73. Mencari tahu 4

1329 Words
"Di rekaman ini terdengar om Christian menyebutkan kata 'dia' untuk pelaku penculikan Momok dan yang lainnya," ujar Cika. Mereka baru saja menyimak dan mendengar ulang hasil rekaman suara Christian. Setelah Agil pulang dari kediaman Christian, pemuda 25 tahun itu langsung menuju ke rumah sang paman kandungnya. "Mengejar posisinya?" Jamaludin bergumam. Cika dan Agil menoleh ke arah Jamaludin. "Aku curiga padanya," ujar Jamaludin. Cika dan Agil saling memandang. "Huuh!" hembusan napas kasar dari Cika. "Kita tidak tahu siapa pengkhianatnya, ini akan sulit terungkap jika Momok belum bisa sadar betul," ujar Cika. Agil terlihat memijit pelipisnya. "Memang benar bahwa ayah pergi ke Imperial Resto untuk bertemu om Christian, tapi ayah pergi sebelum menerima berkas itu, jadi Momok yang disana dengan om Christian." Cika menoleh ke arah sepupunya. "Kau sudah menelepon Randra?" Agil menggeleng. "Aku langsung kesini," jawab Agil. "Papa tadi setelah maghrib sudah menelepon Randra," ujar Jamaludin. Cika dan Agil menoleh ke arah Jamaludin. "Bagaimana perkembangannya?" tanya Agil. "Belum bisa makan, tulang leher dan tenggorokannya sakit, ia berusaha menanyakan keberadaan ayah dan ibumu," ujar Jamaludin pelan. Agil terlihat memejamkan matanya sambil berusaha mengontrol emosinya yang kembali naik. "Adikku sangat tersiksa," lirih Agil. Jamaludin menahan napas susahnya, sedangkan Cika menunduk prihatin. "Aku tidak pernah tahu bahwa selama lima tahun ini Moti tak pernah sadarkan diri...bahkan dia beberapa belas kali operasi tulangnya...pasti sangat menyakitkan," lanjut Agil. "Bahkan bila digabung dari penderitaan yang kita semua alami, tidak akan sebanding dengan dia, paman. Moti terlalu tersiksa, dokter bilang tulang pinggang dan pinggulnya tidak berfungsi...itu berarti dia akan cacat dan tidak bisa jalan lagi...," ujar Agil menahan isaknya. Jamaludin dan Cika menunduk menyesal. "Bagaimana dia bisa hidup nanti jika tak bisa berjalan? Dia pasti akan sangat syok jika tahu ayah dan bunda sudah tiada," "Nyawanya juga sedang di incar orang," lanjut Agil. "Kita harus mencari lagi banyak informasi, om sudah menyelidiki diam-diam tempat kerja ayahmu dulu, dan beberapa polisi yang om anggap berseberangan dengan ayahmu," ujar Jamaludin. Cika dan Agil mendongak ke arah lelaki 56 tahun itu. "Cari informasi dari teman lain ayahmu selain pria yang bernama Christian ini," pinta Jamaludin. Agil mengangguk. "Ada satu lagi teman dekat ayah yang belum aku datangi, ini sudah malam, pasti mereka sudah istirahat, mungkin besok baru aku akan kesana," balas Agil. Jamaludin mengangguk. "Hati-hati Agil, jangan menunjukan sikapmu yang sedang mencurigai mereka, kita tidak tahu siapa musuh dalam selimut itu, bisa saja perbuatan baik mereka itu sebagai penutup perbuatan buruk dan jahat mereka," ujar Jamaludin mengingatkan sang keponakan. ♡♡♡ Jemari pemuda 25 tahun itu tiada henti mengelus dan membelai rambut serta kulit sang kekasihnya yang sedang tertidur. "Tenanglah sayang, mereka tidak akan lolos dariku...," gumam pemuda itu. "Perbuatan keji dan biadab mereka, akan aku balas dengan caraku sendiri," lanjutnya dingin. Ya, Randra akan membalas perbuatan orang-orang yang mencelakai tunangannya itu dengan caranya sendiri. "Mereka bahkan tidak kasihan ketika lehermu itu disayat seperti ini...," "Mereka bahkan tidak ada rasa bersalah padamu...mereka bahkan ingin mengincar nyawamu lagi...berapa kali mereka ingin membunuhmu? Heum! Maju kesini dan kaki mereka akan aku giling," desisan sinis dari pemuda 25 tahun itu. ♡♡♡ "Permisi bapak, ada tamu untuk bapak," Tinim, sang pembantu itu memberi tahu majikannya. Lelaki paruh baya yang berumur 53 tahun itu mengerutkan keningnya bingung. "Siapa?" Ikhsan bertanya ke arah pembantunya. "Katanya namanya den Agil--," Tak Tak Tak Belum selesai Tinim berbicara, Ikshan dengan langkah lebar meleset ke ruang tamu. Tak Tak Tak "Agil!" Ikshan berjalan ke arah putra teman lamanya. Hap Lelaki paruh baya itu langsung memeluk Agil erat. "Bagaimana kabarmu?" Ikshan bertanya setelah melepaskan pelukannya. "Duduk dulu, Tinim! Buatkan teh dan bawakan camilan ke sini!" Ikhsan menuntun Agil untuk duduk lalu berseru ke arah dapur. Terdengar sahutan samar dari sang pembantunya. "Jadi, bagaimana kabarmu?" "Seperti yang om lihat, saya baik-baik saja," jawab Agil. Ikhsan mengangguk mengerti. "Sudah lama sekali kau tidak kemari, sekitar dua atau tiga tahun lalu ketika kau lulus akademi, padahal Jakarta ini ada rumahmu juga," ujar Ikshan gembira dengan kedatangan Agil. "Kau sendiri?" Agil mengangguk. "Saya sendiri, Om." Jawab Agil. Ikhsan mengangguk lagi. "Aku pikir kau membawa Gea, Gea masih dirumah perlindungan itu kan?" tanya Ikhsan. Agil mengangguk. "Ya, om yang memberikan perlindungan padanya," jawab Agil. Ikhsan terlihat mengangguk singkat. "Ada yang kau perlukan?" tanya Ikshan mengenai perihal kedatangan Agil. Agil mengangguk. "Ya, ada beberapa pertanyaan simpel saja," jawab Agil. "Kau beruntung datang duluan, karena sebentar lagi om dan keluarga akan ke puncak untuk akhir pekan hari minggu," ujar Ikhsan sambil tersenyum. "Kalau begitu, silakan tanya apa yang ingin kau tanyakan." Pinta Ikshan. Agil mengangguk singkat. "Mengenai insiden lima tahun lalu, om dan ayah saya sama-sama menyelediki kasus yang sama, kan?" Agil memulai pertanyaannya. Ikhsan mengangguk. "Ya, penyelendupan senjata ilegal." Jawab Ikshan. "Ayahmu terakhir menggrebek sebuah markas kecil yang berada di Bekasi, disana ada senjata yang diduga penyelendupan dari Argentina, om melakukan penggerebekan di Depok bersama polisi yang lainnya," jelas Ikhsan. Ikhsan menangkap maksud kedatangan sang putra dari mendiang sahabatnya itu. "Kasus ayahmu memang telah ditutup kepolisian, namun aku tahu kau ingin mencari titik terangnya lagi, Kan?" tanya Ikshan to the point. Agil terlihat menyembunyikan keterkejutannya. Ikhsan tersenyum tipis. "Om mengerti perasaanmu, om akan bantu untuk membuka ulang kasus itu," ujar Ikshan. Agil melebarkan matanya. Ikhsan kembali tersenyum tipis. "Ada yang tidak beres di kepolisian, om juga tahu itu, ayahmu tewas dengan kondisi tidak wajar, ada berbagai prasangka dan dugaan mengenai penculikan keluargamu lima tahun lalu," ujar Ikhsan. Agil mengangguk. Mereka mulai terlibat dalam percakapan serius. "Dugaan para polisi yang menangani kasus ayahmu waktu itu, mereka menduga ini balas dendam, kita tidak tahu siapa musuh ayahmu, sebab ayahmu banyak membongkar kasus-kasus kelas berat khusus teror." "Sehari sebelum ibu dan adik-adikmu diculik dan disekap, ayahmu ke Bekasi, perihal penggerebekan itu, namun setelah pulang dari Bekasi sudah larut malam, jadi ia memutuskan untuk ke kantornya, ia menelepon ibumu bahwa besok pagi sebelum upacara kenaikan pangkatnya, ibumu akan membawa pakaian dan atribut-atributnya," lanjut Ikshan. "Paginya setelah om baru saja sampai di kantor, om mendengar kabar penculikan keluargamu, dan ayahmu terlihat syok, om dan tim serta anggota yang lainnya berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan keberadaan keluargamu," jelas Ikhsan. Agil mengangguk mengerti. "Om Christian bilang, malam sebelum penculikan paginya, Moti, adik perempuan sulung saya membawakan berkas yang diminta oleh ayah saya, namun menurut penuturan om Christian kemarin bahwa ayah saya meminta tolong kepada om Christian untuk mengambil berkas itu dari Moti, ayah pergi lagi dari restoran itu, tapi ada keganjilan." Ujar Agil. Ikhsan mengerutkan keningnya. "Meminta tolong mengambil berkas itu?" "Ya." Agil mengangguk. "Keganjilan apa yang kau dapat?" Ikhsan bertanya serius. "Om Christian bilang bahwa ayah saya mendapat telepon dari salah satu anak buahnya karena mereka mengetahui sebuah markas penyelendupan senjata ilegal itu, jadi beliau pergi ke tempat sasaran dan katanya meminta tolong pada om Christian untuk mengambil berkas itu." Jawab Agil. "Berkas apa yang diminta ayahmu?" tanya Ikhsan. "Aku tidak tahu, om Christian bilang, nanti beliau akan mengirim berkasnya segera," jawab Agil. Ikhsan terlihat berpikir keras. "Tapi itu bukan keganjilannya," ujar Agil. Ikhsan mengalihkan pandangannya fokus ke arah Agil. "Adik saya Moti terlihat ketakutan ketika berlari keluar dari restoran itu, dia bahkan histeris ketika memasuki mobil yang ditumpanginya," ujar Agil. Ikhsan terlihat membulatkan matanya. "Lanjutkan," pinta Ikhsan. "Dia pulang malam itu sekitar jam sembilan malam, karena dua jam di restoran Imperial dia disana, dia mengurung dan mengunci kamarnya setelah pulang, ketika paginya sebelum ibu saya menyuruhnya agar bersiap-siap datang ke kantor ayah saya, Moti memaksa ibu dan yang lainnya agar tidak pergi ke sana, dia juga terlihat menarik-narik tangan ibu saya agar tidak memasuki mobil yang akan mereka tumpangi." Lanjut Agil. Ikhsan membulatkan matanya. "Itu berarti...adikmu...adikmu tahu siapa pelaku penculikan keluargamu!" Ikhsan berseru syok. "Tapi...tapi mau mencari dimana adikmu lagi? Dia hilang sehari sesudah pemakaman kedua orang tuamu," ujar Ikhsan. Agil terlihat berpikir. "Tidak! Tidak mungkin om Ikshan yang berkhianat pada ayah...," batin Agil. Agil mengusap wajahnya dengan tangan kirinya. "Ada Gea, Gilan dan Cika yang menjadi saksi sekaligus korban penculikan itu, mereka tahu wajah-wajah dari pelaku-pelaku yang ada di tempat kejadian, namun sebelum penembakan itu terjadi, ketika saudaramu itu sudah pingsan dan tak sadarkan diri dari luka yang di alami mereka," ujar Ikhsan. "Satu-satunya orang yang mengetahui pelaku sebenarnya dari penculik dan pembunuh keluargamu adalah Moti...tapi...tapi dia menghilang...seseorang menculiknya lagi ketika dia sedang kritis...ini...ini...akan sangat susah untuk menemukan pelakunya jika kita tidak menemukan titik terang dari adikmu," ujar Ikhsan. Agil terlihat mengangguk. "Tunggu, kau bilang ayahmu dan Christian janjian di restoran Imperial, Kan?" tanya Ikshan. Agil mengangguk. Kening lelaki 53 tahun itu berkerut. "Christian ada disana dan adikmu lari ketakutan dari restoran itu...," ujar Ikhsan perlahan lalu melirik ke arah Agil. Agil membulatkan matanya. "It-tu...," "Kenapa tidak aku pikirkan perkataam om Ikshan?" batin Agil. "Apa kau mengatakan kepada Christian bahwa adikmu lari ketakutan dari restoran itu?" tanya Ikshan. Agil menggeleng pelan. "Berarti kita harus mencari tahu lagi." ♡♡♡
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD