Satu
Ketika aku jatuh cinta,
aku merasa malu terhadap semua.
Itulah yang dapat aku katakan tentang cinta."
(Jalaluddin Rumi)
_____
"Mas tolong mas, kamu salah faham..." rintih Aida sambil mencoba menyamakan langkahnya dengan sang suami yang saat ini tengah menarik tangannya.
Beberapa kali Aida tersandung gamis hitam panjangnya sendiri, namun sang suami tidak memperdulikannya.
"Mas, tolong mas...." lirihnya lagi sambil mencoba melepas tarikan di tangannya.
Sang suami bukannya perduli, tapi semakin mempercepat langkahnya menuju kamar pribadi mereka, lebih tepatnya kamar pribadi dirinya sendiri. Karena sejatinya pernikahan yang baru mereka jalani mendekati usia dua bulan ini hanyalah pernikahan diatas kertas belaka. Mereka sama sekali belum menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami kepada istrinya.
"Mas Reza...!!" sentak Aida kaget ketika suaminya itu melepaskan tarikan tangannya tanpa aba-aba dan membuatnya terjatuh tersungkur ke lantai. Beruntung kepalanya tak sampai menabrak nakas kecil yang tepat berada disebelah tempat tidur beralaskan seprei bercorak kotak abu itu.
"Ku biarkan kau sesukamu hampir dua bulan, ternyata kau semakin menunjukkan siapa dirimu!" desis Reza geram.
Aida menggelengkan kepalanya, "Bukan Mas... Tadu itu bukan seperti yang Mas sangkakan...." ucap Aida membela diri dengan suara bergetar. Matanya menatap sang suami dengan tatapan menhiba.
Reza berjalan perlahan menghampiri wanita yang baru ia nikahi di bulan September kemarin. Dengan sigap tangannya meraih kerudung instan yang membalut kepala istrinya itu.
"Lepaskan saja kain ini, percuma kau menutupi aurat mu tapi masih tidak mampu menjaga tingkah lakumu," sentaknya menarik lepas kerudung hijau armi yang dikenakan sang istri dengan wajah merah padam karena amarah.
Aida refleks berteriak, "Jangan Mas... Tolong jangan seperti ini. Mas salah faham..." ujarnya lirih sambil berusaha menjauh dari sang suami yang saat ini tengah membuka kancing lengan kemeja panjang yang dipakainya.
"Dasar perempuan tidak tau diri. Kau tetap tidak berubah! Sepertinya sifat binalmu masih mendarah daging dan tidak bisa hilang dari dirimu!" maki Reza seraya menarik berdiri Aida.
Aida berdiri dengan wajah pias. Air matanya lolos tanpa permisi membasahi wajah sendunya. Sakit dilehernya akibat goresan peniti tajam yang tadi tersemat di kerudungnya ternyata tak sebanding dengan tajamnya tuduhan dan perkataan pria yang berstatus suaminya itu.
Ia menggelengkan kepalanya, masih berusaha meyakinkan suaminya bahwa apa yang dilihatnya tadi tidak seperti apa yang ada dalam fikiran pria itu.
Reza yang sudah berang mempercepat langkahnya dan menarik paksa gamis berkancing depan sang istri hingga beberapa kancing baju berwarna hitam itu terlepas.
"Jangaan!!!" pekik Aida kaget. Tak menyangka Reza, suami yang telah menikahinya bisa berbuat sejauh itu.
"Mas, jangan mas... Ku mohon mas, istighfar mas..." pintanya masih mencoba menyadarkan sang suami yang tengah terhasut setan itu.
Reza yang seolah tak mendengar kalimat permohonan wanita itu, terus menarik paksa pakaian sang istri hingga tesisa pakaian dalamnya saja.
"Ini kan yang kau mau, dasar perempuan gatal!!" bentaknya sambil mendorong kasar Aida sehingga terjatuh tepat di atas kasur pribadinya yang berukuran king size itu.
Aida yang terkejut dan shock tidak mampu lagi berucap walau hanya sekedar kata tidak.
Dibiarkannya sang suami yang tengah marah dan emosi itu menarik lapisan terakhir penutup tubuhnya dan menggagahinya dengan kasar. Tak ada perlawanan sama sekali, tak ada nafsu yang membuncah dan menggelora dihatinya, tak ada gairah yang seharusnya ia rasakan seperti halnya pengantin baru lainnya.
Tubuhnya diam dan membeku bak patung, tak bergerak. Hanya air mata yang terus mengalir bagai rinai hujan yang terus membasahi wajah sendunya.
Hilang sudah mahkota yang dijaganya dengan baik. Walau masa lalunya cukup kelam, tapi mahkota berharganya sebagai wanita tak pernah sekalipun ia berikan kepada kekasih-kekasih masa lalunya.
Puas melampiaskan seluruh amarahnya, Reza berdiri tegak dipinggir ranjang dengan hanya memakai celana pendek yang baru saja ditariknya dari lemari pakaian.
Matanya melirik pada noda merah di sprei yang melapisi kasurnya, tapi kemudian beralih menatap wanita berwajah sembab dengan tubuh tertutup selimut asal.
Kondisi wanita yang telah sah dinikahinya itu nampak tak ubahnya seorang korban perkosaan.
"Aku berhak melakukan ini. Ingat, kau sudah ku beli dari orangtuamu yang kaya raya itu!" desisnya sebelum kemudian melangkahkan kaki membuka pintu kamarnya dan keluar setelah sebelumnya menutup kasar pintu berbahan jati itu.
.
_____
Beberapa bulan yang lalu...
.
Aida tertegun, memandang nomor antrian yang sedari tadi digenggamnya. Sudah tiga puluh menit ia menanti di ruang tunggu pasien. Sudah seminggu ia merasakan sesak di dadanya. Ia memang memiliki penyakit pernapasan yang cukup serius, bronkhitis. Sudah lama penyakit itu tidak kambuh, dan sekarang penyakit itu datang dan membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak setiap malam dan harus terbaring sepanjang hari.
Sebagai seorang guru, ia tidak mungkin bisa sesuka hati untuk meliburkan diri. Maka hari ini ia putuskan untuk segera ke rumah sakit. Ia sudah melakukan scan paru, kini tinggal menunggu panggilan dari dokter untuk menjelaskan apa hasilnya.
“Ibu Aida Rahmi,” panggil perawat rumah sakit itu.
Aida segera bangkit dari duduknya, berjalan menuju ruang dokter. Dokter spesialis paru yang biasa memeriksa Aida hanya hadir di waktu tertentu saja. Terpaksalah ia menyetujui saran suster untuk meminta dokter umum yang membacakan hasilnya.
Di dalam ruangan, lelaki yang sudah cukup lama dikenalnya memandangnya dengan tatapan yang tak dapat dikatakan. Aida duduk di kursi yang telah disediakan.
“Gimana hasilnya Yan?” tanyanya langsung pada sang dokter yang tak lain adalah kakak kelas sekaligus teman akrabnya sewaktu sekolah dasar.
Rumah orangtua mereka berdua bersebrangan. Orangtua mereka pun dirasa cukup akrab mengingat kesibukan yang padat. Namun mama Aidan dan mama Ryan masih tergabung dalam grup arisan komplek yang sama, sehingga Aida dan Ryan kecil sering bertemu dan bermain bersama.
“Udah seminggu baru kamu datang ke aku, Da. Kamu kira ini cuma sesak seperti biasanya?”
“Memangnya parah ya Yan?”
“Kamu lihat ini, ada benjolan di paru-paru kamu,”
Aida melihat gambar yang ditunjuk Dokter Ryan dengan seksama.
“Kamu juga merasakan perih di rongga d**a kan?” Aida mengangguk.
“Aku rasa harus segera dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, Da. Ini untuk mengetahui apakah benjolan di paru-paru kamu ini kanker atau hanya sekedar tumor jinak.”
Tubuh Aida bagai tersengat listrik berjuta volt. Air matanya perlahan mengalir.
“Kalau itu sekedar tumor, insya Allah masih bisa kita sembuhkan. Tapi kalau kanker, kita lihat dulu sudah sejauh apa berkembangnya." ujarnya menghela nafas.
"Aku sarankan ke kamu untuk jangan terlalu stress, Da. Udah berapa kali aku bilang jangan pernah terlalu berlebihan dalam menanggapi masalah, Da. Enggak baik untuk kesehatan kamu,”
Aida mengusap air mata yang mengalir di pipinya. “Jadi Yan, aku harus apa?”
“Intinya kamu jangan terlalu stress. Kebiasaan buruk kamu untuk memikirkan hal nggak penting itu dikurangin."
Ryan memasukkan foto hasil scan paru Aida kedalam amplop coklat kembali.
"Perbanyak konsumsi buah sama sayur. Jangan makan makanan berlemak dulu. Aku rasa itu cukup berpengaruh. Yang jelas rubah pola hidup kamu yang teksas dan serampangan itu, Da.” saran Dokter Ryan.
“Kamu tebus resep ini ya, minggu depan kita scan lagi udah berkurang atau belum. Kalau belum, kamu harus dirawat intensif, Da.”
Dokter Ryan mencatatkan beberapa resep dan memberikannya pada perawat untuk segera diproses.
“Da, tolong jaga baik-baik kesehatan kamu,” ujar Dokter Ryan sesaat setelah suster keluar dari ruangannya.
“Oh iya, kalau kamu ada waktu, nanti malam main kerumah ya. Kebetulan aku pengen ajarin Dea bahasa asing sejak dini.”
Pinta Dokter Ryan yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Aida
.
_____