Haruskah Bersyukur Memilikimu?

1112 Words
Lamunan Levin masih panjang hingga suara mesin mobil menggugah kesadarannya. Ia terkesiap saat mendapati mobil yang sangat ia kenali itu memasuki halaman rumah. Hal yang langsung menampar kecerdasannya yang sempat hilang entah ke mana. Levin merutuki dirinya yang kurang peka hingga tidak menyadari kalau mobil Jennie sejak tadi tidak terlihat, dan artinya wanita itupun tidak ada dalam rumahnya. Sontak Levin berdiri, ia berkacang pinggang dan tak sabar menunggu wanita itu turun untuk melayangkan protes. Orang yang ditunggunya keluar dari mobil dan melirik ke arah Levin yang memang menantikan kemunculannya. Jennie membanting pintu mobilnya, berjalan santai seolah tidak punya kesalahan yang perlu dijelaskan kepada sahabatnya. Sementara itu Levin terus mengikuti gerak-gerik Jennie hingga berhadapan langsung dengannya. Jennie melirik kantong di depan pintu yang ia yakini berisi makanan, lalu beralih menatap Levin yang masih belum membuka suara. Levin menyoroti tampang Jennie dari atas sampai ke bawah, mulutnya ternganga lalu sedetik kemudian ia berdecak. Merasa takjub dengan pembawaan diri Jennie yang begitu tenang, padahal di luar sana kehebohan tentang dirinya saja sampai membuat Levin tak bisa berkonsentrasi bekerja. “Kamu tahu aku menunggu berapa lama di sini? Mengira kamu ketiduran dan ponselmu kehabisan baterai, menunggumu terbangun dan membukakan pintu sampai makanan ini jadi dingin. Ternyata kamu... Malah keluyuran di luar, nggak pakai topi, nggak pakai masker dan kacamata. Kamu nekad cari mati?” Seru Levin mengeluarkan segala uneg-unegnya yang memenuhi rongga hati hingga terasa sesak. Jennie tak akan mengerti betapa cemasnya ia saat ini. Jennie tersenyum miring kemudian dengan sikap dinginnya melenggang dan melewati Levin yang masih berkacak pinggang. “Kamu bisa lihat kan, aku pulang hidup-hidup.” Jawab Jennie cuek sembari membuka kunci pintunya. Taring Levin yang semula panjang dan tajam pun mendadak tumpul, tak lagi terlihat kesal namun segera mengambil jinjingannya lalu berjalan cepat menyusul langkah Jennie masuk ke dalam rumah. Ia menutup kembali pintu karena tahu Jennie tidak mungkin berbalik melakukannya. “Ya tapi tetap saja aku nggak membenarkan sikapmu. Sejak kapan kamu keluar? Ke mana saja? Tadi pas aku telpon kamu beneran masih di rumah? Trus di luar sana ketemu orang, nggak diapa-apain kan?” Segerombolan pertanyaan itu terlontar cepat, Levin terus menatap punggung Jennie yang kemudian berakhir dengan terhempas di atas sofa. Levin menaruh kantong yang dijinjingnya di atas meja, menatap lekat dengan rasa khawatir yang begitu kentara. Jennie belum juga menjawabnya, Jelas Levin tak bisa tenang jika hanya meraba-raba kemungkinan yang terjadi di luar sana. “Jen, kamu nggak terluka lagi kan? Wajahmu pucat, kamu belum makan ya? Kamu demam nggak? Bibirmu sudah diolesi salep?” Pertanyaan babak kedua itu terlontar lagi, kali ini Levin tidka hanya berdiam diri bertanya, tangannya dengan sigap meraba kening Jennie yang tengah berbaring. Jennie menyingkirkan tangan Levin dari dahinya dengan pelan, sekali kibasan saja cukup membuat Levin tahu diri. “Aku baik-baik saja, hanya lapar.” Jawab Jennie polos. Memang benar perutnya meronta keroncongan lantaran hanya diisi oleh bubur yang dimasakkan oleh Levin. Ketika ia berniat mencari makanan di luar, justru diserbu oleh makanan mentah. Tubuhnya yang dilumuri makanan menjijikkan, namun perutnya tetap kosong. Levin menghela nafas kasar, hatinya dirundung rasa tak tega saat mendengar pengakuan Jennie. Sia-sia pula pertanyaan sepanjang lokomotif itu dilontarkannya, ternyata tidak ada yang berhasil dijawab Jennie. Semua itu terpatahkan karena satu pengakuan menyedihkan – lapar. Levin mengambil kantong yang berisi makanan kemudian berjalan tergesa menuju ruang makan. Andai tadi Jennie pulang lebih cepat, pasti ia bisa menghemat sedikit waktu agar tidak perlu memanaskan makanan yang sudah matang ini. “Tunggulah di situ, aku panaskan dulu makanannya.” Teriak Levin berjalan tanpa menoleh ke belakang. Jennie menarik seulas senyuman, ia tahu betul bagaimana cara menghadapi pria itu, sekaligus cara menyusahkannya. “Ya....” Jawab Jennie kencang, menyeimbangkan jarak pendengaran Levin yang berada agak jauh. Levin terkesiap melihat panci berisi bubur yang tampak masih banyak. Kepalanya pun menggeleng ketika melihat kondisi dapur yang porak poranda, Jennie bahkan belum merapikan sudut ruangan yang cukup penting itu. “Buburnya kok nggak dihabiskan sih? Kamu makan sedikit ya? Untung aja nggak basi, aku taruh di kulkas ya, besok masih bisa dipanasin buat sarapan.” Teriak Levin nyaring, terpaksa harus memaksa tenggorokan bekerja lebih keras agar tersampaikan pada lawan bicaranya di ruang tamu. Jennie mendengar semua itu dengan jelas, lagi-lagi menarik seulas senyum lebar. “Ya....” Jawab Jennie singkat, membiarkan pria itu mengutak atik dapur sesuka hati. Saat ini sofa empuk lebih menggoda Jennie untuk bermalas-malasan sejenak. Jika disuruh memilih antara tidur atau makan, Jennie pasti lebih memilih tidur walaupun perutnya hanya terisi angin. Tetapi karena ada Levin, mustahil ia dibiarkan menyiksa diri dengan melaparkan kelaparan begini. Tidak memerlukan waktu lama, Levin pun datang membawa sebuah nampan berisi makanan yang sudah ia pindahkan dalam dua piring. Satu jatahnya dan satu lagi pasti untuk Jennie. Aromanya cukup menggugah selera, dan Jennie tahu makanan apa yang akan jadi menu makan sorenya sekarang. Jennie bergegas bangun, semangatnya kembali terkumpul hanya karena aroma makanan kesukaannya. Levin ikut tersenyum lebar saat melihat ekspresi girang dari wajah Jennie. Rasanya seluruh kekesalan dan kecemasannya beberapa waktu lalu buyar sekejap. Mendapati Jennie dalam keadaan baik-baik saja, sudah lebih dari cukup bagi Levin. Apalagi sekarang, wanita itu tampak tak sabaran untuk makan. Levin merasa bersyukur idenya tepat, membeli makanan ini walau harus repot memanaskannya ulang. “Nih makan pelan-pelan, tiup dulu masih panas.” Ujar Levin sambil menaruh nampannya ke atas meja. Jennie membungkukkan tubuhnya ke arah meja, sepasang tangannya dengan sigap terjulur untuk mengambil jatah makanannya. Tetapi senyumnya langsung datar saat melihat tampilan makanan favoritnya yang mulai kehilangan bentuk asli. “Yaa... I fu mie-nya kok jadi bengkak gini?” Wajah Jennie mengerut saat menyuarakan protesnya, tak rela jika kenikmatan makanan itu harus berkurang karena penampilan yang kurang sedap dipandang. Levin ikutan sewot, ia menatap Jennie yang masih meratapi sepiring mie kuah itu. “Ya mau gimana lagi? Coba tadi kamu di rumah saja, pasti nggak bakalan begini. Aku nungguin kamu lama banget, sampai dingin itu makanan. Tapi ini tetap enak kok, udah cuekin aja bentuknya. Nih lihat enak kok.” Levin menyumpit porsi mie-nya kemudian menyeruputnya dengan lahap. Jennie melihat cara makan Levin yang terlihat sangat menikmati, ia pun mulai mengambil sumpitnya dan mencicipinya. Benar apa yang Levin katakan, rasa makanan favoritnya ini masih tetap menggiurkan walau agak berantakan dan mengembang. Jennie menatap Levin dengan lekat, wajah tampan pria itu yang selalu memancarkan aura positif. Pria yang selalu sigap di dekatnya ketika seluruh dunia mengabaikannya. Setidaknya di dunia ini masih ada satu pria yang siap pasang badan untuk melindunginya, walaupun sejauh ini batasan mereka tetap jelas tidak lebih dari status sahabat. Diam-diam Jennie bertanya pada dirinya sendiri, mulai menyusuri jawaban sesuai suara hati. ‘Haruskah aku bersyukur memiliki kamu? Apa kamu akan tetap baik padaku jika aku terus menyakitmu?’ ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD