Sakit perut

1055 Words
Tempat makan itu tidak terlalu ramai, tapi termasuk dalam tempat makan yang cukup terkenal dikalangan anak muda. Puncak pengunjung biasanya terjadi pada jam sembilan malam, ada hiburan musik juga di jam seperti itu. Karena Zoya pergi makan malam lebih awal, suasananya masih cukup tenang.  "Kamu makan terlalu sedikit, apakah tidak enak?" Raksa memperhatikan cara makan Zoya sejak tadi, dan melihat kalau gadis itu seperti sedang tidak berselera.  "Napa Lo, lagi diet?" Mia menanyakan sambil mengambil kentang di piring Zoya.  "Enggak, gue tiba-tiba merasa perut gue agak sakit. Apa gue kena maag ya?" Zoya juga sebenarnya sedari tadi merasa tidak nyaman pada perutnya.  "Seriusan?" Ariel berhenti makan, dia memperhatikan wajah Zoya. Sepertinya gadis itu bersungguh-sungguh.  Zoya mengangguk, dia agak tidak enak pada teman-temannya. Karena pasti akan merusak mood makan mereka juga. Padahal yang mengajak mereka makan di luar adalah dirinya.  "Ayo kita cek aja, kamu tahan juga gak akan sembuh!" Raksa bahkan sudah berdiri mengantongi ponselnya, bersiap untuk pergi.  "Tapi …," Zoya melihat pada teman-temannya yang lain.  "Gak papa, sana periksa aja. Sakit perut gak boleh diremehkan!" Gerald tahu apa yang dipikirkan Zoya. Dia melihat pada Raksa agar segera menarik Zoya pergi.  Zoya benar-benar pergi dengan Raksa. Dia juga merasa ada yang tidak benar pada perutnya. Dia meninggalkan tagihan makanannya dan Raksa untuk dibayar oleh Gerald. Keadaannya mendesak, meskipun tidak mengatakannya, temannya pasti mengerti.  Mia jadi gelisah, dia tidak tega membiarkan Zoya pergi ke rumah sakit dengan Raksa saja. Seharusnya dia ikut. "Gak papa nih kita biarin Zoya kita sama Raksa. Harusnya kita ikut aja tadi!"  "Gak papa, mereka udah gede. Nanti telpon aja, kita tanya keadaannya!" Gerald yang paling tenang, dia mempercayakan keduanya akan baik-baik saja.  _ Di Rumah sakit, Zoya melihat dokter yang memeriksanya mengatakan sakitnya bukan diakibatkan oleh asam lambung. Karena posisi rasa sakitnya berbeda. Untuk itu dianjurkan melakukan pemeriksaan menyeluruh. Ditakutkan ada masalah dengan organ dalamnya.  "Takut?" Raksa bertanya sambil menatap wajah Zoya yang sedari tadi hanya diam saja.  "Enggak, cuma gak tenang aja!" jawab Zoya sambil berpikir keras, dia mengingat jelas kalau pada saat usia ini dia tidak memiliki riwayat penyakit apapun. Bahkan saat dia mengalami depresi ringan setelah mamanya meninggal, dia tidak sakit meskipun jarang makan. Penyakit yang diidapnya adalah sulit tidur, itu saja.  "Apakah kita harus beritahukan ini pada Shana dan Zian?" Raksa mencoba menenangkan Zoya dengan menggenggam tangannya. Karena gadis itu banyak melamun dibandingkan mengeluh sakit.  Tentu Zoya menolak hal tersebut. Mama dan papanya tidak boleh khawatir. "Enggak perlu, awas aja Lo kasih tahu mereka!"  "Iya, enggak deh!"  Keduanya menunggu cukup lama, hingga akhirnya hasil pemeriksaannya keluar. Foto ronsen yang dipegang dokter tidak menunjukkan adanya keanehan. Dan dari pemeriksaan darah dan urine juga semuanya normal. Tidak ada gejala keracunan seperti yang diduga Raksa.  Setelah itu dokter meminta Zoya untuk dirawat, jika memang merasa masih sakit. Mereka akan mencari tahu lebih dalam tentang penyebab dari rasa sakit itu. Bahkan dokter juga menyarankan Zoya pergi ke psikiater, karena bisa jadi rasa sakit itu hanya ada dipikiran Zoya.  "Ayo kita balik aja!" Itu yang dikatakan Zoya, karena saat itu rasa sakitnya juga tidak lagi terlalu terasa. Sedikit merasa malu dan bingung. Dia telah merepotkan perawat dan dokter.  Raksa masih sesekali melirik pada gadis cantik yang duduk di sampingnya. Karena gadis itu kembali melamun. Seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang serius.  "Beneran udah gak sakit lagi?" Raksa sendiri percaya Zoya benar-benar sakit tadi, karena tidak mungkin Zoya berbohong.  "Hem!" Zoya mengangguk. Dirinya yakin rasa sakit tadi bukan sekedar halusinasinya saja. Tapi kenapa rasa sakitnya seolah-olah menghilang begitu saja, setelah dia mendengar dari dokter kalau hasil pemeriksaannya tidak ada masalah pada tubuhnya.  Menyentuh bagian perutnya yang tadi cukup sakit, dia benar-benar tidak lagi merasakannya. Dia terlihat bodoh sekarang.  "Jangan terlalu dipikirkan. Kamu mungkin kecapekan!" Raksa berusaha menunjukkan senyum, karena dia mengerti Zoya mungkin sedang bingung.  Seperti yang dikatakan Raksa, malam itu setelah sampai di Rumah, Zoya langsung pergi ke kamarnya dan beristirahat. Sedangkan Raksa menginap di kamar tamu, dia takut kalau sewaktu-waktu Zoya kembali merasakan sakit. Keduanya sama-sama tidak bisa tidur, Zoya bahkan baru bisa tidur setelah lewat tengah malam. — Raksa memesan sarapan untuk mereka berdua, dia tadi hanya pulang sebentar ke rumahnya untuk mandi dan bersiap dengan seragam sekolah, setelahnya kembali lagi ke rumah keluarga Pyralis.  "Lo bangun pagi-pagi dan menyiapkan sarapan. Jujur aja gue suka, tapi sebagai pemilik rumah tentu gue sangat gak sopan. Apa ini?" Zoya membuka bungkusan yang sedang akan dituangkan Raksa ke piring.  Raksa tersenyum melihat reaksi Zoya. "Ini namanya nasi uduk. Belom pernah makan ya?"  "Hah, beneran? Gue udah pernah dengar namanya, tapi belum pernah makan!" Zoya cukup excited ingin mencobanya.  "Dulu asisten papaku sering makan ini tiap pagi, pas nungguin aku di Rumah sakit. Aku kadang minta, enak kok. Kamu pasti suka!" Alih-alih bubur ayam atau menu sarapan lainnya, Raksa memilih memesan nasi uduk lewat ojol. Karena dia merindukan makanan itu.  Tanpa Raksa sadari, apa yang dikatakannya membuat Zoya penasaran. Sakit apa hingga seakan-akan Raksa berada di rumah sakit sangat lama. "Lo sakit apa?"  "Hah?" Raksa yang sedang menuangkan air ke gelas Zoya jadi kaget, karena Zoya tiba-tiba menanyakannya.  Tertawa menutupi kegugupannya, Raksa tidak ingat dengan apa yang baru saja dia katakan. "Memang aku belum pernah cerita ya?"  Menggeleng, Zoya tidak tahu apapun tentang Raksa sejauh ini. "Oh yang waktu itu kata nyokap gue Lo gak sekolah, tapi mau ke rumah sakit itukan? Lo sakit apa?"  "Eh, aku lupa gak pesenin buat bekal kamu. Aku pesenin sekarang ya?" Raksa terburu-buru mengeluarkan ponselnya.  "Enggak perlu. Gue Kemaren juga gak bawa bekal kok. Jajan aja ke kantin!" Zoya sudah merepotkan Raksa hingga harus menyiapkan sarapan untuknya. Laki-laki itu sangat cekatan dan bisa diandalkan.  Bukannya Zoya tidak sadar kalau Raksa sengaja tidak mau memberitahunya. Karena semua orang berhak memiliki rahasia, Zoya tidak mencoba melewati batas itu. Karena dirinya saja juga menyimpan rahasia besar yang tidak bisa diceritakannya pada siapapun.  Mereka lanjut makan sambil sesekali membicarakan tentang teman-teman di sekolah. Raksa memiliki banyak teman perempuan dibandingkan laki-laki, membuat Zoya meledeknya. Zoya dan Raksa pergi ke sekolah setelahnya, dan mereka masih mengobrolkan hal-hal tidak penting, tapi cukup menghibur pagi mereka.  Zoya kembali merasakan sakit di perutnya, saat dia telah sampai di kelasnya. Dia tidak menunjukkannya, tapi dia mengatakan pada Tisa kalau perutnya terasa sedikit tidak nyaman, dia tidak bisa menyembunyikan ketidaknyamanan itu dari Tisa. Tapi dia juga tidak bisa mengatakan alasan dari rasa tidak nyamannya. Karena dokter saja juga tidak mengetahuinya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD