Siapa Pria Itu?

1299 Words
“Jen, tunggu! Kamu nggak bisa menghindar begitu saja sebelum mendengar penjelasanku.” Levin merentangkan kedua tangannya di muka pintu kamar Jennie, menghalaunya agar tidak masuk ke dalam. Jennie terdiam, tatapannya lurus ke arah Levin, menunjukkan ketidak sukaannya pada sahabat karibnya itu. Nyaris tak pernah mereka bertengkar separah ini sebelumnya, setiap ada perselisihan selalu Levin lah yang mengalah dan Jennie akan memaafkannya. Namun kali ini cukup fatal, Jennie belum sanggup mengontrol suasana hatinya. Rasa marah, malu, sedih, bercampur aduk mengontaminasi hati. “Aku sungguh nggak berpikir kamu seburuk itu. Aku hanya nggak tega melihat kamu kerap terluka dan aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa ketika kamu disakiti.” Lirih Levin pelan, setelah ia yakin Jennie bersedia mendengarkan apa yang akan ia katakan. Air muka Jennie masih masam, ia memincingkan mata seakan tiada ampun pada pria di hadapannya. “Kalau kamu sudah lama tahu, kenapa kamu terus berpura-pura percaya pada kebohonganku?” Levin sedikit menundukkan kepalanya, menyembunyikan gurat sedih yang benar-benar kentara terlihat. “Aku nggak tega bikin kamu sedih. Kamu sangat ingin merahasiakan itu dariku, jadi aku harus bekerjasama denganmu. Kamu berbohong dan aku percaya. Kamu sangat ingin aku percaya kalau luka yang kamu alami itu karena resiko kerjaanmu sebagai peran pengganti. Hatiku ikut tercabik tiap melihat kamu pulang membawa luka, selain mengobatimu, aku bisa apa lagi? Aku terus menyalahkan diriku yang tidak berguna, tidak bisa melindungimu dan membiarkan kamu melakoni kerjaan itu. Jen... Aku sungguh nggak bermaksud buruk, ku mohon mengertilah, ini semua demi kebaikanmu.” Jennie trenyuh dalam diam, ia bisa melihat kesungguhan Levin. Sepanjang mengenal pria itu, memang Jennie yakin bahwa kebaikan yang diberikan pria itu kepadanya sangat tulus. Tapi pria itu hanyalah seorang sahabat, tidak lebih. “Pulanglah Lev, aku mau istirahat.” Ujar Jennie mengusir secara halus. Ia perlu waktu untuk menenangkan dirinya, mencerna pengakuan yang terlontar dari Levin. “Ng, aku....” Levin menggantung kata-katanya, ia belum mau beranjak dari sini secepat itu. Hatinya tidak tenang jika harus pergi dengan kondisi Jennie yang belum ia periksa, dan lagi wanita itu belum memaafkannya. Jennie masih mematung, menunggu kata-kata yang terpotong itu. Cukup dengan delikan mata saja sudah bisa membuat Levin canggung. Tetapi Jennie kenal betul dengan pria itu, dia tidak akan beranjak sebelum apa yang diinginkannya terpenuhi. “Apa yang terjadi padamu tadi di luar? Aku yakin pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Biarkan aku periksa dulu, kamu nggak terluka lagi kan?” Pinta Levin dengan suara yang lembut, sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang ia pendam, begitu menyiksa bagi Jennie yang bisa mengartikan arti sinar mata itu. Jennie menghela nafas, ia merubah posisi berdirinya dengan bersandar di tembok. Levin yang sejak tadi merentangkan tangan pun akhirnya bisa menurunkannya. Pria itu mengikuti jejak Jennie, mengambil posisi yang lebih santai dengan bersandar pada daun pintu. “Mereka menghadiahiku telur mentah, sayur mentah, entah apalagi. Aku tidak terluka, hanya lumayan bau dan kotor saja.” Gumam Jennie mengakui nasib tragis yang dialaminya tadi. Levin tak kuasa bersandar santai lagi setelah mendengar kejadian buruk itu, ia meluruskan posisi berdirinya lalu menatap lekat penuh kecemasan ke arah Jennie. Masih ada hal yang janggal dan belum ia mengerti. “Tapi kamu tadi pulangnya bersih, gimana caranya kamu meloloskan diri dari amukan mereka? Keterlaluan, sekalipun salah untuk apa menghakimi orang seenaknya. Apa gunanya hukum? Apalagi belum mendengar penjelasan orang yang dituduhkan, belum tentu juga sesalah yang mereka pikirkan.” Geram Levin, ia yang tahu betul Jennie tidak seperti yang orang-orang pikirkan, jelas tidak sanggup menerima kenyataan bahwa sahabatnya diperlakukan semena-mena, dikeroyok dengan lawan yang tidak seimbang. Jennie tersenyum tipis melihat amarah Levin yang tidak bisa tersalurkan tepat pada orang-orang yang bermasalah dengannya. “Ya udah sih, nggak usah sewot di sini.” Ujar Jennie mulai bisa tertawa kecil sehingga mengundang Levin menoleh ke arahnya. Sepasang mata pria itu menyipit karena heran apa yang lucu dari kekesalannya sehingga Jennie dengan entengnya tertawa. “Lucu ya? Aku kesal sama diriku sendiri, nggak ada buat kamu di saat kamu digituin.” Lirih Levin mengepalkan kedua tangannya, merutuki dirinya sendiri. Jennie menggeleng cepat, “Nggak usah nyalahin diri sendiri lah. Kita punya jalan hidup masing-masing, kalau mau terjadi ya pasti terjadi. Lagian tadi ada orang yang ternyata cukup tangguh buat bawa aku keluar dari masalah.” Ujar Jennie, sedikit mengenang kebaikan Nelson kepadanya. Levin mengerutkan dahinya, merasa tertarik dengan cerita Jennie barusan. “Siapa yang sudah nolong kamu? Aku mau ucapin terima kasih sama dia.” Jennie tertawa kecil lagi, “Nggak usah segitunya lah. Kayak apa aja sampai kudu diucapin terima kasih dari kamu. Dia nolong aku juga ada pamrihnya.” “Pamrih? Siapa dia? Cowok apa cewek? Dia minta apa sama kamu? Bayaran?” Selidik Levin dengan menodongkan banyak pertanyaan sekaligus. Jennie masih enggan membuka suara, menimbang sekali lagi sebelum melontarkan kata-kata yang tak mungkin ditarik kembali. Jika ia berterus terang, maka Levin akan tahu semuanya. Tetapi jika ia menutupi, cepat atau lambat pria itupun akan tahu dengan sendirinya apalagi jika melihat memar yang ia dapatkan, andaikata istri klien terbarunya ini seganas yang biasanya ia hadapi. “Dia nawarin aku sebagai wanita simpanannya.” Jawab Jennie dengan tenang seraya menyunggingkan senyuman tipis. Ketenangan yang tidak tertular kepada Levin yang kini ternganga, kepalanya terus menggeleng seolah meminta Jennie mengatakan bahwa apa yang barusan didengarnya itu hanya lelucon. “What? Kamu masih mau bermain api padahal tahu resiko terbakarnya sangat pasti terjadi? Kenapa sih Jen, nggak belajar dari pengalaman? Dia bayar kamu berapa sih? Apa sebanding dengan resiko yang bakal kamu tanggung? Keselamatan kamu gimana? Masalah video yang sekarang aja belum reda, aku juga belum tahu gimana cara menghilangkan peredarannya. Semua bakal ngenalin kamu, aku takutnya nanti pak RT di sini ikut bikin masalah, nggak ngijinin kamu tinggal di sini.” Levin mengacak rambutnya, frustasi dengan sikap Jennie yang tak bisa ia mengerti. “Apa hak dia buat ngusir aku? Emangnya dia sanggup beli rumahku dan ganti kerugian karena mengusik ketenanganku? Cih....” Gerutu Jennie, ia mulai melipat tangannya di depan d**a kemudian menyandarkan satu kaki ke tembok. “Jen, aku nggak setuju. Aku bakal bayar fee yang dia tawarkan ke kamu, jadi kamu nggak perlu ambil job ini.” Timpal Levin lagi, menatap penuh kesungguhan pada wanita itu. Jennie menggeleng cepat, bibirnya tersenyum miring. “Kamu nggak akan sanggup bayar. Sudahlah, hentikan kekonyolanmu! Masalah video juga sudah dia atasi, itulah kenapa aku tidak bisa menolak job ini.” Jawab Jennie berterus terang. Levin mengerutkan dahinya, belum bisa mempercayai apa yang Jennie katakan. “Nggak percaya? Coba cek aja!” Ujar Jennie santai. Levin merogoh ponselnya dari saku celana, tanpa sepatah katapun ia kembali membuka chat grup perawat rumah sakit. Ia yakin di sana masih ada jejak video itu. Sedetik kemudian, sepasang mata Levin menyipit, video yang menghebohkan jagat dunia maya itu lenyap. Levin memandangi Jennie sekilas dan tampak begitu cuek, seakan tengah meledeknya. Tak percaya begitu saja, Levin membuka situs internet dan mengetikkan berbagai kata kunci untuk mencari video itu. “Percuma dicari, nggak bakalan nemu di manapun lagi. Dia sudah membereskan semuanya dalam sekejap.” Seru Jennie yang kasihan melihat Levin kebingungan. Pria itu menatap balik kepadanya, dari raut wajahnya terbaca jelas rasa heran dan takjub yang tak bisa ia ungkapkan. “Tapi bagaimana bisa?” Tanya Levin polos. Jennie tersenyum tipis, “Uang dan kekuasaan bisa membungkam segalanya. Anggap saja aku berutang padanya dan harus membayar dengan membantunya. Dia bisa menjamin keselamatanku, bahkan dia yang membantuku membereskan masalah yang bukan darinya. Kamu nggak usah cemas, kali ini aku pasti aman, nggak bakal repotin kamu ngolesin salep atau perban luka lagi.” Gumam Jennie dengan senyum yang begitu dalam maknanya bagi Levin. ‘Kenapa kamu tersenyum seperti itu Jen? Aku tidak suka melihatnya... Kenapa kamu menikmati pekerjaan ini? Siapa pria itu? Sampai kamu bisa tampak sebahagia itu bekerja untuknya....” Levin mengepalkan tangannya, tak senang dengan pria yang membuatnya merasa terancam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD