Kebohongan Yang Terungkap

1107 Words
Kebohongan Yang Terungkap Jennie hendak beranjak dari duduknya ketika piring di tangannya sudah kosong dan perutnya sudah cukup kenyang dengan mie yang sudah mengembang. Tiba-tiba Levin lebih gesit bergerak menyambar piring yang ada dalam genggaman tangan Jennie, membuat Jennie mendongak bingung menatapnya. “Duduk aja di situ biar aku aja yang cuci.” Seru Levin tanpa perlu ditanya, ia sudah tahu apa yang ada dalam isi kepala Jennie dan menjawabnya. Jennie terbengong, mendapat banyak perlakuan istimewa dari Levin yang membuatnya merasa dimanja. Tidak biasanya pria itu semanis itu, meskipun kerap memperhatikan dirinya tetapi untuk urusan cuci piring, biasanya Levin enggan turun tangan. Pria itu lebih senang mengotori dapur dengan dalil memasakkan sesuatu untuk Jennie, lalu membiarkan Jennie yang mengurusi sisa kekacauan di sana. “Serius nggak mau dibantuin?” Teriak Jennie, basa basi bertanya. Levin menoleh lalu berteriak, “Bilang makasih aja. Kamu cuman nanya doang kan, nggak ada niat serius.” Ledek Levin yang kebetulan memang tebakannya tepat. Jennie nyengir kemudian berdiri demi menyusul pria itu ke dapur. Levin menyadari kedatangannya dengan menoleh sejenak, ia sudah sibuk dengan piring kotor dan ingin segera menyelesaikannya. Jennie mengambil tempat duduk di kursi yang ada di meja makan, melipat tangannya di atas meja dan menatap lekat pada Levin. “Kamu udah tahu kan soal video itu?” Tanya Jennie pelan, pandangannya lurus mengarah pada Levin, siap menangkap setiap gerak-gerik pria itu yang bereaksi karena pertanyaannya. Levin berhenti membilas piring yang ada dalam pegangannya, menegakkan kepala yang semula sedikit menunduk. Ia tak menyangka Jennie akan menodongnya dengan pertanyaan rumit. Andai bisa diselesaikan dengan cara bungkam, pasti Levin akan tertolong dari situasi canggung ini. Perlahan Levin menoleh, membalas tatapan lekat Jennie yang masih tertuju padanya. “Kamu udah lihat itu?” Levin bertanya balik, ia justru lebih mencemaskan kondisi Jennie. Ah... Lebih tepatnya mengasihani wanita itu. Jennie nyengir, “Jadi itu alasanmu menyuruhku keluar pakai masker, pakai topi, pakai kacamata hitam. Kenapa tidak langsung ngomong saja kalau ada kejadian seperti itu?” Protes Jennie. Levin mengeringkan tangannya dengan mengelap pada celana yang dikenakannya lalu berjalan dan menarik kursi di sebelah Jennie. Ia perlu bicara serius dengan wanita itu, selagi Jennie lah yang memulai obrolan. “Lalu kamu nggak nurut kan? Kamu keluar dengan wajah yang sangat mudah dikenali. Katakan aja Jen, mereka ngapain kamu? Apa mereka mengenali kamu? Ada yang kurang ajar padamu?” Selidik Levin, sepasang matanya bolak balik menatap wajah dan tangan Jennie, mengecek kondisi luar dengan pandangan matanya. Jennie menggeleng pelan, mengibaskan tangannya ke udara sebagai isyarat memutus penyelidikan Levin yang membuatnya risih. “Apaan sih, lihatinnya segitu banget. Yang penting aku kembali hidup-hidup nggak kurang apapun. Sekarang jawab aku, kenapa tadi nggak langsung jujur aja sama aku kalau ada berita kayak gitu.” Levin sedikit menarik badannya agar bersandar di kursi, giliran ia yang merasa tak nyaman dengan interogasi itu. Bibirnya tampak sewot, sesekali ia melirik ke arah Jennie untuk mengintip ekspresi wajahnya. “Ya, aku nggak mau bikin kamu sedih. Sorry....” Lirih Levin. Jennie membuang pandangannya, enggan bersitatap dengan Levin yang membuatnya jadi serba salah. “Ya sudahlah, lupakan! Aku mau mandi saja, gerah.” Gumam Jennie, padahal belum lama ia sudah mandi dengan bersih di rumah Nelson, namun tetap saja alasan klasik itu yang digunakannya untuk menghindar. Levin mendongak, sontak tangannya bergerak menahan Jennie angkat kaki dari hadapannya. Pertemuan dua pasang mata yang saling memandang pun tak terhindarkan, Jennie yang terkesiap mendadak memincingkan matanya heran. Pandangannya menurun ke arah tangan Levin, memberi kode bahwa ia tidak nyaman dengan cengkeraman tangan kekar itu. “Jen, sepuluh menit please. Aku masih mau ngomong sama kamu.” Pinta Levin lirih. Sorot matanya yang memelas itu menjadi kekuatannya untuk menakhlukkan hati Jennie. Wanita itu tak bisa berkutik, kembali menempatkan diri di atas kursi yang belum lama ia tinggalkan. “Buruan apa?” Ujar Jennie tak sabaran. Hatinya mulai merasa gusar melihat raut wajah Levin yang serius, Jennie bisa menebak apa yang hendak pria itu katakan mungkin sesuatu yang paling ia hindari untuk dibahas. Levin menatap ke dalam manik mata Jennie, berharap bisa melihat kejujuran dari sorot mata teduh itu. “Jen, apa kamu beneran nyaman dengan kerjaan ini? Aku... Aku bisa bantu kamu cari kerjaan lain yang normal....” Ujar Levin berhati-hati namun tetap saja menyinggung perasaan Jennie yang seketika itu pula membuang muka, enggan menatapnya. “Udah deh Lev, aku nggak mood bahas gituan.” Sanggah Jennie, gerah dengan obrolan yang Levin mulai. “Jen, please jangan menghindar, aku udah tahu semuanya. Sejak awal aku udah tahu apa yang kamu kerjakan. Tapi aku selalu diam, pura-pura mengikuti permaiananmu yang menyembunyikannya dari aku. Aku pikir kamu memang lebih nyaman dengan rahasia itu, dan aku nggak mau menghakimimu. Tetapi kali ini beda ceritanya, video itu membukakan kesadaranku kalau aku tidak boleh tinggal diam lagi. Aku nggak mau kame kenapa-napa Jen.” Ujar Levin dengan cepat menyampaikan apa yang mengganjal di hatinya. Ia tidak bisa disuruh bungkam lagi. Jennie terkesiap, tak menyangka kalau selama ini ia salah menilai Levin. Jennie mengira pria itu percaya penuh kepadanya, tentang kebohongan yang dikarangnya demi menyembunyikan pekerjaan aslinya. “Sejak kapan kamu sadar?” Tanya Jennie yang kini tak bisa menutupi rasa penasarannya. Selama ini Levin tampak begitu percaya padanya hingga Jennie mengira ia telah berhasil membohongi pria itu. Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, Jennie lah yang telah tertipu oleh akting Levin yang membuat ia yakin seratus persen bahwa pria itu tidak tahu apa yang dikerjakannya. Levin menghela nafas berat, menatap lekat pada manik mata Jennie. “Sejak aku tanpa sengaja melihatmu masuk ke dalam sebuah hotel, aku penasaran apa yang kamu lakukan. Lalu menunggumu sampai keluar dari sana, tapi yang aku lihat, wajahmu penuh lebam dan sebelum kamu keluar, ada seorang wanita yang membuat kehebohan di bagian resepsionis untuk menangkap basah perselingkuhan suaminya. Huft... Jen, sorry... Aku nggak bermaksud merendahkanmu tapi aku mohon tinggalkan kerjaan yang tak lumrah ini. Cari uang halal aja Jen, aku bisa bantu kamu cari kerjaan lain.” Pinta Levin memohon dengan sungguh-sungguh. Jennie mencebik, bibirnya menarik senyuman miring. Ia menatap kesal pada Levin, “Tahu apa kamu tentang apa yang aku kerjakan? Pikiranmu pasti dipenuhi tudingan kotor untukku kan? Pelakor? Wanita tak tahu malu? Cewek matre yang hanya tahu morotin uang om om? Apalagi? Oh... Cewek males yang hanya ngandalin wajah cantik buat hidup nyaman. Gitu kan penilaianmu tentang aku!?” Geram Jennie, entah mengapa ia begitu kesal karena Levin yang memergokinya. Levin menggelengkan kepalanya dengan cepat, ia belum sanggup berkata apapun tetapi Jennie lebih cepat bertindak. Wanita itu berdiri dan berlari cepat hendak menuju kamarnya. “Jen, dengarkan aku dulu Jen. Aku tidak berpikir seburuk itu tentang kamu!” Pekik Levin mengejar langkah Jennie yang mendahuluinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD