L I M A B E L A S

1150 Words
k*****a kembali nama yang berhasil pop up di layar ponselku. Heri. Nama itu masih tidak berubah, aku tidak sedang mengigau. Setelah sekian lama, apa lagi urusannya padaku? Untuk apa dia mengirimku pesan? Aku memutuskan untuk tidak membuka pesan darinya dan tetap lanjut mengirim pesan dengan Risky. Masa bodo dengannya, aku sudah tidak peduli lagi dengan apapun yang Heri lakukan. Jika memang harus menghapusnya dari hidupku, aku akan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Tidak akan ada lagi dia di dalam hidupku, aku tidak mau lagi berususan dengan orang sepertinya lagi. Tidak ada kesempatan kedua. Untuk apa juga aku mempertahankan orang yang tidak ada positifnya di dalam hidupku? Aku menggelengkan kepalaku, berusaha mengeluarkan pikiran tentang Heri di kepalaku. Bahkan untuk memikirkannya saja aku tidak mau. Aku tidak mau merusak hariku hanya untuk memikirkan orang itu. Saat aku sedang asyik berkirim pesan dengan Risky, nomor yang tidak ku simpan, nomor yang sepertinya milik Heri, memanggilku lagi. Aku mengerutkan dahi, kenapa juga dia sampai menelponku? Apakah ini sangat urgent sampai-sampai dia menelponku? Aku tentu saja tidak mengangkat teleponnya lagi, aku membiarkan sampai teleponnya mati tanpa mengangkatnya. Lalu tidak lama kemudian Heri mengirimku pesan lagi. Kali ini isi pesannya agak panjang. Aku hendak tidak membukanya, tapi aku penasaran karena aku tidak bisa membaca semua isi pesannya lewat notifikasi. Dengan begitu aku pun membuka pesannya dan membaca isi pesan yang Heri kirim. satu persatu kalimat k*****a, dan semakin k*****a, aku semakin mengerutkan keningku. Lalu yang terakhir, aku tidak menganga lebar. Tidak menyangka dengan isi pesan tersebut. Aku bahkan tidak tau harus membalas apa, saat aku masih ada di room chat w******p miliknya, aku bisa melihat Heri kembali mengetik, dan aku cepat-cepat keluar dari room chat tersebut. Seketika aku terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru aku baca. Flashback Aku menatap diriku di depan cermin, mengaplikasikan masker wajah yang baru saja ku beli kemarin di mini market dekat tempat kerjaku. Lalu setelah mengaplikasikan masker tersebut, aku pun bersantai di kasur dan memainkan ponselku. Aku menghabiskan waktu libur akhir pekanku hanya dengan berdiam diri di rumah, lebih tepatnya di dalam kamar. Walaupun membosankan, tapi aku diam-diam menikmati waktu liburku ini. Ditambah lagi memang belum gajian, jadi aku juga tidak berniat ke mana-mana. Hesti sempat mengajakku dan Rahma di grup w******p untuk menongkrong di Starbucks dan menemaninya menyelesaikan pekerjaan sampingannya. Tapi aku dan Rahma menolak. Alasan kami berdua sama; kami berdua belum gajian. Lalu setelah kami menolak ajakan tersebut, Hesti pun bilang bahwa mungkin dia akan sendirian ke sana. Sambil menunggu maskerku kering, aku menelpon Heri. Dia juga sedang libur hari ini. Jadi ini watku yang tepat untuk mengobrol. Setidaknya jika memang kita tidak bertemu, kita bisa berbincang via w******p kan. Pada dering ke empat Heri menjawab teleponku. "Kenapa?" tanya Heri dingin seolah-olah notifikasi telepon dariku tidak membuatnya senang. Tapi aku tidak ambil pusing, aku tidak mau memikirkannya terlalu dalam. Siapa tau Heri memang sedang ada pikiran yang lain atau dia mungkin baru bangun tidur sehingga masih butuh tenaga ekstra untuk terdengar senang. "Kamu lagi apa?" tanyaku dengan nada riang. Kalau bagiku sih mendengar suara Heri sudah membuatku senang. Jujur ini sudah sebulan kita tidak bertemu dan mendengar suara Heri bisa membuat rinduku terobati. "Kenapa?" tanya Heri lagi dengan nada dinginnya. "Jutek banget sih, mas. Lagi PMS, ya?" tanyaku iseng, aku hanya ingin mencairkan suasana. "Kenapa, Neida? Ada yang mau diomongin sampe kamu telepon gini?" tanya Heri to the point. Mendengar pertanyaan dari Heri, aku pun kembali mengerutkan dahi. Memangnya aku perlu alasan khusus ya untuk menelpon Heri? Kok terdengar seperti orang asing saja. Toh dulu juga kita sering telepon kok. Kenapa sekarang malah aku kesannya tidak boleh menelponnya keciali ada urgensi yang memperbolehkanku mengobrol dengannya? Dia ini presiden atau apa? "Ya nggak ada apa-apa, sih. Nggak ada hal khusus yang mau diomongin. Aku cuma mau telepon, mau denger suara kamu. Emangnya nggak boleh?" tanyaku padanya. Dasar jutek, pikirku. "Kamu lagi kenapa, sih? Jutek banget. Nggak biasanya gini. Kita kan udah sebulan nggak ketemu. Kamu nggak kangen kah sama aku?" tanyaku pada Heri dengan nada manja, berharap Heri mengerti maksud dan tujuanku menelpon; ya karena aku kangen. Memangnya alasan apa lagi? Kita ini satu kota, loh. Tapi bertemu saja jarang. Jangan kan bertemu, sekedar tukar kabar lewat chat saja jarang. Heri sih alasannya sibuk bekerja, jadi aku berusaha untuk mengerti. Karena aku tau hidupnya bukan hanya untukku. Dia butuh bekerja dan mencari uang untuk membiayai adiknya sekolah. "Aku sibuk, Nei." ucap Heri tanpa menjelaskan apapun lagi. Sibuk. Hanya itu. "Iya itu sih aku udah tau, Heri. Kamu sibuk. Aku nggak masalahin kita nggak ketemu sebulan kok. Ya aku cuma kangen aja. Jadi pengen telepon." ucapku lagi. "Apa sekarang kamu juga lagi sibuk?" tanyaku lagi melanjutkan ucapanku sebelum Heri sempat menjawabnya. "Lumayan sih." ucap Heri. Hening. Aku terdiam karena berpikir... Apakah sampai sebegitu sibuknya sampai Heri di akhir pekan pun bilang bahwa dia lumayan sibuk? Tapi kenapa baru sekarang-sekarang ini dia bilang bahwa dia sibuk? Saat aku tanya sibuk mengerjaan pekerjaan apa pun dia tidak memberitahuku. "Kamu gimana? Lancar kerjanya?" Tanya Heri akhirnya setelah dia berlagak sok jutek. Hampir saja aku mau mengakhiri telepon ini dengan alasan tidak mau menganggunya. Senyum simpul terlukis di bibirku saat ini, aku merasa senang hanya dengan ditanya bagaimana pekerjaanku apakah lancar saja atau tidak. Setidaknya pertanyaan itu memercikan rasa peduli dari Heri. "Kerjaan aku lancar aja kok. Cuma kalo lagi ada bos besar, aku jadi lumayan hectic. Soalnya apa aja aku yang disuruh. Agak banyak maunya juga bos besar aku. Kadang kewalahan." ceritaku panjang lebar tentang pekerjaanku. "Oh gitu, tapi lancar aja berarti ya? Puji Tuhan kalau begitu." Tanggapan Heri yang kini suaranya terdengar lebih hangat dari pada saat pertama kali dia mengangkat teleponku tadi. "Iya, walaupun kalo bos besar lagi marah, rasanya suaranya menggelegar banget dan bikin pusing kepala, tapi ya jalanin aja. Nggak ada pilihan lain selain jalanin aja." Ucapku lagi. "Iya bener, aku juga lagi pusing sebenernya ini customer banyak maunya. Tapi bener apa yang kamu bilang. Nggak ada pilihan lain, jalanin aja." ucap Heri lalu aku mengangguk di balik telepon walaupun aku tau Heri tidak bisa melihatku. "Setuju." ucapku lagi. "Di rumah lagi ada siapa?" tanya Heri. "Ada Biru. Dia lagi zoom meeting sama temen-temen kampusnya di kamar." Jawabku. "Ohh gitu." Heri mengubah pilihan telepon menjadi video call. Lalu aku segera mengangkatnya. "Haiiii." sapaku dengan senyum sumringah karena bisa melihat wajahnya. "Hai Neida." sapa Heri sambil tersenyum. Nah ini dia, ini Heri yang aku maksud. Tidak jutek seperti tadi yang rasanya ingin sekali aku cubit karena sok sibuk dan sok dingin. Padahal aku loh yang menelpon, bukan customernya yang dia bilang banyak maunya itu. Dari layar ponselku aku bisa melihat Heri sedang menghirup rokoknya. Lalu aku melihat Heri sedang bersantai. Lalu maksudnya lumayan sibuk apanya? Apa mungkin maksudnya dia sedang lumayan sibuk itu merujuk pada alasannya tidak sering mengabariku? Ya mungkin saja. Karena jika dia bilang lumayan sibuk untuk merujuk pada sekarang, dia bahkan tidak terlihat sibuk sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD