“Turunlah!” Perintah Nelson begitu ia keluar dari mobilnya. Jas yang tengah dipakainya pun segera ia lepaskan lalu dilemparkan ke arah Jennie ketika wanita itu menyusulnya keluar.
Bruk! Jennie yang tidak siap menangkap jas itu alhasil harus berbesar hati membiarkan wajahnya ditimpuk dengan jas beraroma tubuh pria itu. Sejenak Jennie terbuai bahkan menjadikannya sebagai bahan khayalan, namun hanya sesaat saja dan ia kembali sadar pada dunia nyata yang saat ini tengah ia hadapi. “Hei kenapa melempariku ini?” Kesal Jennie.
“Pakai saja! Atau kamu memang suka jadi pusat perhatian?” Ujar Nelson ketus, tanpa melihat reaksi Jennie yang geram disebut demikian, pria itu pun membalikkan badannya dan berjalan masuk ke dalam rumah mewah itu.
Jennie terpaku dengan tangan yang masih memegangi jas pria itu. Ia mengintip pakaiannya dan merasa tidak ada yang kelewat istimewa. Tetapi mengapa pria itu terlihat risih dengan tanktopnya? Apa boleh buat, Jennie pun mengenakan jas itu untuk menutupi pundak seksinya. Baru hendak melangkah mengikuti tuan rumah yang sudah meninggalkannya, fokus Jennie teralihkan lagi pada suara mobil yang mendekat. Ia menoleh ke belakang dan mendapati mobilnya berhenti tepat di belakang mobil mewah pria itu.
Seorang pria muda yang tadi Jennie temui terlihat keluar dari mobilnya. Tangan pria itu menjinjing paperbag yang lumayan besar. Jennie masih berdiri menunggu, setidaknya ia ingin mendapatkan kunci mobilnya kembali. Pria itu mendekati tempat Jennie berdiri kemudian mengangguk kepadanya.
“Nona, ini pakaian yang tuan suruh saya belikan untuk anda. Saya tidak tahu seperti apa selera dan ukuran anda, semoga anda berkenan.” Ujar pria itu sopan seraya menjulurkan paperbag itu kepada Jennie.
Sejenak Jennie kehabisan kata-kata, bahkan sulit baginya untuk mengucapkan terima kasih. Padahal paperbag itu sudah berpindah ke tangannya, dan ia memang memerlukan pakaian bersih. Hanya saja semua ini terasa begitu tiba-tiba, di luar prediksi Jennie yang tak menyangka akan mendapatkan perhatian sebanyak itu dari seorang Nelson Tanuwidjaja.
“Nona, anda ditunggu tuan muda di dalam.” Ujar pria muda tadi membuyarkan lamunan Jennie.
Buru-buru Jennie berjalan mengikuti pria muda itu, ia pun perlu tahu apa lagi yang ingin Nelson perlukan darinya, sampai harus serepot ini mengajaknya datang ke rumah yang mungkin adalah tempat tinggal pengusaha itu. Ketika Jennie menginjakkan kaki di ruang tamu, pandangannya tertuju pada Nelson yang duduk di sofa seraya menyilangkan kakinya.
“Benahi dulu dirimu, setelah itu baru kita bicarakan.” Perintah Nelson seraya menatap dingin pada Jennie.
Tatapan mata yang terasa asing bagi Jennie, lantaran sangat berbeda dengan sorot saat pertama ia beradu tatap dengan pria itu. Anehnya, meskipun kurang suka diatur oleh siapapun, Jennie tidak bisa menolak permintaan Nelson yang memintanya membersihkan diri. Tubuhnya memang terasa lengket dan kotor, bagaimanapun ia harus segera membereskan kekacauan ini segera dari dirinya. “Baiklah.” Ujar Jennie tanpa banyak membantah lagi.
“Liam, antarkan nona ini ke kamar tamu.” Perintah Nelson, masih dengan posisi duduk yang begitu menonjolkan aura penuh kekuasaan.
Jennie menurut, ia melangkahkan kaki mengikuti pria yang baru ia ketahui namanya itu. Sekilas memandang lagi ke arah Nelson yang tetap bergeming, tidak melirik ke arahnya.
‘Sebenarnya apa yang dia inginkan dariku? Kenapa sebaik ini?’ Tanya Jennie dalam hatinya.
***
“Dasar tidak tahu malu, apa ini yang kamu bisa? Merayu suamiku, pasti karena uang kan? Kamu dibayar berapa hah!?”
Sebuah adegan yang begitu jelas mempertontonkan seorang wanita yang tengah memberikan baku hantam kepada wanita yang jauh lebih muda dan cantik. Wanita yang disinyalir sebagai selingkuhan seorang bos kaya lalu kepergok bermesraan di dalam sebuah kamar hotel.
“Wah, sepertinya istri sah itu menghajarnya dengan keras. Tapi sayang kenapa hanya dikasih tonjokan? Kenapa nggak sekalian dicabein aja tuh muka si pelakor. Gemes deh aku!” Ujar salah satu wanita yang masih berseragam suster, tengah bergunjing bersama salah satu rekan kerjanya.
“Iya, sayang banget cantik tapi kok seleranya suami orang. Apa pria lajang sudah langka sampai harus gaet punya orang?” Timpal rekannya seraya mengangguk membenarkan opini sebelumnya.
Suster yang tadi mengangguk cepat, “Hmm... Aku rasa wanita model dia memang tidak bisa kerja. Jadi ya hanya ngandalin om om buat hidupin dia. Ha ha ha....”
“Eh, tapi kayaknya muka dia babak belur loh. Pasti sakit banget tuh, tapi aku yakin sesakit apapun dia pasti nggak berani nongolin mukanya ke rumah sakit. Palingan ngumpet sampai sembuh, semoga aja kali ini mukanya berbekas biar nggak kegatelan lagi. Ha ha ha....”
Kedua suster itu terbahak, begitu menikmati tontonan yang sudah tersebar luas di jejaring sosial bahkan dengan mudah diteruskan ke dalam grup w******p. Tanpa dua suster itu sadari, ada sepasang mata yang menatap tajam pada mereka yang masih terus tertawa, mengulang video itu hanya demi kepuasan pribadi mereka menonton aib seorang pelakor yang dianiaya istri sah.
“Ehem... Ehem... gosip terus! Masih jam kerja tapi suara nggak dikontrol.” Sindir Levin yang sejak tadi sudah panas kuping mendengar apa yang dua rekannya bincangkan. Dua wanita itu pun tidak tahu betapa keras usaha Levin memendam rasa sakit hati saat mendengar sahabatnya menjadi buah bibir, sasaran cibiran bahkan olokan dari orang-orang.
‘Kurang ajar banget, siapa yang nyebarin video ini? Ah... Semoga Jennie belum melihatnya.’ Ujar Levin yang begitu cemas dalam hatinya. Ia sejak tadi sudah mewanti-wanti wanita itu, namun siapa yang bisa menebak apa yang akan terjadi pada waktu berikutnya? Andai ia bisa segera mengakhiri jam kerja hari ini, sudah pasti Levin akan segera berlari ke rumah Jennie dan memastikan dia tidak mendapatkan kiriman video aibnya.
Dua suster itu terkesiap lantaran kepergok oleh Levin, mereka pun kompak menoleh dan tersenyum lebar pada perawat tampan itu. Tak disangka salah satu dari dua wanita itu malah menarik tangan Levin untuk bergabung bersama mereka. “Kamu sudah lihat belum video ini? Gila ya tuh wanita, mau maunya jadi simpanan om. Tuh sampai babak belur dihajar sama istrinya si om, ha ha ha....”
Sepasang mata Levin memanas, tentu saja ia sudah melihat video itu sebelumnya dan bisa memastikan bahwa wanita apes itu adalah Jennie. Itulah sebabnya Levin bersikukuh menyuruh Jennie untuk diam di rumah, dan sekarang rekan kerjanya dengan enteng mempertontonkan video yang membuat ia panas hati. Tanpa pikir panjang, Levin merebut ponsel di tangan wanita itu kemudian dengan cepat menghapusnya.”
“Apa yang kamu lakukan? Kenapa dihapus sih.” Celetuk suster itu kesal, sedangkan yang satu lagi ikutan mencebik Levin.
Levin menatap dua wanita itu secara bergantian, sorotan yang sarat dengan kemarahan yang terpendam. “Apa menurut kalian menertawakan penderitaan orang itu sangat menyenangkan? Hah? Seakan kamu tahu betul kalau dia memang salah dan pantas diperlakukan seperti itu! Bagaimana kalau kalian yang mengalami hal seperti itu? Sembarangan menertawakan dan latah marahin orang tanpa tahu betul apa yang terjadi.” Gerutu Levin yang saking kesalnya hingga nafasnya sedikit tersengal.
Kedua suster itu saling berpandangan lalu menatap heran pada Levin. Mereka tidak terima dimarahi hanya karena ikut berempati pada wanita yang menjadi korban pelakor. “Dia yang kena hajar, kenapa kamu yang sewot? Emangnya kamu kenal wanita itu hah? Emang dia itu siapanya kamu sampai sibuk kamu belain segitunya!” Pekik salah satu suster itu, membalas bentakan Levin.
Deg! Levin terpaku diam kemudian memilih berjalan pergi meninggalkan dua suster yang sakit hati karena tontonannya dihapus. ‘Memangnya siapa aku bagi kamu, Jennie?’ Gumam Levin dalam hatinya.
***