Zoya duduk di kursi belakang. Dia sibuk memainkan ponselnya, mengabaikan Tian dan Tisa yang sedang memperdebatkan tentang Tian yang akan ada pekerjaan ke luar negeri.
Sebenarnya Zoya kurang suka dengan Tian. Karena dia tahu laki-laki itu sering membohongi Tisa. Sebenarnya dia pernah bilang pada Tisa, tapi tentu saja semua pilihan itu ada pada Tisa. Sahabatnya itu tetap saja berpacaran dengan Tian, dengan alasan Tian telah melamarnya. Terus merasa kalau Tian hanya mencintai dirinya. Maka Zoya pun tidak akan turut campur.
"Zoya, Lo kok diem aja sih. Bantuin gue dong!" Tisa yang sudah merasa kalah perdebatan, dia meminta bantuan sahabatnya.
Zoya mengangkat pandangannya, melihat pada kedua orang yang duduk di depan. "Kalian bukan anak kecil lagi!"
Menurut Zoya, pacaran hanya buang-buang waktu. Karena dia juga pernah mencobanya sekali, tapi tidak berakhir baik. Dia tidak suka hubungan seperti itu.
"Nyebelin! Lo sama nyebelinnya kayak Tian!" Tisa kesal karena Zoya tak membantunya, agar Tian tidak pergi terlalu lama.
"Please Tisa, jangan kayak gini. Sikap kamu yang kayak gini bikin aku males!" Tian sudah habis kesabaran. Dia paling tidak suka sikap Tisa yang tidak dewasa.
"Ya kamu yang gak mau mengerti aku. Udah berapa kali aku bilang, kalau aku gak suka kamu pergi sama cewek itu. Mana lama banget lagi!" Tisa mulai menaikkan nada suaranya.
"Udah berapa kali aku bilang, dia cuma klien aku!" Tian pun semakin marah, karena Tisa menaikkan nada suaranya.
"Apa harus pergi berdua?" Tisa sudah termakan api cemburu, tidak akan mudah menenangkannya.
Tian memukul setir mobilnya. Dia berusaha tetap tenang, karena sedang menyetir. Sungguh, jika bukan karena ada Zoya duduk di belakang, jelas dia akan memilih untuk tidak jadi pergi saja.
"Kan ada asisten aku. Terus kamu kan tahu dia juga udah punya pacar!" Tian mencoba menjelaskan. .
Tisa tertawa. "Emangnya aku gak tahu, dia itu suka sama kamu. Pake ngasih kado segala lagi pas ultah kamu!"
"Itu kejadiannya kan udah dua bulan lalu. Kita udah bahas dan selesaikan masalahnya. Kamu dah buang kado dari dia. Jangan sebut-sebut lagi masalah yang udah selesai. Kamu ngerti gak sih!" Tian sudah sangat emosi, wajahnya sampai memerah karena kesal.
Tisa tidak lagi mampu menjawab. Hanya air mata saja yang menunjukkan betapa dia sangat cemburu dan kesal. Pekerjaan Tian sebagai arsitek, membuatnya jadi berkenalan dengan wanita itu. Karena wanita itu meminta Tian merancang rumah si wanita yang berada di Bali. Dan bukannya Tisa tidak tahu, kalau wanita itu jatuh hati pada kekasihnya.
Zoya terdiam karena suasana mobil yang tiba-tiba hening. Hanya terdengar isakan lirih sahabatnya. Sungguh, dia muak dengan tangisan itu. Bukankah mengakhiri hubungan yang tidak lagi sehat itu adalah solusi terbaik? Kenapa masih bertahan untuk tetap terluka?
Menatap ke arah jalanan, Zoya bahkan muak dengan dunia ini. Waktu berlalu tanpa memberinya alasan untuk tetap hidup. Apakah dia bisa melalui hari esok saat hari ini saja dia lebih ingin mati.
Mereka sampai di gedung tempat acara diselenggarakan. Pada halaman depan di penuhi karangan bunga warna putih dan ungu. Ada foto yang terpajang di sana. Foto besar Lander dan Luna yang sedang saling menatap.
"Oh, ternyata masih sama!" Zoya memperhatikan foto tersebut. Lander tidak terlalu berubah.
"Wah, gue jadi pengen cepet-cepet nikah!" Tisa sengaja mengeraskan suaranya agar Tian mendengarnya.
Zoya bergeming, dia agak sedih, karena ternyata dia tidak lagi merasa suka pada Lander. Dia pikir dia mungkin masih akan sedikit menyukainya.
"Ayo masuk!" Tian hendak menggandeng tangan Tisa, tapi ditepis oleh kekasihnya itu.
"Lo gak papa?" Tisa bertanya pada Zoya khawatir.
Zoya tersenyum. "Gue pikir kayaknya gue udah mati rasa!"
Zoya berjalan lebih dulu. Membiarkan Tisa berjalan di belakang bersama Tian. Dengan langkah anggun, dia masuk ke dalam bersama para tamu lainnya.
Beberapa orang memperhatikan Zoya. Wanita cantik yang berjalan seperti di catwalk. Juga dari pada ke acara pesta pernikahan, Zoya lebih seperti sedang menghadiri acara night party dengan dress putih yang sedikit terbuka. Sedangkan acara akad seharusnya adalah acara sakral. Seperti kurang pas, tapi tidak terlihat buruk, karena Zoya sangat cantik dan tetap terlihat elegan.
"Zoya, gue mau ke toilet!" Tisa ingin memperbaiki dandanannya, di mobil tadi dia tidak mood untuk memperhatikan penampilannya, karena sedang kesal.
Zoya mengangguk. Dia melihat Tian mengajaknya untuk duduk di kursi tamu yang telah disediakan. Tapi Zoya menolak, dia ingin langsung melihat pengantin wanitanya.
Saat itu acaranya pun hampir dimulai. Zoya ingin secara pribadi menyerahkan hadiahnya. Karena itu adalah gelang mahal. Dia tidak mau hadiah yang dibelinya dengan jumlah uang yang lumayan, tidak sampai di tangan Luna.
Beberapa teman lama Zoya juga ada di ruangan pengantin wanita. Karenanya, Zoya lebih dulu bertegur sapa dengan mereka.
"Zoya!" Luna berteriak senang karena Zoya juga datang.
"Lo kemana aja sih. Gue kangen, tiap kali ada kumpul-kumpul Lo gak pernah ikut!" Luna sangat suka dengan Zoya, meskipun mereka bukan teman akrab. Tapi berteman dengan Zoya membuat para wanita sadar betapa pentingnya jadi cantik dengan attitude yang juga baik.
"Ada, gua terlalu malas keluar kecuali untuk pekerjaan!" Zoya beralasan tanpa berbohong. Karena sebenarnya dia memang malas. Dia tidak yakin ada hal yang tidak malas dilakukannya.
"Wah, model kelas internasional mah memang sibuk. Pasti enak ya Zoya, bisa jalan-jalan kemana-mana!" sahut salah satu temannya yang lain.
Kalimat itu bukan hal aneh lagi di pendengaran Zoya. Banyak wanita mengira menjadi model itu enak. Hanya tinggal berpose, dapat uang, bisa jalan-jalan. Padahal dirinya hampir merasa pergi kemanapun tidak membuatnya merasa senang.
"Zoya, gimana riasan gue? Rasanya nervous banget!" Luna memegang erat tangan Zoya.
Memperhatikan wajah Luna, Zoya tidak akan berbohong, kalau Luna terlihat lebih cantik dari biasanya. Karena sebenarnya Luna bisa dikatakan biasa saja tanpa makeup yang sekarang mempercantiknya.
"Cantik, kalau ditambah pakai ini!" Zoya mengeluarkan gelang yang dibelinya. Dia memakaikan langsung ke tangan Luna.
Semua orang di ruangan itu terkesima dengan kecantikan gelang yang di berikan Zoya. Mereka menatap kagum sekaligus iri. Karena memang warna permata warna-warni yang terkait dengan gelang emasnya menunjukkan kemewahan dan keanggunan yang sangat memukau. Gelang emas terbentuk dengan pola rumit, tapi tidak tebal bahkan sangat tipis. Sehingga tidak berat dan tidak juga terlihat menonjol. Permata warna-warni berukuran kecil yang terkait pada polanya juga jadi mempercantiknya.
"Pasti mahal banget, Zoya Lo yakin ini buat gue?" Luna bukan orang miskin, orangtuanya kaya dan juga dia dokter yang sudah mapan. Tapi hadiah dari Zoya menurutnya terlalu mahal.
"Gue memberikannya, karena lo istri Lander. Pria yang pernah mengisi hati gue. Dan gue pikir dia akan jadi yang terakhir. Karena hati gue sekarang telah mati, bahkan Lander pun tidak lagi bisa menghidupkannya lagi" jawab Zoya dalam pikirannya. Dia benar-benar sedih, karena ternyata hatinya memang telah mati.
"Pengantin yang cantik, layak untuk memakainya!" Zoya berharap Lander dan Luna akan bahagia.
"Makasih, Zoya!" Luna memeluk Zoya erat sampai meneteskan air mata.
Terlibat beberapa perbincangan, tapi kemudian Zoya pamit untuk mencari keberadaan sahabatnya. Dia awalnya kebingungan, hingga akhirnya menemukan keberadaan Tisa yang sedang makan disuapi Tian. Dia tidak percaya kalau yang bertengkar di mobil tadi adalah pasangan itu. Karena sekarang mereka terlihat sangat mesra.
"Dari mana aja Lo?" Tisa mengomel, karena Zoya menghilang cukup lama.
"Kasih kadonya!" Zoya duduk di sebelah Tisa. Dia memperhatikan sekelilingnya, mencari keberadaan Lander.
Semakin merasa kosong, Zoya ingin segera pulang. Tapi sebelum itu, Zoya ingin mengucapkan selamat pada Lander.
Sampai akhirnya acara akad, barulah Zoya melihat Lander. Laki-laki itu terlihat sangat gagah dan tampan.
Luna pun masuk dan duduk di sebelah Lander. Orang-orang terlihat bersorak bahagia, saat Lander dan Luna telah duduk bersisian. Terlihat sekali Luna yang tersenyum malu dan bahagia. Tapi berbeda dengan Lander, pengantin pria itu terlihat biasa saja.
Luna gugup, dia memegang tangan Lander untuk meredakan kegugupannya. Hari pernikahan adalah hari yang menarik bagi seseorang. Karena setelah kelahirannya, dan berada dalam kasih sayang orangtua, pernikahan akan memberikan seorang anak untuk melangkah dalam tahapan yang lebih berani. Yaitu mempercayai dan membangun sebuah hubungan baru.
Lander melihat tangan Luna yang menggenggam tangannya. Dia terpaku pada gelang cantik di tangannya. Warna-warninya mengingatkannya pada seseorang yang menyukai pelangi tersebut.
"Luna, kamu bilang tidak masalah jika aku tidak mencintaimu, karena cintamu cukup untuk kita berdua!" ucap Lander dengan suara tegas. Menatap mata Luna yang melebar karena terkejut, Lander mengucapkannya di hadapan banyak orang.
"Tapi tidak cukup bagiku. Awalnya aku tidak peduli, tapi sekarang aku benar-benar tidak bisa melakukan pernikahan ini!"
Bagaikan petir di siang bolong, ucapan Lander membungkam mulut semua orang. Tidak ada lagi tawa bahagia. Mereka semua terkejut dengan ucapan calon pengantin pria.
"Apa maksudmu Lander?" Luna sangat malu dan sakit hati. Teganya Lander mengatakan hal itu, padahal beberapa menit lagi mereka akan sah jadi suami-istri.
"Kamu bukan wanita yang cocok untukku!" Lander sangat perfeksionis, dia selalu melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Tapi urusan pernikahan diserahkan pada orangtuanya, dan kini dia menyesal. Karena ternyata dia tidak merasa bisa menerima pernikahannya dengan Luna. Wanita yang sama sekali tidak menarik dimatanya.
"Kamu bicara apa Lander?" Luna sudah meneteskan air matanya. Melihat sekelilingnya, merasa sangat malu juga sedih.
Lander akan berbalik pergi, tapi Luna menahan tangannya. "Jangan pergi! Bunuh saja aku Lander, tega sekali kamu melakukannya!"
Sebenarnya Lander tidak tega pada Luna, tapi dia benar-benar merasa pernikahan itu bukanlah apa yang dia inginkan. Karena dia tidak bisa mencintai Luna. Meskipun dia telah sangat mencobanya, nyatanya dia tidak bisa menikahinya.
Berusaha melepaskan pegangan tangan Luna, tapi wanita itu tidak melepaskannya. Dia tetap berusaha. Mengabaikan panggilan dari orangtuanya, Lander ingin segera pergi dari sana.
"Lander, jangan uji diriku. Aku tidak akan memaafkanmu!" ancam Luna pada Lander.
Luna terjatuh cukup keras, karena Lander mendorongnya sangat kuat. Semua orang berteriak, mereka marah dengan sikap Lander yang kasar.
Sedangkan di kursinya, Zoya melihat gelang yang menggelinding di dekat kakinya. Itu adalah gelang pemberiannya untuk Luna. Membungkuk untuk mengambil gelang tersebut, Zoya heran karena gelang itu kembali ke tangannya.
Semua orang terkejut dengan sikap Lander, termasuk Zoya. Dia tidak habis pikir laki-laki itu tega mempermalukan pihak pengantin wanita dan juga keluarganya sendiri.
Alasan macam apa yang cukup masuk akal untuk melakukan hal tersebut. Dia penasaran, kenapa laki-laki itu melakukannya.
Memegang gelang itu, Zoya kembali melihat pada Lander yang sedang di tahan oleh orangtuanya. Mereka sepertinya terlibat perdebatan.
Saat melihat Luna, Zoya melebarkan matanya. Karena Luna berlari menuju meja tamu. Arah tatapannya tertuju pada pisau untuk memotong steak.
Seperti gerakan lambat, Zoya tahu apa yang akan dilakukan Luna. Jika tidak untuk menyakiti dirinya sendiri, bisa jadi untuk melukai Lander.
"Jangan, Luna!" Zoya bergumam, hingga tanpa sadar dia telah berlari mencoba mencegah kejadian buruk yang akan terjadi.
Awalnya Zoya hendak mendorong Luna yang mulai berjalan ke arah Lander, tapi ternyata tangannya meleset. Sesuatu yang tajam telah tertancap di perutnya.
Semua orang berteriak, bahkan Luna juga berteriak histeris. Dia melihat darah yang mulai merembes dari sela-sela pisau yang masih tertancap di bagian perut kanan atas Zoya. Karena ketakutan, dia juga langsung menarik pisau tersebut. Pisaunya tidak terlalu tajam, tapi menusuk cukup dalam, karena kuatnya ayunan tangan Luna saat menusuknya.
Kejadian tak terduga itu membuat Zoya lebih terkejut. Bukankah dia ingin mati, dan sepertinya keinginannya akan dikabulkan. Gelang di tangannya menggelinding, dia pun tumbang dengan nafas tersengal. Rasanya sakit, tapi dia tidak merasa takut.
"Aku akan mati!" Pikir Zoya saat merasakan sakit yang teramat sangat. Dia melihat saat wajah Lander ada di atasnya. Laki-laki itu … dirinya tanpa sengaja menukar keselamatannya untuk laki-laki itu.
"Tidak apa-apa, aku menginginkan kematian ini!" Zoya mengingatkan dirinya di sisa kesadarannya.
_
Zoya terbangun, dia tidak yakin dengan penglihatannya. Karena yang dilihatnya sekarang adalah orang-orang berseragam sekolah.
"Zoya, lo gak papa? Lagian ngapain sih dekat-dekat lapangan basket?" Tisa mengomel, tapi Zoya lebih terpaku pada pakaian yang dikenakan Tisa. Seragam SMA.
"Gue gak sengaja. Dan sebenarnya itu salah Lo!" Lander sebagai orang yang melempar bola nyasar itu tidak menunjukkan rasa bersalahnya.
Zoya kesal mendengar keributan tersebut. Karena dia masih syok dengan ingatannya sendiri. Lagi, untuk kedua kalinya dia jatuh pingsan.
"Angkat Lander. Lo malah diem aja!" Tisa mengomeli Lander.
Dengan sangat terpaksa, Lander mengangkat Zoya dalam gendongannya.
—
Zoya kebingungan, bukannya mati, dia malah kembali ke masa lalu. Bukan kematian yang merenggut kesadarannya. Tapi waktu, Miracle.