Elen mengawasi dari kejauhan, dia kembali datang ke pesta ini, karena ingin bertemu dengan gadis muda itu. Jika bukan karenanya, dia akan memilih beristirahat di kamar hotelnya.
"Elen, sepertinya gadis itu tidak datang. Kau lihat pasangan yang berdiri di sana, mereka adalah orangtua gadis itu. Tuan dan nyonya Pyralis!" tunjuk sang asisten pada pria dan wanita cantik yang tengah asik berbincang di sana.
Elen membalikkan badannya, dia melihat suasana luar gedung dengan membuang napas kasar. Kedatangannya jadi agak sia-sia. Hingga dia memiliki pemikiran buruk. "Bagaimana jika ternyata anak itu juga sedang sakit. Kau coba temukan nomor kamarnya. Bukankah dia menginap di hotel ini juga?"
"Oh, Baiklah. Kalau begitu ayo kembali dulu. Kita akan bertanya pada bagian resepsionis!"
Keduanya keluar dari area Ballroom menuju gedung lainnnya. Elen mengenakan gaun putih tulang, dengan tatanan rambut diikat rapi pada bagian belakang. Make up tipis, tapi tegas pada bagian mata. Ciri khas dari Elen adalah karyanya selalu unik dan simpel. Mengusung tema modern yang sangat milenial. Bahkan di usianya yang masih tiga puluhan, dua terlihat seperti itu usia dua puluhan, karena pembawaannya dan penampilannya yang selalu ringan.
Elen menunggu asistennya mencari tahu nomor kamar gadis itu. Tidak akan sulit, karena Elen sering menginap di hotel tersebut, mereka mengenalnya, jadi mereka memberikan informasi tersebut dengan kepercayaan tinggi.
"Nomor kamarnya ada di lantai delapan. Ayo, sebelum terlalu larut. Mungkin saja gadis itu juga sudah akan tidur!" Asistennya mengingatkan, karena di sini mereka hendak menemui seorang gadis muda, tanpa lebih dulu bicara dengan orangtuanya.
Keduanya menaiki lift untuk sampai ke lantai delapan gedung tersebut. Kamar nomor 203 adalah tujuan mereka. Elen sendiri sangat tidak sabar bertemu dengan gadis itu, karena jika memikirkannya lagi, kenapa gadis itu memakai gaun merah, saat banyak orang menggunakan warna putih dan hitam menyesuaikan tema.
"Ayo!" ajak asistennya begitu pintu lift terbuka.
Keduanya langsung mencari nomor kamarnya. Dan mereka tidak kesulitan menemukannya. Sekarang mereka telah berdiri di depan sebuah kamar dengan nomor 203. Elen meminta asistennya untuk mengetuk pintu.
Mereka menunggu lama, hinggap seorang laki-laki tiba-tiba muncul setelah pintu di depan mereka terbuka. Hanya satu pertanyaan yang muncul di benak keduanya. Mereka salah kamar atau resepsionis itu salah memberikan informasi tentang nomor kamarnya.
"Halo, saya Elen. Kami mencari seorang gadis muda yang seharusnya tinggal di kamar ini!" Elen lebih dulu memperkenalkan dirinya dan langsung menanyakan tentang niat kedatangannya.
Raksa ingat dengan nama itu, dia memperhatikan penampilan kedua wanita yang berdiri di depannya. Setelah menyadari dia agak tidak sopan, dia meminta maaf karena sikapnya tersebut. "Maaf, aku tidak bermaksud. Emh, bisakah anda menyebutkan nama gadis yang kalian cari itu?"
"Tentu, nama keluarganya adalah Pyralis, dan nama depannya Zoe!" ucap Elen sambil melihat penampilan laki-laki di hadapannya.
"Kalau begitu anda datang ke kamar yang benar. Tapi aku akan mengatakan tentang kedatangan kalian dulu pada Zoya! Maaf harus membuat kalian menunggu!" Raksa memiliki senyum ramah dan nada bicara yang lembut. Tutur katanya sopan, sehingga membuat orang akan memaklumi apapun yang dikatakannya.
Setelah pintu kembali tertutup, Elen menatap asistennya. "Apakah yang tadi kekasihnya? Mungkinkah mereka melakukan sesuatu di belakang orangtuanya gadis itu? Dia membuka pintu sangat lama, dan sekarang menyuruh kita menunggu lagi!"
"Entahlah!"
Elen bukan orang yang akan mengkritik zona bebas anak-anak remaja. Meskipun sangat disayangkan jika diusia belasan, anak-anak sudah melakukan hal yang berani dalam berhubungan. Dia tinggal di kota new York lebih dari delapan tahun, hal seperti itu bukan lagi hal yang tabu.
Pintu di depannya terbuka lagi. Dan yang muncul adalah pemuda itu lagi. Elen langsung masuk saat pemuda itu mempersilakannya.
"Zoya sedang melakukan les secara online. Dia akan selesai beberapa menit lagi!" Raksa bicara sangat lirih. Menunjukkan pada tamunya, kalau sebaiknya mereka juga tidak berisik.
Elen dan asistennya melihat seorang gadis muda sedang menghadap laptopnya. Terlihat kalau baru selesai dengan sesi pembicaraan dengan seseorang. Pemikiran negatif yang sempat terpikirkan di benak keduanya langsung lenyap, karena ternyata gadis muda itu sedang ada les.
Gadis muda memakai gaun polos sepanjang lutut berwarna biru muda. Berdiri di hadapan keduanya, dan yang menarik perhatian mereka, gadis itu sedikit pincang.
"Duduklah, anda sudah tidak sakit lagi?" tanya Zoya langsung, sambil mengambilkan minuman dari kulkas kecil yang ada di pojok ruangan.
"Sudah lebih baik, terimakasih karena bantuanmu!" Elen pun menjawab dengan santai. Karena ternyata gadis itu adalah orang yang berterus terang. Bukan tipe gadis pemalu dan naif, tapi malah terlihat sangat dewasa. Berbeda dengan pemuda tadi, yang masih terlihat begitu naif.
Zoya mengulurkan minuman yang dibawanya. Dia kemudian duduk di atas tempat tidur, di sebelah Raksa. Karena hanya ada dua sofa di kamar tersebut. Menyembunyikan rasa senangnya, karena rencananya untuk menarik perhatian Elen berhasil. Informasi dari kehidupan sebelumnya sangat membantunya.
"Sebenarnya aku tidak melakukan apapun!" Zoya mengatakan apa yang biasa dikatakan orang setelah membantu orang lain.
Raksa menoleh, dia tidak mengerti apa maksud dari pembicaraan mereka. Demi kesopanan, dia menahan rasa penasaran dan mendengarkan dengan tenang.
Melihat cara bicara Zoya agak berbeda dari biasanya. Raksa menyadari wanita yang duduk di sebelahnya itu jadi terlihat begitu dewasa kali ini.
"Kamu memiliki penyakit jantung?" Elen tidak seharusnya menanyakannya, tapi dia penasaran apakah gadis muda itu benar-benar memiliki masalah beser pada kesehatannya. Diusianya, pasti sangat berat untuknya.
Zoya menggeleng, "Jantungku sehat. Obat itu milik temanku, dia memesannya kebetulan aku membawanya di tas!"
Setelah mendengar hal tersebut, barulah Raksa dapat mengerti semuanya. Elen adalah wanita yang dikatakan pingsan saat di acara tadi. Dan kedatangannya ke sini, karena Zoya memberikan obatnya. Kenapa bisa sangat kebetulan?
"Oh, syukurlah!" Elen cukup lega. Gadis muda itu memiliki masa depan yang baik dengan tubuh sehat. Tidak seperti dirinya.
"Elen hendak mengucapakan rasa terimakasihnya. Apakah kamu memiliki sesuatu yang kamu inginkan? Obatnya akan diganti, tapi Elen akan memberikan hal lainnnya sebagai rasa terimakasihnya!" Asisten Elen mengutarakan tentang niat baik mereka.
Zoya melihat Elen mengiyakan apa yang baru saja dikatakan oleh wanita di sebelahnya. Dia pun merasa senang. "Benarkah? Bagaimana jika yang kuminta bukan barang?"
Raksa langsung menoleh, apa yang coba diminta oleh Zoya. Bukankah terlalu memalukan meminta balasan atas pertolongannya? Merasa agak lucu dan malu, Raksa jadi tersenyum canggung melihat kedua orang itu saling menatap dan terlihat ragu.
"Jika tidak bisa, tidak masalah. Aku tidak ingin apapun dari nona Elen. Aku masih memiliki Papa dan Mama. Mereka bisa memenuhi keinginanku, itulah kenapa aku tidak meminta barang atau uang. Untuk pertolongan tadi, sebenarnya hanya kebetulan saja!" Zoya memainkan perannya dengan baik. Semua sesuai rencananya.
Elen mengerti maksud gadis muda di depannya itu. Sebagai anak orang kaya, gadis itu tidak menginginkan sesuatu dari orang lain. Tapi dia juga tidak bisa mengiyakan begitu saja, bagaimana jika yang dimintanya adalah hal yang mustahil dia wujudkan. Maka mereka akan sangat canggung, sebagai pihak yang datang mengunjunginya dengan niat berterimakasih atas bantuan yang diberikannya.
"Apa yang kamu minta?" Elen juga berterus-terang, seperti yang gadis itu lakukan.
Raksa dan asisten Elen hanya mendengarkan. Keduanya sama-sama tidak menyangka pertemuan dengan niat baik menjadi tawar-menawar untuk sebuah kesepakatan.
"Aku ingin menjadi model dari karyamu, nona Elen!" Zoya pun tidak merasa ragu mengatakannya.
Elen mengerutkan keningnya. Bagaimana seorang gadis begitu licik meminta hal tersebut atas ganti sebuah kebaikan. Agak tidak menyangka, tapi tidak membuatnya kesal. Karena artinya generasi baru bukankah bibit gagal yang akan hanya bergantung pada orangtua mereka. Generasi lama hanya harus lebih cerdik dari mereka untuk mengatasinya.
"Kamu bahkan tidak bisa berjalan dengan benar. Dan aku tidak memilih model dari sembarang tempat. Ada standar yang harus terpenuhi. Ada persaingan yang begitu sengit untuk sampai ke tahap itu. Mungkin kamu tidak mengerti, tapi menjadi model tidak semudah yang terlihat, nona!" Elen menjelaskan dengan tenang, dia bahkan merasa lucu. Gadis muda di depannya benar-benar sesuatu.
Raksa tersenyum canggung, dia mengusap punggung tangan Zoya. Agar wanita itu tidak terlalu sedih dan merasa malu. Tidak apa-apa jika ditolak, akan ada jalan lainnya yang lebih wajar.
"Kakiku tidak cidera permanen. Ini akan sembuh besok. Aku melakukan pemeriksaan rutin. Dan aku juga tidak akan memintamu tanpa kemampuan. Bagaimana jika kamu memberiku kesempatan menunjukkannya?" Zoya juga tahu tidak mungkin Elen akan langsung setuju menjadikannya salah satu model peragaan busana dari mereknya. Yang dia minta adalah kesempatan.
Elen mengakui gadis itu memiliki tekad. Tapi bicara saja memang mudah. Bagaimana jika gadis itu bahkan sangat buruk, maka hanya akan mempersulit hidupnya sendiri. Jika dia memberikan kesempatan itu, gadis itu hanya akan menjadi lelucon dari dunia modeling.
"Apa yang ingin kamu tunjukkan?" Elen menantang, jika gadis muda itu memiliki kemampuan, maka kenapa tidak.
"Beberapa hari lagi aku akan tampil di panggung catwalk. Tidak sebesar milikmu, tapi cukup bergengsi di Jakarta. Aku akan mengirimkan video, dan juga beberapa foto padamu. Jika buruk, maka kamu bisa mengabaikannya!" Zoya benar-benar akan berusaha, karena dia ingin menjadi model kelas dunia, dengan disaksikan kedua orangtuanya. Meskipun prosesnya terlalu terburu-buru, memangnya kenapa? Dia sudah melewati proses panjang di kehidupan sebelumnya.
Elen memperhatikan penampilan gadis itu. Bukan hanya penampilan, tapi juga auranya. Karena secantik apapun kamu, jika tidak memiliki aura superstar, maka akan sulit untuk bersinar. Gadis itu tinggi, tapi badannya masih lah milik gadis belia. Auranya juga cukup bagus, tapi masih sangat muda dan terlihat lemah. Sedangkan pesaingnya di luar sana sudah sangat matang dan profesional.
"Aku tidak bisa mengatakan tidak. Tapi aku akan melihatnya. Semoga tidak mengecewakan!" Elen melihat ketegasan di mata gadis itu, dan sepercik harapan muncul di hatinya. Maka, akan bodoh jika dia tidak memberikan kesempatan. Bagaimana jika gadis itu memang berlian, maka hanya perlu menggosoknya agar berkilau, bukan?
"Terimakasih, nona Elen!" Zoya menunjukkan senyumnya, dia merasa lega.
"Elen saja. Aku senang di panggil dengan namaku!"
Elen dan asistennya pergi setelah mereka bercakap-cakap santai. Tersisa Zoya yang merasa bersemangat, karena dia berhasil membuka jalan untuk kariernya.
"Kakak, kamu terlihat seperti sudah merencanakannya?" Raksa menyipitkan matanya melihat wanita yang duduk di sebelahnya memiliki senyum bahagia.
"Anak bodoh. Mana mungkin! Ini semua semua hanya kebetulan!" Zoya melemparkan pena pada Raksa. Dia mengabaikan tatapan Raksa. Dia ingin menghubungi teman-temannya, karena suasana hatinya sedang bagus.