11 hari berlalu

1050 Words
Sudah lima hari berlalu sejak kejadian foto editan tersebut. Dan sudah lima hari juga, Zoya tidak terlihat pergi ke sekolah. Anak-anak mulai merasa risau, mereka pikir karena hal tersebut, Zoya akan pindah sekolah. Karena mereka memang sangat keterlaluan. "Zoya katanya belum masuk sejak hari itu, dia mungkin gak mau sekolah lagi disini. Kalo gue di posisi dia, gue juga bakal sakit hati sih!" "Iya, jahat gak sih? Kita saat itu merasa itu lucu. Secara, Zoya biasanya selalu terlihat sempurna, penampilan kayak gimana pun dia tetep cantik. Anak tunggal dan orangtuanya kaya raya. Saat kita lihat ada celah dari kesempurnaan itu, kita merasa sedikit bahagia, karena ternyata gadis secantik Zoya dan sesempurna Zoya bisa dipermalukan. Jujur aja, kalian juga merasa gitu kan? Tapi setelah tidak melihatnya lagi sejak saat itu, gue ngerasa jahat banget. Gue ikut Andil dalam melecehkan seorang perempuan. Padahal gue juga perempuan. Faktanya gue bahkan belum pernah ngobrol sama Zoya, dia gak pernah nyakitin gue, bahkan sebenarnya kita gak saling mengenal, hanya saja bersekolah di sekolah yang sama. Tapi bisa-bisanya gue ikut jahatin dia!" Semua orang di meja itu sedang menyimak, mereka hanya diam. Hingga satu anak lain yang baru bergabung di meja itu menyahuti. "Alah gak usah terlalu dipikirin. Yang sudah biarkan saja. Lagian dia punya uang orangtuanya, dia bisa pindah ke sekolah lain kalau memang gak mau sekolah di sini lagi. Orang kayak dia mah masih bisa bangkit setelah terjatuh, uangnya banyak!" Semua terdiam menatap orang itu, dan tidak berniat menanggapi. Ada beberapa orang yang menganggap semua hal bisa diselesaikan dengan uang. Padahal kaya ataupun miskin sama-sama memiliki perasaan. Sama-sama bisa mengalami depresi jika mengalami tekanan. Dan orang yang berpikir semua bisa diselesaikan dengan uang tidak akan memahami apapun. Di meja lainnya di kantin tersebut, Sari dan teman-temannya mendengar obrolan mereka. Sebenarnya pembahasan tentang Zoya memang masih panas-panasnya. Lagi, Zoya tidak kunjung sekolah sejak saat itu. "Menurut Lo, dia bakalan pindah sekolah?" tanyanya pada Sari. "Gak deh kayaknya, kan guru juga bilang Zoya cuma izin cuti, bukan pindah!" Sari menjawab dengan acuh tak acuh. Di balik permasalahan itu, Sari merasa lega jika Zoya pindah. Karena kecurigaannya tentang Zoya mengetahui hubungan perselingkuhannya, membuatnya tidak tenang. Jika Zoya pergi, maka rahasia itu akan pergi bersamanya. "Yah, eh tau gak kemaren gue deketin Raksa. Itu, anak kelas sebelah, anak baru yang katanya adiknya Zoya!" "Iya, terus kenapa?" Sari menatap temannya dengan malas. "Gue pas itu kan tanya Zoya dimana, dia gak jawab dong. Tapi dia bilang, 'Sekelompok orang bodoh semakin bodoh akhir-akhir ini!' Dia lagi ngomongin siapa ya?" "Elo!" jawab Sari dan temannya yang lain kompak. - Hari-hari berlalu tanpa ada kabar dari Zoya. Lander mencoba mengabaikan hal tersebut. Bukankah itu yang dulu dia inginkan, hidup damai tanpa gangguan. Tapi setiap harinya dia merasa semakin sulit konsentrasi pada apa yang sedang dilakukannya. Dia benci mengakui jika dia memikirkan Zoya. "Lander, kita belajar kelompok di rumah Tisa. Bawa bahan-bahan prakarya-nya. Gue koordinasi yang lainnnya!" ujar seseorang yang sekelompok dengan Lander dalam kelompok cipta karya. Lander tidak menjawab, dia hanya mengangguk ringan. Membenahi kacamatanya, dia memakai helmnya dan naik ke motornya sendiri. Saat itu pandangannya tertuju pada Raksa yang akan masuk ke mobilnya. Laki-laki berwajah bersih dan pakaian yang selalu keren itu juga melihat padanya. Raksa tersenyum sambil melambaikan tangannya pada Lander, karena kaki-laki itu terus menatapnya. Benar-benar aneh menurutnya. Dia langsung masuk ke mobilnya dan melajukan mobilnya keluar halaman sekolah. Tapi baru juga Raksa membawa mobilnya keluar menuju jalan raya, tiba-tiba Lander sudah berada di sebelah mobilnya, menjalankan motornya untuk berjalan pelan di dekat mobilnya. Kemudian laki-laki itu mengetuk kaca mobil Raksa. Begitu Raksa membuka kaca jendela mobilnya, Lander mengatakan agar Raksa menepikan mobilnya. Sebenarnya Raksa malas, tapi karena Lander sudah mendahului mobilnya dan menepi di sebuah halaman toko, maka Raksa terpaksa mengikutinya. Turun dari mobilnya, Raksa menghampiri Lander yang sedang melepaskan helmnya. "Ada apa?" "Kenapa nomor Andrea gak aktif?" Lander beberapa kali mencoba menghubunginya, tapi nomornya selalu tidak aktif, membuatnya kesal. Raksa mengamati ekspresi Lander. Sebelum akhirnya dia menjawab, "Artinya Lo bukan siapa-siapa untuknya!" Lander membuang muka, menahan u*****n. Lalu kembali melihat pada Raksa. "Gue tanya kenapa nomor Andrea gak aktif, jawab itu aja!" Raksa tidak lagi menunjukkan ekspresi wajah santai. Dia tidak suka cara Lander berbicara, bahkan caranya menanyakan tentang Zoya saja seperti ingin mengajak berkelahi. Laki-laki dengan kacamata yang selalu membingkai matanya, kecuali saat bermain basket itu sebenarnya terkesan sangat sombong. "Karena dia gak pakai nomor lama dia. Sekarang lo tahu kan, di matanya Lo itu bukan siapa-siapanya. Karena dia hanya memberikan nomor barunya pada orang-orang yang dia percaya, yang gak akan nyakitin dia kayak orang-orang bodoh yang kemarin ngelecehin dia!" Raksa menyeringai selesai mengatakannya, kemudian dia berjalan kembali ke mobilnya. "b******k!" Lander mengumpat keras. Raksa berhenti saat akan masuk ke mobilnya, dia melihat pada Lander. Laki-laki itu terlihat sangat kesal. "Bagaimana jika kita buktikan saja. Gue akan bilang ke dia. Jika dalam waktu dekat dia gak menghubungi Lo, maka apa yang barusan gue bilang itu benar. Jadi Lo gak perlu repot-repot untuk mikirin dia lagi. Anggap ini sebagai bantuan, suatu hari Lo harus bales gue!" Menatap mobil yang sudah melaju itu, Lander berharap Raksa tidak benar. Rasanya sangat mendengar ucapannya barusan. Tapi tanpa sadar dia mulai menunggu. Sejak siang itu, dia tidak pernah meninggalkan ponselnya, bahkan saat sedang memasak, sedang belajar, sedang berbelanja. Dia selalu memastikan ponsel untuk tetap berada di dekatnya. Satu jam, satu hari, dan hampir satu Minggu, dia sama sekali tidak mendapatkan panggilan atau pesan dari Zoya. Rasanya seperti dicampakkan. Dia masih menunggu, dan sadar kalau dia tidak suka menunggu lagi. Duduk di atas karpet di sebelah tempat tidurnya, Lander menopang kepalanya di tempat tidurnya, menatap pada ponsel di sebelahnya. Setiap detiknya terus berlalu, tapi penantiannya masih belum berakhir. Terbayang di ingatannya Zoya yang sangat suka makan es krim, tapi menahan dirinya, dan pada akhirnya tetap memakannya. Terbayang saat Zoya mengomel tidak mau makan lagi, tapi tetap makan dengan lahap. Bukankah ini terlalu lama? Sudah hampir dua Minggu, tepatnya sebelas hari dia tidak melihatnya, tidak mendengar suaranya, tidak mendapatkan kabarnya. Malam itu, dia berniat untuk tidak menunggu lagi. Dia tidak punya waktu lagi untuk penantian itu. Matanya terpejam setelah mengamati ponselnya cukup lama. Dia terlelap dengan perasaan kesal yang tidak bisa dijelaskan. Ting! Suara pesan masuk di ponsel Lander. Tapi sang pemilik sudah tertidur. Waktu-waktu yang dia habiskan untuk menunggu, sebenarnya sudah berakhir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD