Pelakor Yang Terkucilkan

1094 Words
Guyuran air dari shower membasahi sekujur tubuh Jennie, sepasang matanya terpejam, menegadahkan wajah dan sengaja membiarkan tetesan air itu mengenai wajahnya. Jennie tak peduli jika make-upnya ikut terbasuh oleh air bersih. Saat ini yang ia perlukan memang membersihkan seluruh bagian dari dirinya. Jennie tidak pernah merasa sebahagia ini hanya karena mandi, sampai ketika tubuhnya dibuat kotor oleh tangan para pencaci maki itu dan membuatnya ingin segera menyucikan fisiknya kembali. Jennie meringis saat luka di bibirnya tersapu air, ia sampai melupakan bagian yang masih perlu perhatian khusus itu. Baru dua kali dibaluri salep dan tidak bisa tertutup make-up, lecet di sudut bibirnya sungguh menjadi hiasan wajahnya yang membuat ia terlihat mengerikan. Jennie segera menyudahi ritual mandinya, bergegas meraih handuk bersih yang ada di atas rak kamar mandi itu. Fasilitas yang lengkap dan mewah, begitu memanjakan penggunanya betah berada di dalam bilik privat itu. Sayangnya ini bukan rumah Jennie, ia harus tahu diri dan waktu, apalagi pemilik rumah ini tengah menunggunya. Sepasang kaki jenjangnya melangkah keluar, Jennie membelitkan handuk putih pada tubuhnya serta rambut basahnya. Terpaksa harus keramas karena ia mau memastikan tubuhnya benar-benar bersih dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bibir Jennie menarik seulas senyum saat melihat kelengkapan yang tersedia di meja rias. Ada hairdryer serta satu kotak besar peralatan makeup. “Apa sejak tadi barang-barang ini sudah ada di sini? Atau aku yang kurang perhatian?” Jennie bertanya sendiri seraya mengernyitkan keningnya. Namun ia enggan menyentuh barang yang bukan miliknya, hanya pengering rambut itu saja yang ia perlukan. Selebihnya ia tidak akan tergoda untuk memakainya. Suara hairdryer terdengar nyaring, dengan telaten Jennie mengeringkan rambutnya seraya mematut diri di depan cermin besar yang menampilkan seluruh badannya. Ia menekan tombol off pada alat itu, perlahan meletakkan kembali pada tempat asalnya. Perhatian Jennie lebih tersita pada bentuk parasnya saat ini. Ia menelengkan wajahnya ke kiri dan kanan, memeriksa bekas penyiksaan yang masih kentara, lecet, perih dan mengganggu pemandangan mata. “Huft... Kenapa aku nggak nurut saja sama Levin? Setidaknya aku memakai masker tadi... Luka ini nampak banget, aku bahkan tidak membawa bedak tabur.” Gumam Jennie sedih dan menyesal, harusnya ia tidak perlu terlalu keras kepala tadi. Enggan berlarut dalam penyesalan, Jennie pun segera mengambil pakaian yang ada dalam paperbag di atas ranjang. Ia tersenyum simpul melihat pakaian pilihan pengawal muda bernama Liam itu. “Not bad.” Ujarnya pelan, memberikan penilaian bintang empat pada setelan blazer, celana jeans panjang dan kaos putih polos. Semi formal namun lebih condong pada penampilan yang kasual, Jennie lumayan menyukainya dan merasa nyaman mengenakannya. Ketimbang harus memakai kembali pakaian kotornya, tentu saja pilihan ini jauh lebih baik. Tangan Jennie dengan lincah memunguti baju kotornya kemudian memasukkan ke dalam paperbag. Ia tak akan pernah menyimpan baju itu lagi, hanya akan membuatnya teringat kenangan buruk pada hari ini. Jennie menarik nafas panjang, mengumpulkan segenap semangatnya untuk melangkah keluar dari kamar ini. Paperbag itu dijinjingnya, dan ia perlu beberapa menit untuk menatap ke sekeliling ruangan. “Terima kasih.” Ujarnya tersenyum senang lalu berjalan ke arah pintu. Setelah keluar dari ruangan ini, mungkin ia tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi kemari. Itulah sebabnya Jennie merasa harus berterima kasih kepada tempat yang sudah memberinya sedikit privasi. *** “Tuan, saya sudah membawakan apa yang anda perlukan.” Ujar Liam seraya menyodorkan sebuah Ipad kepada Nelson. Senyum tipis Nelson mengembang ketika benda itu berada di dalam genggamannya. “Hmm... Kamu sudah menemukan siapa pengunggahnya?” Liam sedikit menundukkan kepalanya, “Masih dalam proses penyelidikan tim kita, tuan. Saya rasa dalam waktu sebentar lagi akan ada kabar hasilnya.” Nelson belum merespon pengawalnya dan perhatiannya sudah tertuju pada langkah kaki yang berjalan pelan menuruni tangga. Pandangan Nelson terus mengamati pergerakan sepasang kaki indah itu hingga menampilkan wajah si pemiliknya. Sejenak ia tertegun begitu melihat penampilan wanita yang kini sudah menginjakkan kaki di lantai satu itu. Polos, cantik alami tanpa polesan apapun dan ada luka memar yang kentara menghiasi sudut bibirnya. Nelson sedikit tergugah, rasa simpatinya begitu kentara dirasakan, merutuki dengan geram kepada pelaku yang tega melukai area berharga seorang wanita. Seperti sengaja ingin merusak kecantikan yang wanita itu miliki. “Tuan, terima kasih atas bantuannya. Selanjutnya, apa yang ingin anda bahas denganku?” Ujar Jennie bertanya dengan sopan, selayaknya apa yang dilakukan Liam kepada tuannya itu. Nelson menyeringai, mendengar panggilan ‘tuan’ tercetus dari wanita itu membuat ia merasa sedikit geli. Nelson menoleh ke arah Liam, dengan sekali anggukan saja pengawal muda itu sudah paham apa yang diinginkan darinya. “Saya permisi dulu tuan.” Liam membungkuk hormat kemudian mengangguk pelan pada Jennie saat pandangannya tertuju pada wanita itu. Jennie membalasnya dengan senyuman tipis, hanya itu saja yang bisa ia berikan sekaligus sebagai ungkapan terima kasih. Nelson menatap Jennie dengan tatapan datar, belum juga mempersilahkannya duduk padahal banyak tempat kosong di sofa ruang tamu itu. “Kamu benar-benar tidak tahu apa mengapa orang-orang itu menghakimimu?” Selidik Nelson, merasa tak habis pikir kalau wanita itu sepolos itu. Entah hanya berlagak polos atau memang sungguh seperti itu. Jennie mengerutkan dahinya, tanpa dipersilahkan duduk pun ia berinisiatif langsung menjatuhkan pantatnya di sofa empuk yang berhadapan dengan Nelson. Kakinya sudah pegal berdiri dan tak etis pula bicara sambil berdiri padahal lawan bicaranya tengah duduk. “Tuan, apa anda ingin bermain denganku? Kalau aku tahu, untuk apa aku berlagak tidak tahu?” Nelson menyeringai, kemampuan wanita itu untuk berdebat ternyata cukup bagus. Sayangnya ia sedang tidak mood untuk meladeni adu mulut, apalagi dengan seorang wanita. Ipad yang ada di atas pangkuan Nelson pun disodorkan ke arah Jennie. “Lihat sendiri saja.” Jennie yang masih bingung apa yang dimaksud pria muda itu segera mengambil alih gadget itu. Alat canggih itu rupanya tidak dikunci sehingga Jennie dengan leluasa menyalakan layarnya. “Apa ini?” Tanya Jennie dengan cepat ketika melihat sebuah video yang terpampang di layar namun tak berani ia klik tonton. “Lihat saja sendiri.” Lagi-lagi Nelson menjawab sesingkat dan secuek itu. Jennie diam dan memberanikan dirinya memencet tombol play pada video itu. “Dasar tidak tahu malu, apa ini yang kamu bisa? Merayu suamiku, pasti karena uang kan? Kamu dibayar berapa hah!?” Deg! Sepasang mata Jennie melotot, spontan ia membalikkan Ipad itu dan memangku di atas lututnya. Tak sanggup lagi ia mengotori matanya dengan tontonan menjijikkan itu. Sepasang netranya berkaca-kaca, dalam sekejap melupakan bahwa bukan hanya dirinya sendiri yang ada dalam ruangan ini. “Jadi ini alasannya mereka menyerangku seganas itu?” Lirih Jennie, sepasang matanya masih tak sanggup berkedip dan dibiarkannya air mata menggelantung di kelopak matanya. Dunia luar sana begitu kejam terhadapnya, mengucilkannya, seolah tak pantas menampung keberadaannya di antara manusia lainnya. Sehina itukah dirinya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD