72. Mencari tahu 3

1422 Words
"Ada teman om Mochtar yang berkhianat," ujar Cika. Agil dan Cika memutuskan untuk menginap di rumah sakit itu. Sedangkan sang ayah sudah kembali tadi sore ke Jakarta untuk memenuhi tugasnya. Agil terlihat memijit-mijit pangkal hidungnya. Pemuda 25 tahun itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Diantara teman ayah yang terlibat dalam penyelidikan kasus lima tahun lalu adalah om Ikhsan dan om Christian," ujar Agil membuka suaranya. Cika menole ke arah sepupunya, begitu juga sang pemuda yang sedang membelai-belai pipi sang kekasihnya itu. "Tapi om Ikhsan dan om Christian terlihat baik dan pengertian, waktu Momok sakit juga om Christian datang ke rumah secara pribadi untuk menjenguknya," lanjut Agil. Cika terlihat berpikir. "Tapi om Ikshan sendiri yang memimpin penyelamatan keluargamu, dia bahkan duluan yang menangani Gea dan Gilan dalam kritis, sedangkan hanya mereka berdua saja yang berteman dekat dengan om Mochtar," timpal Cika. Agil kembali memijit pangkal hidungnya. "Atau ada orang lain yang berkhianat?" timpal Cika lagi. "Satu hari sebelum bunda dan yang lainnya diculik dan disekap, berdasarkan penjelasan dari om Jamal yang diutarakan oleh abang Arman bahwa Momok ke Imperial Resto untuk membawa berkas ayah yang diminta," ujar Agil,pemuda itu mulai menganalisis. Semua terlihat diam dan menyimak seksama. "Momok membawa berkas itu ke sana...sebelum mereka pulang berdasarkan penjelasan abang Arman, Momok terlihat panik dan histeris ketika memasuki mobil yang disupiri oleh mang Jono...pasti terjadi sesuatu disana...ya, pasti terjadi sesuatu disana," ujar Agil. "Tapi apa? Sesuatu apa yang terjadi disana?" ujar Cika penasaran. "Mang Jono sudah memberi keterangan pada polisi bahwa dia hanya tahu sebatas itu, kita terbatas informasi," ujar Cika. "Tunggu," Cika tersadar. Agil dan Randra menoleh ke arah Cika. "Momok pergi ke restoran itu untuk menemui om Mochtar dengan teman om Mochtar, Kan?" tanya Cika. Agil mengangguk. "Dan siapa yang bersama om Mochtar saat di restoran?" tanya Cika lagi. "Menurut penjelasan abang Arman, ayah dan om Christian yang ada disana," jawab Agil berdasarkan penjelasan yang ia tahu. Cika terlihat berpikir. "Tidak." Terdengar suara dari arah samping mereka. Randra yang sedang menyimak analisis kedua saudara dari tunangannya itu membuka suara. Jemarinya tidak henti membelai-belai pipi itu. "Ayah Moti tidak ada disana," lanjut Randra datar. Cika dan Agil mengerutkan kening mereka. "Atas dasar apa kau bilang begitu?" Agil menatap ke arah Randra. "Jika ayahmu berada disana, Motiku tidak mungkin lari ketakutan dari restoran itu," ujar Randra tenang. Agil dan Cika saling melirik, Cika mengangguk benar. Sedangkan Agil menaikan sebelah alisnya, ia mengisyaratkan agar Randra melanjutkan kembali analisis dan pendapatnya. "Moti tidak akan mungkin lari dari sana, aku tahu benar sifarnya, dia akan berlindung dibawah ketiak orang yang ia kenal baik," lanjut Randra. Cika mengangguk. "Ibumu menerima telepon langsung dari ayahmu atau tidak?" tanya Randra. "Langsung, ayahku menelepon bunda langsung," jawab Agil. "Darimana kau tahu bahwa ayahmu menelepon langsung ibumu?" "Dari daftar catatan panggilan ayah." Jawab Agil. Randra mengangguk mengerti. "Ayahmu punya banyak anak buah, kenapa harus Moti yang kesana?" tanya Randra. "Kasus lima tahun lalu merupakan kasus besar dan berat yang ditangani ayahku, penyelendupan senjata ilegal dari beberapa negara, ayahku berhasil membongkar kasus penyelendupan senjata ilegal dari beberapa negara Amerika Latin seperti Brazil, Argentina dan sebagian wilayah dari Amerika seperti Meksiko, anak buah yang dibawa cukup banyak." Ujar Agil. "Tentu saja negara itu, Brazil dan Argentina memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi di Amerika Latin," timpal Cika. "Dan Meksiko, yang paling besar dari sana," lanjut Agil. "Kota dan negara yang biasa disebut bar-bar dan berbahaya disana," ujar Cika lagi. "Satu orang yang harus kita dapatkan keterangannya adalah om Christian sendiri, sebab satu hari sebelum Moti diculik dan yang lainnya, dia disana untuk memberikan berkas itu, berkasnya juga tidak ada pada Moti setelah dia keluar dengan panik dari mobil yang supirnya bawa," ujar Randra. Cika dan Agil saling memandang, cukup lama mereka diam dalam pandangan itu. "Selama proses penyelidikan dan pengusutan kasus kematian dan penculikan Moti dan yang lainnya, hanya om Christian yang kalian bilang namanya tadi yang tidak pernah membuka suara atau pendapatnya," ujar Randra. Cika dan Agil masih setia saling pandang. "Bukan berarti teman ayahmu yang satunya tidak patut di mintai keterangan juga," lanjut Randra tenang. Cika dan Agil saling mengangguk paham. ♡♡♡ "Permisi pak. Ada yang tamu yang mencari anda," ujar seorang pembantu rumah tangga. Christian mendongak ke arah Sutri dari kursi kerja pribadinya. "Siapa?" "Namanya Agil katanya anak teman bapak--," Sret "Dimana dia?" tanya Christian cepat sambil berdiri dari kursinya. "Di ruang tamu--," Tak Tak Tak Christian langsung menuju ke ruang yang dimaksud. Tak Tak Tak Lelaki 55 tahun itu dapat melihat putra sulung teman lamanya sedang duduk di salah satu anak sofa yang mewah itu. "Agil," panggil Christian. Agil mendongak ke arah Christian. Sret Christian duduk berseberangan dengan arah Agil. Agil datang sendiri ke kediaman pribadi Christian Hindanata. Tak Tak Tak Terlihat Tine, sang pembantu rumah tangga yang lainnya membawakan nampan kecil berisi teh kepada dua orang lelaki yang berbeda generasi itu. "Ini tuan, tehnya," ujar Tine. Agil mengangguk. "Terima kasih," Tine mengangguk lalu berbalik berjalan ke arah dapur. Christian memperbaiki gaya duduknya, ia juga terlihat berusaha untuk terlihat alami. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Christian. "Seperti yang om lihat, saya sekarang baik-baik saja." Jawab Agil seadanya. Christian terlihat mengangguk. "Lalu...kedua adikmu?" tanya Christian lagi. "Masih dalam pengobatan, Gea seperti yang om tahu, dia di rumah perlindungan," jawab Agil. Christian mengangguk lagi. Ia mulai memasang wajah prihatin. "Huuuuhhh...," napas pura-pura susah dihembuskan oleh pria 55 tahun itu. "Aku menyesal atas insiden lima tahun lalu," ujar Christian mulai melancarkan aksi prihatinnya. Agil memperhatikan ekspresi Christian secara seksama. "Jika saja aku ada disana, mungkin semua ini tidak akan terjadi," ujar Christian dengan nada menyesal. Christian menoleh ke arah Agil. "Pasti ada yang ingin kau tanyakan, tanya saja, aku akan memberi jawaban sebisa yang aku tahu," ujar Christian. Agil terlihat tersenyum kikuk. "Om benar, ada yang ingin saya tanyakan," ujar Agil. Christian terlihat mengangguk waspada. "Adik saya, Moti. Satu hari sebelum insiden penculikan itu terjadi yang bertepatan dengan hari kenaikan pangkat ayahku, menurut penjelasan yang saya dengar bahwa pada jam tujuh malam adik saya ke Imperial Resto untuk memberikan berkas kasus yang diminta oleh ayah saya," Agil memulai pembicaraannya. Christian berusaha terlihat setenang mungkin. "Disana adalah tempat janjian antara ayah saya dan anda," "Sial," batin Christian. "Apakah ayah saya ada disana bersama anda pada saat itu?" Agil mulai meluncurkan pertanyaannya. "Ya." Jawab Christian terlihat meyakinkan. Agil mengangguk mengerti. "Lalu, apakah adik saya memberikan berkas yang diminta oleh ayahku pada saat itu? Mengingat bahwa anda ada disana bersama ayah saya," tanya Agil lagi. Flashback on Bruk "Eh!" "O-om...," Sh Sh Sh "Kau!? Tangkap dia!" Flashback end Ingatan lelaki 55 tahun itu kembali pada lima tahun lalu. "Adikmu hanya memberikan berkas itu padaku saja," jawab Christian. Agil mengerutkan keningnya. "Ayahmu mendapat telepon bahwa ada markas penyelendupan lagi yang anak buahnya ketahui, jadi dia meminta tolong pada saya untuk menerima berkas itu dari adikmu," lanjut Christian menjawab rasa penasaran Agil. Agil terlihat diam, pemuda itu mencerna baik-baik kalimat yang diutarakan oleh Christian. "Hm...apakah om Christian masih ada berkasnya?" Agil bertanya setelah dia terdiam beberapa puluh detik. Christian dengan yakin mengangguk. "Ada...jika kau ingin melihat berkasnya, akan om kirim nanti, berkas itu pasti sudah tertumpuk dengan berkas-berkas yang lain, mengingat bahwa sudah lima tahun." Agil mengangguk. "Sayang sekali adikmu hilang...," ujar Christian prihatin. Agil berusaha mempertahankan air mukanya agar terlihat datar seperti biasanya. "Saya tidak tahu siapa yang menculik adik saya untuk yang kedua kalinya lagi, pelaku penculikan yang pertama saja masih belum diketahui," ujar Agil. Batin Christian tersenyum riang, lelaki 55 tahun terlihat sangat meyakinkan bahwa ia juga terlihat prihatin kepada keluarga Agil yang tertimpa musibah. "Aku bisa tenang, sampai kapanpun kalian tidak akan pernah tahu pelakunya kecuali jika adikmu itu tiba-tiba muncul dan bersaksi, hahahaha." Batin Christian menjerit senang. "Aku akan membantu menemukan pelakunya," ujar Christian menawarkan bantuan, dia terlihat sangat meyakinkan. Agil mengangguk tanda mengerti. "Terima kasih." Ujar Agil. Christian mengangguk. "Siapapun pelakunya, aku mengutuk dia, aku menyumpahi dia agar membusuk dipenjara!" ujar Christian berapi-api. "Dia tidak punya hati! Sungguh biadab!" lanjut Christian lagi yang mengutuk pelaku penculikan Moti dan yang lainnya. Agil mengangguk. "Dia...," batin Agil. "Maksud om Christian 'dia' siapa?" batin pemuda itu penasaran. Christian terlihat menarik napas. "Aku dan ayahmu berteman baik, meskipun dia juniorku di akademi kepolisian tapi dia mampu mengejar posisiku, dia juga sangat baik." Ujar Christian. Agil menganguk mengerti. "Sepertinya sampai disini saja, maaf telah menganggu waktu istirahat om Christian," ujar Agil sambil berdiri. Christian berdiri. "Tidak apa-apa, jika ada sesuatu datang saja kesini, aku pasti akan membantu," balas Christian terlihat meyakinkan. Agil mengangguk. "Saya permisi om, mari...selamat malam," pamit Agil. "Selamat malam juga nak Agil," balas Christian. Agil berbalik dan berjalan keluar dari rumah mewah itu. Christian duduk dan terlihat senyum tipis kemenangannya. "Tidak akan pernah ada yang tahu siapa pelaku penculik dan pembunuh keluargamu, aku sudah melenyapkan mereka sebelum mereka membuka mulut mereka." Christian bergumam pelan sekali. "Papi," terdengar suara seorang gadis. Christian menoleh ke arah sang putri bungsunya. "Ah, Meike sayang, ada apa?" tanya Chistian sambil tersenyum manis. Sang putri bungsu yang berusia 19 tahun itu terlihat senyum riang. "Papi, menurut papi, Meike harus pakai baju yang mana untuk ibadah ke gereja besok?" tanya gadis yang bernama Meike itu. Christian tersenyum manis ke arah sang anak. "Yang mana saja yang Meike pakai, pasti terlihat cantik, anak papi yang ini sangat cantik," puji Christian. Meike tersenyum malu-malu. "Ah, papi bisa aja...Meike jadi malu...," ujar Meike malu-malu. "Yang warna merah terang saja yah? Cocok dengan kulit Meike," ujar Meike. Christian mengangguk lalu tersenyum manis. Gadis ber-ibu Manado itu berjalan memasuki kembali kamarnya. "Putriku memang manis...," gumam Christian. ♡♡♡
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD