. Merasa tidak dipercaya, Raksa hanya bisa membuang napas panjang. Bagaimana mungkin dia akan berbohong? Kehidupannya lebih banyak dihabiskan di rumah sakit sejak kecil, bahkan setelah dia mendapatkan donor dan sembuh, dia masih hanya tinggal di rumah sepanjang waktu. Belajar di rumah, bermain di rumah, tidak ada kehidupan layaknya anak-anak lainnnya. Hingga awan gelap kembali menghampiri hidupnya, membuatnya harus kembali ke rumah sakit. Miris, Raksa tidak tahu apa itu menikmati kehidupan, karena yang dia ketahui hanyalah bertahan hidup. Kehidupan aneh yang kini dia jalani, Dia menganggapnya sebagai kesempatan dari Tuhan. Bisa bersekolah formal dan berbincang-bincang dengan teman-teman baru. Sungguh, dia seperti sedang menjalani kehidupan dalam mimpinya selama ini. Meskipun di waktu yang salah. "Tenang saja, gue juga belum pernah pacaran kok. Satu-satunya laki-laki yang gue sukai nolak gue!" Zoya menyenggol lengan Raksa, meskipun dia berpikir Raksa sedang berbohong, dia memilih mempercayainya. "Lander?" Raksa menanyakannya sambil menoleh ke samping untuk melihat wajah Zoya. "Iya!" Raksa menggelengkan kepalanya, bagaimana mungkin Lander menolak gadis baik dan cantik seperti Zoya? Mengingat kepalanya yang tadi dipukul pakai buku oleh Lander, membuatnya kembali merasa kesal. "Kenapa?" Zoya melihat Raksa menunjukkan reaksi tidak suka. "Gue udah gak suka lagi sama dia. Tenang aja!" "Bagus deh, aku tidak mau kamu masih menyukainya!" Raksa tiba-tiba menjadi posesif. "Makasih!" Zoya masuk ke mobil Raksa, laki-laki itu bahkan membukakan pintu mobil untuknya. Raksa tersenyum, dia menutup pintu itu lagi dan langsung berlari memutari bagian depan mobilnya untuk masuk ke kursi pengemudi. Rasa kesalnya sudah menguap, kini dia sedang berpikir apa yang akan dilakukannya untuk menikmati hari ini. Zoya sedang tidak ada les dan tidak ada jadwal pemotretan. Mereka harus melakukan sesuatu yang mengasikkan. Di kejauhan, Lander melihat ke arah mobil yang melaju meninggalkan halaman sekolah. Dia belum bicara dengan Zoya setelah gadis itu kembali ke bersekolah. Bahkan mereka sama sekali belum bertemu lagi. Rasanya agak hampa, seperti ada yang kurang. Gadis cantik yang dulu mengejar-ngejar dirinya, kini bahkan mengabaikannya. "Lander, Lo dipanggil sama pak Aziz. Anak-anak yang lagi kejar program beasiswa kuliah di luar negeri juga pada diminta kumpul!" ujar seorang siswa memberitahukan pada Lander. Lander mengangguk mengerti, dia tidak mengenal siswa laki-laki yang bicara padanya itu. Jadi tidak ada percakapan. Lander hanya langsung berbalik kembali ke area dalam sekolah. Tadi dia ke halaman depan untuk memberitahukan pada anak-anak basket, kalau tidak ada latihan untuk hari ini. Saat sampai di ruang guru, Lander langsung diminta duduk di salah satu kursi. Guru sedang memberikan arahan dan masukan, karena hanya dua orang saja yang memiliki nilai memenuhi kriteria untuk bisa masuk di universitas di luar negeri dengan beasiswa. Salah satunya adalah Lander. Bahkan diperkirakan Lander akan mendapatkan undangan dari beberapa universitas luar maupun dalam negeri. Prestasinya sangat bagus. Pembicaraan itu panjang, Lander tidak terlalu tertarik mendebarkan. Dia sudah mempersiapkan segalanya, hinggap merasa cukup yakin bisa masuk salah satu universitas di luar negeri dengan jalur beasiswa tanpa kesulitan. Saat pandangannya terarah pada jendela, dia melihat siluet seseorang berdiri di luar. Lander mengenalinya, karena laki-laki itu adalah teman sekelasnya. "Pak, saya ada urusan, bisakah saya pulang lebih dulu?" Lander sedari tadi tidak diajak bicara, jadi dia pikir kehadirannya tidak terlalu penting dalam diskusi tersebut. "Yah, kamu bisa pulang Lander. Pertahankan prestasimu. Bapak tidak memiliki saran lainnnya!" Guru itu tahu Lander hanya berusaha menghindari diskusi. Karena sebenarnya pembicaraan kali ini adalah untuk anak-anak yang memiliki kemungkinan kecil bisa lolos seleksi beasiswa keluar negeri. Lander bisa tidak ikut hadir. Lander mengangguk, dia membawa tasnya dan berjalan keluar. Saat itu dia melihat Alam terkejut melihatnya tiba-tiba muncul keluar ruangan. "Lo lagi ngapain? Nguping?" Lander berjalan mendekati Alam, dan orang itu seperti maling yang ketahuan. "Enggak, gue cuma gak sengaja lewat sini!" Alam tidak mau melanjutkan percakapan, jadi dia hendak langsung melangkah pergi. "Kalo Lo tertarik dengan pembicaraan mereka, masuk aja!" ujar Lander membuat Alam menghentikan langkahnya. Yah, karena lewat kemana yang dimaksud Alam, karena di lorong ini hanya ada ruang guru saja. "Mana pantas? Kalian orang-orang pinter!" Alam tersenyum kecut pada Lander, berpikir Lander sedang mengejeknya seperti biasanya. Lander melangkahkan kakinya hingga berdiri di dekat Alam. Dia melirik pada penampilannya. "Kalo gitu, buat diri lo pantas!" Alam tertawa sarkasme, melihat punggung Lander yang sudah berjalan menjauh. Dia tahu Lander angkuh dan sombong, bahkan selalu merendahkan orang-orang yang menurutnya bodoh. Lander diberkahi otak cerdas, tanpa belajar keras seperti yang lainnya, Lander tidak akan mendapatkan nilai rendah. Berbeda dengan dirinya yang meskipun belajar sangat keras, rasanya pelajaran sangat sulit untuk dipahaminya. Lagi, dia tidak memiliki banyak waktu belajar selain di sekolah. Kebutuhan hidupnya tidak bisa terpenuhi jika dia hanya menghabiskan waktu untuk belajar. Bahkan dia bisa sekolah dan adik-adiknya bisa sekolah pun sudah hal yang patut disyukuri. Alam seperti anak-anak lainnya, dia juga ingin bisa bermain, nongkrong bersama teman-teman, belajar untuk dapat nilai bagus, tapi keadaan tidak mendukungnya. Otaknya sudah pusing memikirkan harus dapat uang demi mencukupi kebutuhannya sendiri, juga membantu membayar biaya sekolah adiknya. Karena ibunya juga tidak memiliki uang selain untuk makan sehari-hari. Tenaganya terkuras setelah sepulang bekerja, tidak jatuh sakit saja sudah nikmat baginya. "Tuhan mungkin lupa, ada seorang anak yang juga ingin mencapai mimpinya, seperti anak-anak yang berada di dalam ruangan guru itu!" Alam sadar hidupnya sangat sulit, dan mimpi tidak akan terwujud untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD