Sejatinya, membuatmu jatuh cinta
Bagiku tidaklah sulit
Aku cukup meminta pada Nya
Maka kau pun akan jatuh dipelukanku
_____
.
Reza menghempaskan bobot tubuhnya ke atas kasur di kamar penginapan yang disewanya beberapa menit yang lalu. Matanya menerawang jauh, mengingat apa yang sudah dilakukannya beberapa jam lalu kepada gadis yang telah menyandang gelar sebagai istrinya. Ahh, gadis itu bahkan sudah tak gadis lagi karena perbuatannya.
Wanita, mungkin itulah gelar yang tepat untuk gadis itu sekarang. Ya, wanita yang masih selalu menjadi bayang-bayang dalam setiap langkahnya. Wanita yang terkadang singgah dalam lamunnya namun selalu cepat ia tepis mengingat besarnya luka yang ditorehkan ayah dari wanita itu padanya.
"Astaghfirullah..." desah Reza sambil meraup wajahnya.
Kepalanya masih menggeleng tak percaya. Ia masih ingat bagaimana panasnya hatinya ketika mendengar obrolan Aida dengan Dana yang membuat emosinya memuncak.
Emosi yang membuatnya merenggut kegadisan istrinya itu.
Tangan Reza meraba bibirnya. Bibir yang beberapa jam lalu melumat paksa bibir tipis Aida yang berwarna pink natural yang selalu menggoda pandangannya ketika mereka bersantap bersama di meja dapur. Bibir yang dulu sempat menjadi candunya kala mereka masih dalam status pasangan kekasih. Bibir yang selalu berkerut manja ketika ia mencandainya.
Ahhh, bibir itu masih sama rasanya seperti dulu, saat mereka selalu berpagut dimana ada kesempatan. Bibir itulah yang ia lumat kasar tanpa ampun tadi.
Lalu d**a itu. d**a itu masih sama ranumnya dengan saat pertama kali dulu ia menyentuhnya. Ohhh, d**a yang puncaknya terasa begitu hangat dan kenyal ketika ia mengulumnya. Tempat pemberhentian yang dulu begitu menjadi kesukaan tangannya kala mereka duduk berdua di kamar kosnya.
Ya, mereka bahkan sudah sejauh itu dulu. Karena mereka begitu yakin bahwa selangkah lagi gerbang pernikahan akan mereka raih. Cinta mereka sangat menjanjikan dan seolah tak terpisahkan saat itu. Walau ternyata angan tak bersambut dan malang pun tak terelakkan.
Dada Reza masih berdesir hangat saat jemarinya yang besar menyentuh tempat paling intim dari tubuh semampai istrinya itu. Tepat sekali, Aida bertubuh semampai. Ia terbilang tinggi untuk ukuran perempuan. Tubuhnya terbilang kurus tetapi membesar di beberapa bagian yang tepat sehingga membuat lelaki yang memandangnya dahulu bisa tak berkedip. Dulu Aida masih sering mengenakan baju yang membungkus ketat tubuhnya demi menyenangkan hati dan mata Reza yang menjadi kekasihnya.
Jeritan Aida bahkan tidak lagi ia dengar ketika ia menyentakkan bagian inti tubuh Aida dengan miliknya yang selalu terjaga ketika melihat Aida. Ahhh mungkin juniornya rindu dengan sentuhan Aida dulu, sehingga hanya dengan menatap b****g berisi Aida saja ia terbangun.
Namun yang masih ia tak percaya adalah, Aida masih suci. Aida benar-benar menjaga ucapannya untuk mempersembahkan mahkota kesuciannya hanya untuk suaminya.
Walaupun mereka sudah melangkah terlalu jauh saat berpacaran, namun Aida selalu tersadar ketika Reza melewati batas yang ia berikan. Aida biasanya akan langsung memiringkan tubuhnya, atau menahan bobot tubuh Reza untuk mengembalikan kesadaran Reza yang sudah diliputi gairah. Hal itulah yang membuat Reza dulu menjaga jarak mereka. Mencoba untuk bertaubat walau kadang masih tergoda untuk sebatas mengecup bibir yang sudah menjadi candunya.
Tetapi tadi ia benar-benar melakukannya. Ia merenggut kesucian Aida. Merenggut mahkota berharga yang seharusnya diberikan Aida dengan sukarela di malam pertama pernikahan mereka andai ia tak mengucap kata itu dua bulan lalu, kali pertama Aida menginjakkan kaki di rumahnya sebagai seorang istri. Kata yang membuat jarak terbentang diantara mereka.
Egonya sebagai lelaki yang pernah disakiti dan akhirnya dapat mempersunting Aida membuatnya merasa bahwa Aida seolah barang yang akhirnya bisa ia miliki.
Reza terduduk, menatap hamparan pasir pantai yang tersaji dihadapannya melalui jendela kamar yang terbuka. Ia ingat bagaimana akhirnya mereka bisa menikah. Kejadian yang terjadi hampir tiga bulan silam.
"Tapi rasanya saya belum pantas untuk bersanding dengan Aida, Pak,"
"Kenapa nak Dana? Apa karena Aida kami sedang terbaring dan tak tau kapan akan sadar?" tanya Mama Aida spontan.
"Bukan begitu Bu, kalau bisa saya pun ingin menjadi pendamping hidup Aida, tapi untuk menjadi suami Aida, saya ...."
"Dana!!"
Ucapan Dana terpotong. Dana menoleh kearah sumber suara yang menggema di lorong ruang rawat rumah sakit itu.
'Ini dia makhluknya...' batin Dana sedikit tersenyum.
Kedua orangtua Aida sontak menatap pada sosok lelaki yang datang bersama Ryan. Papa Aida tak menyangka bahwa lelaki itu ada bersama Ryan. Lelaki yang beberapa tahun silam pernah ia usir untuk menjauh dari permata hatinya, Aida Rahmi.
"Ada apa Om?" tanya Ryan begitu mereka berhadapan dengan kedua orang tua Aida.
Papa Aida menggelengkan kepalanya. Berjalan menuju kursi tunggu diluar ruang rawat intensif Aida. Mendudukkan tubuh paruh bayanya yang masih terlihat begitu gagah dengan celana bahan dan baju kaos berkerah dengan merk ternama.
Kepalanya menggeleng perlahan, "Oom ingin Aida bahagia Ryan, seperti yang selalu kamu katakan. Oom sedang mencoba untuk mencarikan sumber kebahagiaan untuknya..."
"Lalu maksud om, oom akan menikahkan Aida dengan Dana? Begitu?" tanya Ryan masih tak habis fikir dengan apa yang dilakukan Oom Panji, papa Aida.
Pertanyaan Ryan hanya dijawab anggukan kepala oleh pengusaha tambang batu bara itu.
"Oom tau kan bagaimana perasaan Aida walau selalu ditutupinya? Oom tau kan siapa lelaki yang selalu diharapkannya untuk menjadi pendamping hidupnya? Oom tau kan dengan siapa Aida sebenarnya ingin menikah?"
Lagi-lagi pertanyaan Ryan hanya dijawab anggukan kepala saja.
"Maksud kamu apa, Ryan?" tanya mama Aida.
Ryan memalingkan wajahnya, "Tante, aku ingin marah dengan kalian, tapi rasanya waktunya tidak cocok. Kalian terlalu abai sebagai orangtua. Aida itu hanya menginginkan Reza sebagai pendamping hidupnya, tante..." jawab Ryan frustasi.
"Iya Ryan, kalau soal itu tante tau. Tapi mau dimana kami mencari Reza yang kamu sebut-sebut itu. Kamu tau kan kalau dia bahkan menghilang sampai Ai masuk rumah sakit karna frustasi waktu itu, Ryan..."
Ryan menghela nafas kasar, "Ya Allah tante, jadi tante gak tau Reza itu yang mana?" tanyanya putus asa.
"Maa, stop..." potong sang suami yang mulai lelah untuk mendengar tanya jawab yang tak kunjung mendapat putusan itu.
"Apa memang begitu berat bagi oom untuk menyatukan mereka? Apa tidak bisa oom kesampingkan segala omong kosong tentang bibit, bebet dan bobot itu? Tentang kasta Brahmana, Waisa, Sudra itu? Oom, fikirkanlah Aida, oom. Ini tentang Aida, putri oom yang bahkan kesempatan hidupnya kita nggak tau berapa lama lagi sampai hasil observasi dokter keluar," ujar Ryan yang sudah berdiri dengan lututnya seraya mengetuk pintu hati dan logika orangtua keras kepala di depannya.
Papa Aida berdiri, berjalan mendekati Reza yang berdiri menghadap kamar rawat Aida, membelakangi mereka yang percakapannya jelas mampu didengar olehnya.
"Nak Reza, kamu sudah mendengar semuanya. Lalu bagaimana menurutmu?" tanyanya dengan suara berat.
Reza bergeming, matanya menatap sosok gadis berkerudung biru tua yang terbaring dengan mata tertutup tak sadarkan diri didalam kamar rawat.
"Oom akan mempersiapkan segalanya kalau memang kamu bersedia menikahi Aida. Kamu dan keluarga tak perlu repot-repot lagi mengurus ini itu. Oom akan kerahkan seluruh anggota Oom untuk mengurusnya. Bahkan transportasi untuk keluargamu dari kampung pun Oom yang akan membiayainya,"
Reza mendecih tak suka, "Bahkan disaat seperti ini pun masih saja materi yang anda fikirkan, Bapak Panji Laksono yang terhormat!"
Matanya beralih menatap dalam pada pria yang dulu begitu berkuasa sehingga mampu membuatnya tak punya daya untuk kembali meneruskan kehidupan di kota itu dan beranjak pulang ke kampung halaman.
"Saya bersedia menikahi Aida, asal setelah pernikahan ini anda tidak lagi campur tangan untuk urusan hidup Aida. Biar saya yang mengurusnya di kampung halaman saya!" putus Reza.
"Pa...." mama Aida yang tersadar dengan apa yang diucapkan lelaki yang tak lain adalah Reza yang diimpikan sang putri, merasa tak rela dengan syarat yang diajukannya.
"Jangan pa. Mau jadi apa Aida kalau harus tinggal dikampung, pa. Bagaimana nanti kondisi kesehatannya? Apa disana nanti akan ada dokter yang bisa menanganinya dengan profesional?" cecar wanita berkerudung hijau tosca yang terlihat modis diusianya yang menua itu.
"Aku heran, sebetulnya Aida itu anak mereka atau bukan sih? Sedikitpun tidak ada sifat mereka yang menempel pada Aida," bisik Dana pada Ryan yang hanya mampu melihat drama keluarga kaya itu.
Ryan hanya mampu menggelengkan kepalanya. Ia tau bagaimana Aida dibesarkan. Aida yang hanya bertemankan para pengasuh dan pembantu dirumah mewah bak istana raja. Aida yang bahkan untuk bertemu kedua orangtuanya harus rela tidur larut malam atau bangun sebelum subuh. Aida yang kemudian terjerumus pada lembah hitam dunia remaja.
"Baiklah, saya setuju dengan persyaratanmu asal kau membawa Aida setelah proses pengobatannya saat ini berhasil. Tapi, kau harus menikahi Aida dua hari lagi,"
"Papaa...." bisik mama Aida yang masih tak terima. Anaknya bahkan belum membuka mata barang sekalipun sejak masuk ke ruang rawat intensif.
Reza mengangguk, "Baik. Dua hari lagi saya akan datang untuk menikahi Aida,"
Dana dan Ryan sontak saling berpandangan dengan mulut berucap "Alhamdulillah..."
.
.
_____