E N A M B E L A S

1314 Words
"Katanya kamu lagi lumayan sibuk?" tanyaku pada Heri tentang rasa penasaranku yang aku rasakan. Aku lebih memilih untuk menanyakannya langsung dari pada aku harus bertanya-tanya dan menebak-nebak, karena itu belum tentu benar. Dari pada aku berpikir yang tidak-tidak lebih baik aku bertanya pada orang yang bersangkutan. "Iya lagi istirahat aja." jawab Heri. "Ini kan weekend. Kok kamu masih aja sibuk." ucapku lagi, lebih terdengar seperti komplen pada Heri karena ini akhir pekan, apa pekerjaan yang dia lakukan di akhir pekan? Karena setahuku Heri tidak ada lemburan di kantornya. Dia juga sering ada waktu luang. Apa Heri ada pekerjaan sampingan? "Emang kamu lagi ngerjain apa?" tanyaku lagi sebelum Heri sempat menjawab ucapanku yang sebelumnya. Heri terlihat sedang memikirkan jawabannya. Lalu dia tersenyum, "Sibuk mikirin kamu." Jawabnya dengan cengengesan. Hah? Itu sih bukan jawaban yang aku harapkan. Dasar gombal. "Nggak kena gombalannya, frik banget." godaku pada Heri karena gombalannya malah terdengar aneh dan terkesan maksa. Aku sih tidak usah dijejalkan gombalan, nggak mau digombali. "Kenapa kok frik?" tanya Heri. Aku menggelengkan kepalaku, lalu kembali bertanya. "Jadi lagi kerjain kerjaan apa sampe sibuk banget dan akhir-akhir ini jarang banget ngabarin?" tanyaku lagi, mungkin terdengar seperti mencecarnya. Tapi aku punya hak untuk tau, kan? "Ya kerjaan kantor." jawab Heri tanpa mau memberitahu lebih detail. "Aku tau kerjaan kantor, tapi apa yang dikerjain? Lagi ada proyek besar? Apa gimana sampe kamu sudah banget pegang hape?" tanyaku lagi. Ngomong-ngomong soal pegang hape, sepertinya itu bukan masalahnya. Karena Heri tetap bisa online di ** dan membuat story dan lain-lain. Tapi entah kenapa susah sekali memberiku kabar. Padahal aku menunggunya. Aku sempat spam chat padanya agar dia balas chatku, tapi Heri bilang dia tidak suka dispam. Jadi aku tidak meneruskan hal itu dan sekarang aku lebih memilih untuk mengontrol diriku sendiri dan mengirimkan chat pada Heri seadanya tanpa berlebihan agar Heri tidak marah. Tapi dengan begitu Heri malah tidak membalas, apa aku harus cari perhatian padanya dengan kirim spam chat agar dia membalas lagi? Walaupun balasannya malah memarahiku? "Kamu nggak perlu tau, Nei. Yang penting aku nggak macem-macem." ucap Heri lagi berusaha membuatku berpikir positif. Tapi kata-kata itu tidak cukup untukku. Bagaimana bisa aku tidak berpikir yang macam-macam? "Aku nggak mungkin nggak berpikir yang macam-macam. Aku bahkan nggak tau apa yang lagi kamu kerjain sampe kamu nggak bisa kasih kabar ke aku. Kasih kabarnya udah kayak service motor aja." ucapku lagi, menyelipkan perumpamaan service motor pada Heri yang mana Heri malah terkekeh atas ucapanku itu. "Service motor itu sebulan sekali, Nei. Bahkan motor aku aja dua bulan sekali. Aku kan nggak kabarin kamu segitu lamanya." Sanggah Heri. Aku cemberut mendengar pembelaan Heri atas dirinya sendiri. "Oke oke, aku nggak ngerti soal motor. Aku cuma asal sebut. Tapi soal kamu ngabarinnya jarang, itu fakta. Ya emang sih kamu ngabarin nggak sebulan atau dua bulan sekali. Tapi ini kamu jarang banget. Seminggu bisa-bisa cuma satu kali ngabarin. Itu pun cuma nanya lagi di mana. Udah, itu doang. Apa nggak ada yang mau kamu obrolin sama aku?" tanyaku lagi, merengek pada Heri agar dia mengerti bahwa seminggu sekali itu tidak cukup. Aku butuh kabar dia. Dia sedang di mana, dia mau ke mana, dia sedang apa, ada kejadian lucu apa hari ini, atau apa pun itu yang penting kau tau kabarnya. Bukannya sebagai pacar, aku harusnya bisa dekat dengannya dan mengenalnya lebih? Tapi kenapa justru ketika sudah menjadi pacar, Heri seperti menarik diri? Beda sekali seperti saat dia berusaha mendapatkanku. Aku tau, banyak yang bilang orang itu akan berubah seiring berjalannya waktu. Tapi perubahan ekstrim ini masih belum bisa ku terima. "Kamu telepon aku cuma mau sidang aku atau gimana, Nei? Kalau cuma mau sidang aku, mending kita tutup aja teleponnya. Aku pusing dengernya." ucap Heri, kali ini dia terlihat sangat kesal. Rokoknya ia hirup kembali dan menghembuskannya ke arah kamera seperti sengaja melakukannya. "Oke deh oke, kalo kamu emang nggak mau bahas." ucapku kemudian, mengalah agar Heri tidak marah. Tidak apa-apa bila aku tidak bisa menemukan jawaban Heri sekarang, yang terpenting sekarang aku bisa melihatnya dan berbincang dengannya. Masalah yang tadi biar saja tergantung dulu. Akan aku bahas lagi ketika kita berdua bertemu. Bila kita berdua sudah bertemu, aku bisa bertanya padanya tanpa ada ancaman dia akan menutup teleponnya. Paling-paling dia hanya merengek akan pulang. Aku akan menahannya kalau begitu. Jadi aku pun menarik nafasku dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Sabar, Neida. Untuk sekarang redakan egomu terlebih dahulu. Tidak semua pertanyaan harus terjawab saat ini juga. Ada waktunya. Heri memang tidak efektif bila diajak bicara lewat telepon atau chat atau video call. Jadi aku harus menunggu waktu sampai kita berdua sempat bertemu... Atau, aku ajak saja sekarang untuk bertemu? "Heri, ketemu, yuk?" ajakku pada Heri. Heri yang tadinya masih sibuk merokok, kini menatapku kaget karena aku tiba-tiba mengajaknya bertemu. "Sekarang?" tanya Heri mengkonfirmasi bahwa ajakanku berlaku untuk kapan. "Iya, sekarang. Kita berdua lagi libur kan." ucapku lagi. Lalu Heri terdiam. Dia tidak langsung menjawabku. "Kenapa? Nggak bisa?" tanyaku sambil menunjukkan wajah sedih karena Heri tidak bisa bertemu hari ini. "Iya, aku nggak bisa. Aku kan ada kerjaan." jawab Heri lagi-lagi terkesan klise. Ya oke kalau misal masalahnya adalah dia ada pekerjaan hari ini, kalau begitu lebih baik aku menemaninya kerja saja. Itu juga sudah cukup bagiku. "Ya sudah kalau gitu, kamu bawa aja laptop, kita ke kafe. Aku temenin kamu kerja." aku memberikan ide yang menurutku win win solution. Aku ingin bertemu, dan Heri ada pekerjaan. Jadi lebih baik kita bertemu untuk aku menemaninya bekerja. "Kalau nggak, aku nyamperin kamu ke sana, aku temenin kamu di sana." lanjutku memberikan ide yang lainnya. Walaupun sebenarnya aku berpikir ulang, kalau aku datang ke kosannya, aku harus keluar uang untuk ongkos. Aku tidak punya kendaraan pribadi. Jadi aku harus mengeluarkan uang untuk ongkos. Tapi tidak apa-apa, aku bisa naik Transjakarta dan itu tidak akan makan uang banyak. "Hah?" Heri malah kaget mendengar ideku. Hah katanya? Kenapa hah? Apa ada yang salah dari ideku? "Kenapa kok kamu malah kayak kaget gitu?" tanyaku pada Heri. "Kamu mau ke sini?" tanya Heri dan aku mengangguk beberapa kali sebagai bentuk bahwa aku yakin akan ke sana. "Iya, kenapa nggak?" tanyaku balik padanya. "Kamu nggak tau kosan aku di mana." ucap Heri lagi. Ya ampun, soal itu kan dia bisa share loc atau memberiku alamat. Kenapa harus dijadikan masalah yang akhirnya menghalangiku untuk datang menemuinya? Kalau dipikir-pikir, aku sudah menurunkan rasa egoisku. Mana ada cewek yang menghampiri lebih dulu? Bahkan mana ada cewek yang mau mengeluarkan uang sendiri hanya untuk menghampiri kekasihnya? Apalagi, si cowok seperti tidak mau bertemu. Ini sih aku jadi merasa memaksa. Tapi kalau tidak dipaksa, Heri tidak akan inisiatif untuk bertemu denganku. Aku jadi kesal sendiri memikirkannya. Entah aku harus bagaimana karena mau ini dan itu sama saja. "Aku emang nggak tau kosan kamu di mana. Tapi kan kamu bisa kasih tau aku alamatnya." ucapku, setelah mengucapkan kata itu, aku malah jadi kepikiran. Kenapa juga aku malah tidak tau kosan pacarku di mana? Aku ini pacarnya. Bukan kah ini terdengar aneh? Seharusnya aku sudah tau. Bahkan sampai saat ini saja aku belum tau dia tinggal di mana. Yang aku tau dia merantau ke Jakarta dan ngekos di sini. Tapi daerah mana pun aku tidak tau. Ini benar-benar terdengar aneh. Aku seperti orang lain saja. "Aneh ya." ucapku asal, mengeluarkan apa yang ada di kepalaku. "Aneh kenapa?" tanya Heri bingung. "Iya, aneh. Aku malah nggak tau kamu ngekos di mana." ucapku lagi. Heri terdiam. Sepertinya dia setuju bahwa keanehan ini memang benar adanya. Aku pun melanjutkan ucapanku saat Heri tidak berkomentar apa-apa. "Kok bisa-bisanya aku, pacar kamu, nggak tau kamu ngekos di mana." lanjutku lagi. Kini Heri terlihat frustasi karena ada tanda-tanda bahwa aku akan komplen lagi. "Emangnya penting tau kosanku di mana?" tanya Heri. Saat mendengar pertanyaannya, aku menganga lebar. Jadi menurutnya ini tidak penting sama sekali, ya? "Menurut kamui nggak penting ya aku tau kamu ngekos di mana? Kenapa nggak penting?" Tanyaku balik. Aku menunggu Heri menjawab pertanyaanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD