Chapter 3
Mengenalmu
"Ok, tapi kita ke kantor dulu ada meeting penting yang harus saya hadiri, dan gara-gara anda saya terancam rugi jika saya sampai terlambat, ayo masuk," kata laki-laki tadi sambil membuka pintu penumpang, "awas saja jika saya telat anda harus ganti rugi."
"Terus mobil saya gimana?” tanya Amanda bingung dia bahkan tidak menanggapi ancaman Austin.
"Sini kunci mobil kamu biar sopir saya yang mengaturnya," katanya sambil mengambil kunci mobil dari tangan Amanda, tidak sengaja tangan mereka bersentuhan seperti ada aliran listrik mengaliri tangan mereka apa ini ? Batin mereka berdua.
Biasanya kalau sudah ada aliran listrik biasanya ada...
Tagihan listrik!!! wk...wk...
Becanda say....
Biar pada kagak ngantuk.
Merekapun memasuki mobil keren Austin. Amanda mah pasrah bang....
Mau langsung dibawa ke KUA juga oke aja lah...
***
Suasana di kantor seperti biasa semua sibuk dengan pekerjaannya tapi di ruangan CEO ada yang tidak biasa.
Ya, di ruangan yang biasanya hanya ada CEO-nya saja sekarang di sofa ada seorang gadis cantik sedang sibuk dengan gadgetnya tanpa memperdulikan laki-laki yang dari tadi mencuri lihat ke arahnya.
"Gadis yang menarik, cantik, sexy dan tidak kecentilan," batinnya mulai menilai, entah kenapa sejak mereka bertemu hatinya berdesir lembut, perasaan senang bila ada di dekat gadis itu, "Siapa ya namanya?" mereka bahkan belum berkenalan tapi sudah berjanji buat mengajak gadis itu ke apartemennya, tempat yang hanya didatangi keluarga dan sahabatnya saja, dan belum ada wanita yang diajaknya kesana, bukan ralat ... Hanya ada satu wanita yang pernah diajaknya kesana. Tepatnya dua tahun yang lalu. Wanita yang sangat dicintainya tapi dengan tega meninggalkannya tenggelam dalam duka. Selama ini selain satu wanita tercintanya dia tidak pernah membawa siapa pun ke ranah pribadinya. Tetapi dengan gadis itu kenapa dengan mudah dia menyanggupi.
Apa spesialnya gadis muda itu. Bahkan menilik dari penampilannya, gadis itu masih belia. Austin yakin usianya terpaut jauh dengan gadis itu.
Dia biasanya akan membawa wanita yang akan menyalurkan hasrat birahinya ke hotel. Atau tempat wanita itu.
"Siapa namamu, kita belum berkenalan, namaku Austin Gerald Klein," katanya sambil mendekati sofa dan menjulurkan tangannya bersalaman.
"Amanda, Amanda Patricia Dexter," sahut Amanda membalas jabatan tangan dari Austin. Apa dia benar tidak mengingatku? Sama sekali? Kenapa rasanya kecewa banget ya? Apa dirinya begitu transparan di mata Austin?
Dia bahkan tidak peduli dengan nama Dexter.
Lagi-lagi sengatan mereka rasakan, bukan kesakitan yang mereka rasakan tapi kenyamanan, sampai mereka tersadar mereka bersalaman lumayan lama. Austin mencium buku jari Amanda membuat gadis itu memerah karena malu, baru kali ini ada yang memperlakukannya semanis ini. Dan itu adalah cinta pertamanya. Austin.
Tok tok tok, bunyi ketukan pintu menginterupsi mereka dari pikiran mereka masing-masing.
"Masuk,” sahut Austin sambil berjalan kembali ke mejanya.
Shinta, sekretarisnya masuk dan menyerahkan beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Austin.
Austin memperhatikan pakaian Shinta yang masih terbuka, dan itu membuat dia mengernyitkan dahinya tidak suka, bukannya dia tidak suka dengan body sexy, harus diakuinya, Shinta punya body yang ok tapi ini tempat kerja dan dia tidak suka ada yang berpakaian seperti mau ke diskotek saja.
"Saya kemarin sudah memperingatkanmu soal pakaian yang kamu kenakan, kenapa hari ini masih memakai baju kurang bahan seperti itu, kalo kamu mau mengajak laki-laki bercinta jangan ke kantor datanglah ke diskotek," kata Austin datar. Tapi sikap dinginnya bahkan membuat Shinta gemetar ketakutan. Dia tidak menyangka akan kena tegur lagi. Pikirnya Austin tidak serius dengan perkataannya kemarin. Hello lelaki mana sih yang menolak dapat suguhan gratis body sexy? Tapi kayaknya tidak berlaku pada bos tampannya itu. Sialan!
"Maaf pak, akan saya perbaiki," sahut Shinta gemetar, dia tidak menyangka respon Austin seperti itu, biasanya pada umumnya para bos senang jika melihat body sexy, tapi bosnya berbeda.
“Bukannya saya sudah memberimu waktu?”
“Maaf pak saya belum sempat belanja pakaian.”
Dan itu tidak terlewat dari perhatian Amanda "menarik" batinnya kagum, sosok Austin memang berbeda. Dia memang arogan tapi tidak player walaupun dia sangsi jika Austin tidak bermain wanita, tapi paling tidak bisa menempatkan diri, intinya tidak gampangan. Dan profesional. Kekaguman Amanda kian menanjak.
"Oh ya kamu mau minum apa Amanda, maaf aku belum menawarimu minuman," kata Austin lembut saat berbicara dengan Amanda .
Bahkan panggilannya sudah berubah aku kamu, bukan saya dan anda lagi. Pertanyaan lembut Austin yang sangat berbeda saat berinteraksi dengan sekretarisnya, itu spontan membuat perhatian Shinta teralihkan ke Amanda, "Siapa Amanda? kekasih CEO-ku kah? kenapa dengan gadis itu dia sangat manis, aku belum pernah melihat CEO-ku bersikap selembut itu, cantik sih, tapi cantikkan aku lah" batin Shinta tak terima dikalahkan oleh gadis yang masih bau kencur itu.
Aish Shinta kayaknya nggak punya kaca nih guys....
Kaca mana kaca? Yang gede sekalian. Biar Shinta bisa melihat mana yang wanita cantik. Dan mana wanita jadi-jadian?
"Coffee with cream please," sahut Amanda malas, dia tahu pandangan sinis sekretaris Austin itu memandang tidak suka padanya, apa pedulinya? Amanda mengangkat bahu tak peduli. Bukan urusannya apa yang orang lain pikir tentang dirinya, selama mereka tidak bersikap yang menyinggungnya Amanda acuh.
Melihat Shinta tidak beranjak membuatkan pesanan Amanda membuat Austin geram. Merasa tak dianggap oleh sekretarisnya sendiri di depan gadis semanis Amanda.
"Kenapa masih di sini, cepat buatkan pesanan tamu saya," hardik Austin geram bisa-bisanya Shinta membuatnya malu di depan Amanda.
"Maaf," ucap Austin lagi meminta Amanda memaafkan ketidaksopanan sekretarisnya. Dia menatap Shinta dengan pandangan marah.
"Sudahlah Austin jangan marah, sekretaris baru ya?" tanya Amanda, yang dijawab anggukan Austin. Amanda menenangkan Austin yang terlihat mau keluar tanduknya, apalagi melihat Shinta yang keluar dengan muka merah padam menahan tangis agak tidak tega juga sih. Tapi Amanda bisa apa?
Entah mendengar suara lembut Amanda membuat emosi Austin langsung hilang, sepertinya Amanda mulai mempengaruhi kehidupan seorang Austin Gerald Klein yang dingin dan arogan tanpa lelaki itu sadari. Padahal sudah lama Austin tak mau mendengarkan siapapun. Apalagi kalau orang luar dan baru dia jumpai. Jangan harap Austin akan bersikap semanis dan semenurut itu.
Dering telepon terdengar dari dalam tas Amanda, gadis itu mengernyit tak suka, no name, nomor asing. Dia agak ragu mau mengangkat tapi dibukanya juga karena dia penasaran apa yang akan penelepon itu katakan.
"Halo," sapanya pada penelepon. Lama tak terdengar sahutan, hanya suara nafas seseorang yang terdengar. Sialan orang iseng, gerutunya dalam hati.
"Kalau tidak mau bicara aku tutup," ujarnya kesal, baru dia akan menekan tombol telepon warna merah untuk mematikan panggilan.
"Tunggu, aku hanya tidak percaya kau menerima teleponku," sahut suara lelaki di seberang sana. Dari suaranya Amanda tidak dapat menebak siapa yang sudah lancang menelponnya. Lagipula bagaimana lelaki itu menyimpan nomoer ponselnya? Selama ini Amanda tidak sembarangan memberikan nomer ponselnya. Hanya keluarga dan beberapa teman dekatnya saja.
"Siapa?" tanya Amanda datar, dia menatap Austin yang tak melepas tatapannya sedikitpun darinya. Dan ada tatapan marah di sana, apa dia tidak suka aku menerima telepon di kantornya? Apa dia merasa terganggu? Tentu saja bodoh, gerutu Amanda. Dia pasti terganggu dengan suara pembicaraannya. Dengan canggung Amanda menatap Austin yang tak bergeming di tempatnya dengan tatapan tajamnya. Amanda menyesal sudah mengangkat telpon di depan Austin. Entah apa yang sedang lelaki itu pikirkan, Amanda tidak bisa menebaknya.
"Edward," sahut suara itu lagi.
"Maaf Edward aku sedang sibuk, teleponnya aku tutup dulu ya," sahut Amanda merasa tidak enak pada Austin. Lelaki itu memperhatikan setiap gerak-gerik Amanda hingga wanita itu bergerak gelisah di tempatnya duduk.
Oh ... lelaki itu bahkan sudah melotot. Amanda takut matanya nanti akan jatuh....
Pasti dia terganggu dengan suaranya.
Dia berniat menutup teleponnya
"Tunggu, aku mengajakmu dinner malam ini bisa?" tanya Edward cepat sebelum Amanda menyentuh tombol merah itu.
"Dinner? Malam ini?" tanya Amanda tak percaya, "maaf aku tidak bisa."
Dan ruangan menjadi hening karena Amanda sudah memutuskan panggilan itu secara sepihak tanpa perlu mendengar apa lagi yang dikatakan oleh Edward.
"Maaf, aku berisik ya?" tanya Amanda merasa tak enak. Apalagi tatapan Austin yang seakan mengulitinya. Austin memang marah. Tapi bukan karena suara berisik itu. Tapi Austin marah karena merasa terganggu Amanda berbincang dengan teman prianya. Ada rasa tidak suka di hatinya saat itu. Entah apa yang Austin pikirkan saat ini. Yang dia tahu kini rasa sesak di d**a dirasakannya, hanya karena mendengar ada seorang lelaki menghubungi Amanda. Harusnya dia tak peduli kan?
Austin tak mengerti dengan kemarahan yang kini dia rasakan. Kenapa?
Mereka bahkan baru kali ini bertemu. Bahkan pertemuan itu bukanlah pertemuan yang baik. Mereka bertemu karena sebuah kecelakaan yang membuat mereka terkait satu sama lain.
>>Bersambung>>