Tujuh

1083 Words
Saat semuanya seakan berhenti bahkan berakhir, Berpikirlah sejenak, Mungkin Tuhan mengharuskan kita untuk menyesal. _ anonim _ . . _____ "Mbak gak apa kalau Nada pulang?" tanya Nada pada Aida sesaat sebelum ia naik ke atas sepeda listrik yang sehari-hari dibawanya untuk datang bekerja ke rumah Reza dan Aida. Aida menganggukkan kepalanya, "Gak apa, itung - itung belajar kalau misalnya Mas Reza ada urusan diluar kota lagi." "Tapi tadi Nada udah dipesenin untuk temenin mbak," ujar Nada dengan ekspresi serba salah. Ia ingin menemani Aida seperti perintah Reza, tapi beberapa saat lalu ia mendapat telpon dari sang ibu yang mengabarkan kalau ayahnya kecelakaan dan saat ini berada di rumah sakit. "Udah Nad, ibu kamu lebih butuh teman saat ini dibanding Mbak. Kamu pulang gih sekarang. Hati - hati, jangan ngebut," Aida mengingatkan Nada. Nada mengganggukkan kepalanya, "Mbak langsung kunci pintu yaa. Aku sekalian izin beberapa hari ini," "Iya, udah buruan kamu pergi, udah setengah sembilan, nanti kamu kemalaman mau ke rumah sakitnya. Atau mau aku telponkan Dana untuk temenin kamu?" "Eeee, jangan mbak...." refleks Nada berkata melarang Aida. "Makanya udah buruan kamu pulang. Mbak mau tidur ini," "Iya mbak, iyaa..." jawab Nada sambil bersiap naik ke atas sepeda listriknya dan mulai mengendarai kendaraan roda dua anti polusi itu setelah sebelumnya mengucap salam pada Aida. "Wa'alaikumussalam...." jawab Aida sambil beranjak masuk ke dalam rumahnya. Setelah mengunci pintu dan memeriksa keadaan seluruh jendela tertutup sempurna, Aida melangkah menuju kamar tidurnya sendiri. Ia dan Reza memang tidur di kamar terpisah sejak hari pertama mereka menginjakkan kaki di rumah mungil itu setelah sehari pesta pernikahan mewah mereka berlangsung di kota kelahiran Aida. Aida membuka kerudung yang menutupi kepala dan helaian rambutnya sehari - hari apabila ia berada di luar kamar. Menyampirkan penutup mahkotanya itu pada kursi yang ada di depan meja rias kamarnya. Entah mengapa sejak pertama kali menginjakkan kaki dirumah itu, ia merasa kamar itu memang diperuntukkan untuk dirinya. Bukan karena ia terlalu percaya diri, namun dekorasi, penataan perabot dan bahkan warna pun persis seperti apa yang pernah ia ceritakan sebagai impiannya pada Reza dahulu, kala mereka masih saling mencintai. Benar, ia merasa dulu mereka saling mencintai, namun sekarang sepertinya ia hanya cinta sendiri. Aida merebahkan kepalanya pada bantal bersarungkan kain berwarna hijau pupus, senada dengan seprai yang menutupi tempat tidurnya. Matanya masih enggan menutup. Rasanya kejadian siang tadi masih terus berputar di kepalanya. Bagaimana Reza dengan bringas dan penuh emosi memerawaninya yang sangat tidak siap. Baginya permasalahannya betul - betul sepele. Ia yang tengah bercanda dengan Dana bisa mengundang murka suaminya itu. Tanpa memperdulikan Dana yang mencoba melerai, Reza menarik paksa dirinya dan memerangkapnya dalam kamar lelaki itu. "Allah... jangan jadikan aku membencinya. Jikalau memang aku yang salah, maka lembutkan hati suamiku..." lirihnya sambil mendekap guling yang ada disebelah kirinya. Aida memandang lurus pada bingkai foto yang terpajang di dinding kamarnya itu. Foto pernikahan dirinya dan Reza. Foto yang hanya berani ia pajang di kamar pribadinya karena takut Reza tidak menyukai foto tersebut apabila dipajangnya di dinding ruang tamu rumahnya. Aida teringat kala pertama ia terbangun dari tidur panjang paska menjalani terapi untuk membunuh sel tumor yang hinggap di paru-parunya tiga bulan yang lalu. "Kamu sekarang sudah menjadi seorang istri, sayang..." kata - kata mama begitu indah didengar kala Aida menanyakan perihal cincin yang tersemat di jari manis sebelah kanannya saat itu. "Siapa ma?" "Reza, sayang. Reza telah resmi menjadi suami kamu..." "Reza?" tanya Aida dengan kening sedikit berkerut di wajahnya yang masih pucat bak patung. "Iya sayang, Reza. Reza Hardian yang selalu kamu ceritakan pada mama..." Mata Aida membola tak percaya, "Reza ma? Mama nggak bohong?" Tangan wanita paruh baya yang berhiaskan gelang mewah mode terbaru brand ternama itu mengelus lembut kepala Aida, putri semata wayangnya yang tertutupi jilbab berwarna hitam, "Iya sayang. Sekarang dia lagi kembali ke tempat dia menginap. Dua minggu lalu, saat kamu masih dalam kondisi kritis, dia datang bersama Dana dan Ryan. Dia mengatakan akan menikahi kamu, dan dia melaksanakannya sayang, dia tidak pergi lagi. Dia sekarang sudah menjadi suami kamu..." "Benar kah ma?" tanya Aida yang masih tak percaya. "Iya cintanya mama. Makanya kamu cepat pulih, kalau kamu pulih. Setelah kamu pulih, kita bakal adakan pesta untuk merayakan pernikahan kamu," Aida yang tersadar dari masa kritisnya begitu bahagia ketika sang mama memberi kabar bahwa ia telah menyandang status sebagai istri dari seorang Reza Hardian, lelaki yang selama ini selalu ia selipkan namanya dalam bait-bait doa disetiap malam panjangnya. Lelaki yang padanya hatinya tertaut tanpa mampu berpaling pada siapapun walau ia pernah mencoba membuka hati pada lelaki lainnya. Lelaki yang padanya tak pernah luntur perasaannya dan malah semakin menguat. Kebahagiaan yang dirasakan Aida membawa pengaruh besar bagi kesembuhannya. Segala terapi yang ditargetkan dokter berhasil dengan cukup sempurna, walau dokter masih menyarankannya untuk tetap kontrol setiap sebulan sekali. Seminggu berselang setelah kesembuhan Aida dan sekembalinya mereka dari rumah sakit, resepsi pernikahan mewah itu digelar. Resepsi yang menjadi bahan perbincangan khalayak ramai karena putri tunggal seorang pengusaha sukses baik dalam maupun luar negeri, yang selalu menjadi gunjingan karena tak kunjung menikah dengan berbagai gosip gagalnya pertunangannya terdahulu itu akhirnya di gelar. Aida bak seorang cinderella dalam negeri dongeng. Wajahnya yang ayu berseri terlihat begitu serasi bersandingkan lelaki tampan nan gagah pujaan hatinya yang tak kalah tampan dan gagah. Aida yang berbalut busana berwarna kuning gading, dipadukan dengan hijab yang syari namun terlihat mewah dan elegan, begitu rupawan, membuat siapapun yang melihatnya tak akan pernah melupakan kecantikan dan kemewahan pernikahan mereka. Begitu pula dengan Reza yang begitu tampan dengan balutan kemeja cream yang dipadukan dengan jas dan celana bahan berwarna gold. Wajahnya yang tergas dengan postur tubuh yang tinggi dan gagah, membuatnya dipandang sebagai lelaki yang beruntung dan memang pantas untuk bersanding dengan Aida. Namun malang sepertinya belum lah enggan beranjak dari nasip Aida. Setelah diboyong pindah ke kampung halaman sang suami dimalam resepsi pernikahan megah nan mewah itu, Aida bahkan tak pernah dianggap sebagai seorang istri. Reza mengacuhkannya seolah angin yang bertiup tanpa arah tujuan. Aida yang merasa sepi dan kosong akhirnya mencoba mencari kesibukan lain. Ia mencoba untuk datang ke peternakan Reza yang berada tak jauh dari rumah yang mereka tinggali. Ia mencoba mengakrabkan diri dengan para pegawai yang ada disana. Dan disana pula dia kembali bertemu Dana yang malah berujung pada kemarahan besar Reza yang membuat mahkota terindah yang sejatinya ingin ia serahkan dengan suka rela dan penuh cinta pada sang pujaan hati, pemilik separuh jiwany tapi malah direnggut paksa oleh lelaki itu sendiri. Aida merasa bagai sampah tak berharga yang setelah habis dibuang begitu saja. . . . _____
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD