Jennie mencoba mencari celah untuk mengintip wajah pria yang sedang mengemudikan mobil. Ingin memastikan lebih jelas bentuk wajah pria yang barusan menyebutkan namanya. Sulit untuk Jennie percaya, bahkan ia masih mengira antara salah dengar atau pria itu yang salah menyebutkan namanya. ‘Tidak mungkin dia pengusaha kaya itu. Tanuwidjaja? Yang benar saja....’ Ujar Jennie berdebat dalam hatinya.
“Ehem....” Jennie sengaja berdehem demi mencari perhatian pria itu, namun tetap saja suara buatannya tidak lebih menarik ketimbang fokus pada setir dan jalanan. Suasana di dalam mobil begitu canggung tanpa musik pengiring atau apapun yang bisa mencairkan keheningan.
Ekor mata Nelson melirik spion tengah demi mencari tahu apa yang dilakukan wanita itu di belakang. Tanpa ia sadari tatapan mereka malah beradu lantaran Jennie pun tengah menyoroti spion itu. Sontak Nelson mengalihkan pandangan kembali pada jalanan, mengacuhkan tatapan Jennie.
“Sebaiknya simpan dulu semua pertanyaanmu. Aku tahu kamu penasaran, tapi ini bukan tempat yang cocok untuk bicara.” Ujar Nelson dengan suara bass-nya yang terdengar dingin.
Jennie mendadak manyun, membenarkan posisi tubuhnya dan bersandar pada jok kursi yang ia duduki. “Oke.” Jawabnya singkat dan terdengar kurang ikhlas.
Keheningan kembali mendominasi sepanjang perjalanan sehingga suara dering ponsel Jennie yang memecahkannya. Jennie bergegas meraih ponsel itu untuk memastikan siapa yang tengah mencarinya. Ia semakin cepat merespon panggilan itu saat tahu sahabatnya lah yang menghubunginya.
“Kamu di mana?” Todong Levin dengan tergesa-gesa, terdengar dari nada bicaranya yang tidak santai seperti biasanya.
Jennie diam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat untuk Levin. “Di rumah.” Bohong Jennie, terpaksa harus bilang seperti itu demi menghindari debat kusir via ponsel. Apalagi ia tidak sendirian di dalam mobil ini.
Nelson mempertajam pendengarannya ketika mendengar kebohongan wanita itu. Meskipun bukan urusannya namun ia merasa tertarik untuk tahu sikap Jennie selanjutnya, meneruskan kebohongan atau menyudahi obrolan.
Helaan nafas lega terdengar dari seberang, “Huft syukurlah. Kamu istirahat saja, nanti pulang kerja aku mampir sekalian bawakan makan malam. Apa kamu sudah makan siang? Buburmu dihabiskan?” Selidik Levin, bawel.
Jennie memutar bola matanya, ia bukan lagi anak kecil tetapi sahabatnya itu sering memperlakukannya bak bocah ingusan yang kurang kasih sayang. Ya, walaupun ada benarnya ia kurang kasih sayang, tetapi bukan begitu juga yang Jennie harapkan dari perlakuan Levin yang berlebihan. “Ya, sampai nanti... Bye....” Jennie enggan berpanjang kata lagi dengan Levin, ia pun tak segan memutuskan panggilan secara sepihak, sebelum kebohongannya ketahuan. Jennie hanya mengantisipasi saja, takut jika Nelson tiba-tiba membunyikan klakson atau suara kendaraan di luar terdengar oleh lawan bicaranya.
Hidung Jennie mengendus aroma tubuhnya yang mulai menyeruak di dalam mobil. Amisnya telur yang mengotori jaketnya itu membuatnya risih mengenakannya lagi. Tak ada pilihan lain, Jennie merasa lebih baik melepaskan sepotong pakaian luarnya yang terkontaminasi kotoran itu. Nelson menyadari apa yang tengah Jennie lakukan, ia mengintip dari spion tengah, sepasang matanya membulat saat melihat pakaian yang terlindungi oleh jaket tebal itu ternyata berupa tanktop tipis bertali satu. Nelson buru-buru menggelengkan kepala, menepis pikiran kotornya yang mulai berimajinasi melihat tubuh sempurna wanita di belakangnya.
“Yeks... Amis banget. Duh... Gimana ini? Aku mengotori mobil dia.” Keluh Jennie dengan suara yang sangat pelan, cukup untuk ia dengarkan sendiri. Jennie baru menyesali sikapnya yang lamban, mengapa tidak dari tadi ia melepaskan jaket kotornya? Jika tidak, jok mobil pria penyelamatnya pasti tidak akan ternodai. Jennie menggigit bibir bawahnya, berpikir tentang pertanggung jawaban yang harus ia berikan kepada pria itu.
“Ng... Anu... Bisakah berhenti sebentar kalau nanti ketemu tong sampah di tepi jalan.” Ucap Jennie dengan suara lembut, ia tengah memohon pada pria yang mengendalikan laju mobil ini. Berharap mendapat respon positif agar penderitaannya sedikit berkurang dengan tidak mencium aroma jaket ini dan melihat pakaian yang membuatnya tampak menyedihkan.
Nelson menyunggingkan senyuman namun tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia mempercepat laju mobil ketika jalanan tampak longgar. Sebaliknya Jennie menghela nafas kasar karena merasa diabaikan. Percuma meminta pada pria yang sepertinya lupa memfungsikan indera pendengarannya.
‘Ya sudahlah, mungkin dia suka nyium bau telur mentah.’ Gerutu Jennie dalam hatinya. Belum reda kejengkelannya, Jennie terperanjat kaget saat pria itu membanting setir ke kiri dan berhenti mendadak hingga tubuh Jennie terombang ambing ke arah depan lalu terhempas lagi ke belakang mengikuti gerakan mobil. “Hei apa kamu nggak bisa nyetir?” Geram Jennie menyalahkan Nelson.
“Tong sampahnya di luar.” Ujar Nelson mengabaikan omelan Jennie.
“Eh?” Jennie ternganga kemudian reflek menoleh ke luar jendela. Benar saja di tepi jalan tempat pemberhentian mendadak mereka, ada dua buah tong sampah. Senyum Jennie sontak mengembang dan bergegas membuka pintu mobil sambil menarik jaketnya. Tanpa berucap sepatah katapun, Jennie keluar dari mobil dan berlari menuju tong sampah.
Nelson terus mengamati gerak gerik Jennie. Terik matahari yang menyengat di luar, menyilaukan kulit tubuh Jennie yang dasarnya putih mulus menjadi lebih mencolok. Diam-diam Nelson mengagumi kecantikan wanita itu, terlalu cantik untuk berprofesi sebagai perebut suami orang. Fokus mata Nelson segera beralih ke arah depan ketika melihat Jennie sudah berlari menuju mobil. Ia tidak boleh ketahuan tengah melihatnya sejak tadi.
Jennie duduk kembali di kursinya, menatap pada pria yang terus memberinya pemandangan kepala bagian belakang. Tanpa aba-aba darinya pun, Nelson sudah melajukan mobilnya lagi. “Thanks, nanti aku ganti kerugian mobilmu.” Ujar Jennie yang merasa bersalah sebagai pelaku yang membuat mobil mahal itu beraroma tidak sedap. Ia pun membuka sedikit kaca mobil agar bau yang masih tersisa di dalam bisa tergantikan dengan udara segar di luar.
Nelson menutup kaca yang dibuka Jennie dengan sekali pencetan pada tombol samping joknya. Seketika itu pula Jennie yang terkejut dan tidak mengerti langsung menyoroti pria itu dengan tatapan penuh tanda tanya. Baru saja Jennie menyadari keterlambatannya mengambil sikap untuk menghilangkan bau tak sedap di dalam mobil, yang ada pria itu malah menghalanginya.
“Apa kamu suka nyium bau telur busuk?” Tanya Jennie seraya memincingkan sepasang matanya.
“Udara di luar juga sama kotornya. Sudahlah diam saja, jangan lakukan apapun!” Ujar Nelson dengan santai, tanpa berniat melirik sejenak pada lawan bicaranya.
Jennie menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan pria yang bertolak belakang dengannya. “Tuan, sebenarnya kita mau ke mana? Dan berapa lama lagi kita sampai?” Akhirnya pertanyaan itu tercetus juga dari Jennie, sayangnya pria itu tetap enggan memberi respon.
“Sebentar lagi kamu akan tahu.” Jawabnya singkat.
Jennie mendengus kesal, merasa jengah dengan teka teki yang diberikan pria itu. “Tuan, jika ada yang kamu perlukan denganku, katakan saja di sini. Aku tidak bisa ikut begitu saja dengan orang yang belum ku kenal.”
Nelson diam saja, malah semakin kencang melajukan mobilnya saat memasuki sebuah jalanan yang tampak cukup luas dan sepi. Jennie yang sempat tidak sabaran pun bisa diam dan terbawa suasana, ia membuang pandangan keluar jendela dan mengamati lingkungan yang cukup tenang dan bagus. Terlihat seperti area perumahan elit yang belum pernah Jennie ketahui selama ini.
Dan benar saja tebakan Jennie, ketika mobil yang ditumpanginya memelankan kecepatan saat memasuki sebuah gerbang rumah yang bisa terbuka otomatis. Mobil itu berhenti sempurna ketika terparkir di halaman yang sangat luas. Sepasang mata Jennie takjub melihat bangunan rumah di hadapannya, ia menebak bahwa hunian mewah itu empat kali lebih besar dari rumah yang ia tempati.
‘Kenapa dia membawaku ke sini?’ Ujar Jennie, bertanya dalam hati.
***